Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Lelaki tegap berambut ikal yang tangan kirinya mengepal dalam genggaman sepertiga malam dengan penuh amarah.
Sementara dengan sorot mata intimidatif tangan kanannya terus mencengkeram lengan perempuan yang sedari tadi meringis menahan sakit.
“Mas, lepasin! Aku bukan hewan sirkus. Pecundang amat bujuk perempuan dengan kekerasan.”
Ucapan Wati tak digubris oleh Andi. Ia masih terus saja menyuruh dengan kasar wanita itu mengikutinya tujuannya yang entah kemana ia sendiri pun tak tahu.
“Berhenti, bangsat!” gertak Wati dengan air mata yang mulai berlinang dan diselimuti ketakutan yang kian menyeruak. Namun ia harus tetap mengangkat wajahnya, karena pantang bagi Wati tertunduk untuk lelaki macam Andi yang ringan tangan dan panas akal.
Andi yang mendengar gertakan itu berhenti seketika, ditatapnya muka Wati dengan bibir bergetar dan berlinang air mata, tangan lebarnya mendarat di pipi Wati, seketika wajah perempuan itu terlempar ke samping mengikut sebagian rambutnya menutupi setangah wajahnya yang kini menahan perih.
Andi mengambil dagu Wati yang sedari tadi membuang muka; memegangnya pipinya; lalu berkata setengah senti tepat di wajahnya, “Lebih berengsek kau, setan!
Bisa-bisanya menghubungi lagi mantanmu, yang katanya tidak lebih baik dari keledai itu.”
“Itu hanya karena kami punya kesamaan menyukai komik bertema serial killer. Tidak lebih!” Suara Wati bergetar ketika mencoba menjelaskan dengan singkat.
Napas amarah dan ketidakberdayaan saling beradu. Andi mencengkeram lagi lengan Wati.
“Kau harus dihukum!” gertak Andi.
“Lepasin, bajingan!” Kali ini dengan sisa tenaga Wati mencoba berontak dan teriak. Badannya yang mungil mencoba melawan, tetapi energinya berkata sebaliknya.
Wati terjatuh di ujung taman bunga, tepat di belakang depot es batu.
Andi celingak-celinguk mengamati sekitar, kemudian ia merebahkan tubuh Wati dengan kasar; menutup mulut perempuan itu yang berteriak dengan suara paraunya; lalu kemudian menarik sweater Wati hingga mencapai ke dada.
Di bawah remangnya lampu taman dengan pendar cahaya kekuningan, seorang lelaki tergeletak kepalanya bersimbah darah, di samping tergeletak batu sebesar bola voli.
_
Dua hari berselang dari malam kelam itu, Wati tak sengaja menjatuhkan fotonya bersama Andi yang sedang makan es krim dengan pose saling menautkan kelingking.
“Aku memang tidak bisa memegang janjimu, tapi setidaknya kelingkingmu bisa kubawa pulang,” gumam Wati sambil melihat benda di dalam plastik zip-lock yang masih ada bercak darah.(*)