Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua keping uang seribuan langsung dimasukkan ke dalam kaleng bekas minuman. Tanpa berlama-lama, pengamen berambut gondrong itu berterima kasih dan pindah ke orang lain. Sambil menyanyikan lagu-lagu galau, si pengamen menyodorkan kaleng yang sudah hampir terisi oleh uang receh. Sebagian orang menolak, sebagiannya lagi memberikan uang kepada pengamen itu.
Lampu berganti warna. Si pengamen segera menghampiri trotoar, lalu membiarkan kendaraan-kendaraan melaju. Dia duduk di bawah pohon, sibuk menghitung uang pendapatannya. Tak lama kemudian, saku pengamen itu bergetar. Dia merogoh HP jadulnya dan berbicara dengan si penelepon.
"Halo, Bro! Kau dapat duit berapa?"
"Dua puluh ribu, Bro. Bayangin!!"
"Wih, buset. Rajin banget, ya, ngamennya?"
"Haha, nggak juga, sih. Lu sendiri dapet berapa?”
“Makanya ke sini aja. Kumpul bareng yang lain!”
“Oke, tunggu aku, ya.”
Setelah selesai menelepon, pengamen itu memasukkan HP-nya ke dalam saku. Dia berjalan sambil memanggul gitar di tangan kanannya, dan kaleng uang di tangan kirinya.
Sesampainya di taman, ada sekitar tiga pengamen yang berkumpul di sudut. Mereka sama kumalnya seperti pengamen pertama. Baju mereka robek-robek, bahkan dua di antaranya tidak memakai alas kaki.
“Halo, sobat!” sapa pengamen kedua, yang berkulit gelap. “Lu dapet duit berapa?”
“Dua puluh ribu, Bos! Kau dapet berapa?”
“Ah, punyaku sedikit sekali. Halah, paling dapetnya lima ribuan. Gue males sama orang-orang yang selalu nolak kasih duit. Kata mereka, ‘Nggak ada uang receh!’.”
Pengamen pertama tertawa. “Lu aja kali yang nggak punya bakat nyanyi. Mereka pasti males sama suara cempreng lu, makanya nggak kasih duit.”
Pengamen kedua memukul pelan bahu temannya. Pengamen ketiga ikut nimbrung.
“Keren banget lu, ya, pintar main gitar. Suaramu juga kayak idol K-Pop gitu. Pantes aja dapat uang dua puluh ribu!”
“Loh, gue, kan, ngamennya dari pagi tadi. Gue juga keliling-keliling lama banget, cari lampu merah. Jangan-jangan kalian nggak ngamen, cuma nongkrong di sini doang?!”
“Heh, enak aja ngomong!” Pengamen keempat menghampiri pengamen pertama. “Kami juga sama, cari lampu merah. Sekalinya dapet, orang-orangnya nggak mau kasih. Kebanyakan, sih, ngomong ‘Nggak punya uang receh!’. Tapi minimal kami usaha terus, nggak mandek gitu.”
Pengamen pertama angkat bahu. “Ya, sudahlah! Sekarang kita ngapain?”
“Makan, yuk? Kebetulan ini udah siang, cari makan aja. Seenggaknya ke supermarket gitu, cari biskuit yang murah,” ajak pengamen ketiga.
Semuanya setuju, dan segera berangkat. Mereka mencari lama sekali, sampai kaki mereka capek dan tidak kuat untuk jalan lagi.
“Gue capek, Bro… kaki gue nggak mau disuruh jalan. Udah, ya, berhenti aja dulu?” pinta pengamen kedua.
“Hus, nggak mau makan, ya?” kata pengamen pertama. “Kita belum makan siang, tahu. Mau kelaperan di sini terus, sampai malam?”
Keempatnya berjalan terus, sampai menemukan sebuah warung kopi. Mereka menyerbu warung kopi itu, memesan teh jahe dan kopi.
“Duitnya cukup, nggak, ya?” bisik pengamen keempat.
“Cukuplah, tadi, kan, gue kan…” pengamen pertama merogoh-rogoh sakunya. Dia terkejut dan panik saat menyadari uangnya hilang.
“ASTAGFIRULLAH! Duitnya hilang!” jeritnya.
“Duh, bikin panik aja, nih, orang. Heh, kau taruh mana duitnya?” tanya pengamen ketiga.
Semuanya ikut mencari. Mereka bahkan menelusuri jalan yang tadi dilalui. Ternyata, uangnya sama sekali tidak ada.
“Barangkali diterbangkan angin,” bisik pengamen pertama dengan khawatir.
“Aduh, harusnya kau taruh betul-betul, dong! Yah, padahal duitmu itu yang seharusnya dipakai buat beli makan!” kata pengamen kedua.
Semuanya putus asa dalam mencari. Mereka terpaksa membatalkan pesanan dan pergi mengamen lagi. Si pengamen pertama bekerja keras mengumpulkan uang yang banyak untuk tebusan atas kecerobohannya.