Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dua tahun lagi? Pertanyaan itu menghantam benakku bagai palu, lebih keras dari denting sendok di warung seblak yang riuh. Di hadapanku, ia mengaduk kuahnya perlahan, raut wajahnya menyimpan ketegasan yang membuat jantungku mencelos. "Target menikahku di usia 25-26," begitu pesannya terngiang, "tapi Qodarullah, hanya Allah yang tahu." Secercah harapan di tengah kepastian waktu yang terasa begitu jauh.
Aku menggenggam jemariku di bawah meja, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mencengkeram. Setiap kata yang ingin kuucapkan terasa berat bagai batu. Ia menatap sekeliling warung, seolah mencari sesuatu yang lebih menarik daripada diriku. Bagaimana caranya meyakinkanmu bahwa 'nanti' itu terlalu lama? Bagaimana menunjukkan keseriusanku tanpa terdengar memaksa?
"Dua tahun itu... waktu yang terasa panjang," ujarku akhirnya, suara tercekat di antara bisingnya penjual dan pembeli. Ia menoleh, alisnya terangkat sedikit, tanpa ekspresi. Aku merasakan keringat dingin membasahi telapak tanganku. Aku harus berjuang. Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan waktu terus berjalan.
"Tapi kamu juga bilang, takdir tidak ada yang tahu," lanjutku, mencoba mencari celah. "Mungkin... mungkin takdir kita bisa dipercepat?" Aku memberanikan diri menatap matanya, mencari setitik kelembutan di sana. Namun yang kutemukan hanyalah kewaspadaan. Sesekali ia menyarankan jika akun ingin segera menikah, ia mempersilahkan aku mencari yang lain. "Tidak perlu sungkan," katanya.
Menurutku, kalau jodoh sudah di depan mata, kenapa harus mencari yang lain? Bukankah seharusnya diperjuangkan? Aku mau kamu.
Kegugupanku semakin menjadi-jadi. Aku merasa seperti seorang pelari yang harus mengejar kereta yang sudah mulai berjalan. Setiap detik terasa berharga. Aku harus menunjukkan bahwa penantian dua tahun itu tidak perlu. Bahwa 'siap' itu bukan hanya soal usia, tapi juga tentang keyakinan dan kesungguhan hati.
"Aku ingin membangun masa depan denganmu," kataku, berusaha menyuarakan keyakinan meski suara bergetar. "Bukan dalam dua tahun, tapi secepatnya. Aku siap. Lebih siap dari yang kamu bayangkan." Aku meraih tangannya di atas meja, merasakan keraguan yang tersirat dalam genggamannya yang dingin.
"Biarkan aku membuktikannya," pintaku, menatap matanya dengan sungguh-sungguh. "Biarkan takdir melihat kesungguhanku. Jangan biarkan target waktu itu membutakanmu dari apa yang mungkin kita miliki saat ini. Beri aku kesempatan untuk mempercepat takdir itu, bersamamu." Aroma seblak yang pedas bercampur dengan aroma harapan yang baru saja kutanam. Aku hanya bisa menunggu, berharap benih itu akan tumbuh di hatinya.