Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Suara mesin cetak di latar belakang menjadi irama kerja Ron yang monoton. Tangannya cekatan menata lembaran-lembaran kertas yang baru keluar dari mesin. Pesanan buku saku jurnal harian sholat dan hafalan Quran untuk anak-anak Madrasah Ibtidaiyah (MI) menumpuk di mejanya. Ia teliti memeriksa setiap cetakan, memastikan warna cerah dan ilustrasi menarik tercetak sempurna. Di tengah kesibukan itu, notifikasi pesan dari Aila muncul di layar ponselnya. Ia menyeka tangannya yang sedikit terkena tinta, lalu meraih ponselnya, membacanya perlahan, setiap kata terasa bagai riak di permukaan sungai jiwanya, mengalir tenang namun menyentuh kedalaman. "Berat sih mau bales apaaa? Emg seyakin itu ya sama saya? Saya kan masih anak kemarin sore kak." Ron menghela napas lirih. Keraguan Aila adalah arus yang wajar dalam perjalanan, sebuah kejujuran yang ia terima dengan kedamaian batin. Usia hanyalah tetesan waktu, dan kematangan seringkali tersembunyi di kedalaman mata air yang jernih.
Ron kembali fokus pada pekerjaannya. Ia menyusun lembaran-lembaran yang berisi kolom catatan sholat lima waktu dan target hafalan ayat-ayat suci. Tangannya terampil melipat dan memotong kertas sesuai ukuran buku saku. Namun, pikiran tentang pesan Aila tetap mengalir di benaknya, bagai gemericik air terjun yang mengingatkan pada batasan. Cinta yang tulus mengalir bebas, tanpa paksaan, memberikan ruang seluas samudra bagi yang dicintai untuk menemukan jalannya. Ia akan menjaga perasaannya bagai sungai yang mengalir sabar menuju muara, tanpa tergesa memaksakan takdir.
"Menikah itu mudah. Tinggal mengiyakan ajakan seseorang yang serius untuk menikah. Tapi perasaan dan keyakinan manusia terhadap seseorang tidak pernah sesimple itu." Kata-kata Aila adalah pantulan kejernihan air, mencerminkan pemahaman yang sama tentang kompleksitas hati. Ron mengamati ilustrasi anak-anak yang sedang sholat dan membaca Quran, menyadari bahwa keyakinan dan cinta membutuhkan waktu untuk tumbuh dan meresap ke dalam jiwa, bagai pertemuan dua aliran sungai, menyatu dalam keyakinan yang tak tergoyahkan, bukan sekadar bendungan formalitas.
Jemari Ron berhenti sejenak, meraih gelas air putih di mejanya. Ia menatap tumpukan buku saku yang hampir selesai. "Kenapa harus menunggu saya yang tidak pasti?" Pertanyaan Aila kembali terngiang, kali ini terasa lebih menyayat. Ia merenungkannya bagai menatap kedalaman danau, mencari jawaban yang tersembunyi di balik permukaannya yang tenang. Ketidakpastian adalah kabut yang sesekali menyelimuti perjalanan sungai. Pilihan orang lain adalah anak sungai yang memiliki arahnya sendiri. Keyakinannya pada Aila adalah mata air yang memancar dari kedalaman jiwanya, sebuah keyakinan yang ia jaga dengan hati-hati, tak ingin riak opini masyarakat mengotorinya.
Ron kembali bekerja, menyelesaikan pesanan buku saku dengan cermat. Ia membayangkan buku-buku kecil itu akan menemani langkah anak-anak dalam belajar agama, menjadi saksi bisu upaya mereka mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Di tengah pekerjaannya, ia teringat saran Aila. Cinta yang tulus adalah sungai yang tak pernah berhenti mengalir, melewati berbagai rintangan waktu. Ia akan membalas pesan ini dengan kelembutan ombak, menyampaikan perasaannya tanpa memaksa, berharap suatu hari nanti, aliran hati Aila akan bermuara padanya. Cinta sejati adalah kesabaran air yang menetes perlahan, meluluhkan batu keraguan, dan Ron akan terus menanti dengan ketenangan seorang pria yang hatinya telah menemukan pelabuhan, sembari tangannya terus menghasilkan lembaran-lembaran kebaikan untuk masa depan anak-anak, dengan harapan yang lirih namun tak pernah padam.
-Tamat