Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu, seperti biasa, Danu sedang membersihkan meja-meja kecil di kedai kopi di Stasiun 12. Suara sepatu yang berderap di lantai kereta dan hiruk-pikuk pengumuman hanya menjadi latar belakang bagi rutinitasnya yang sudah berjalan tiga tahun ini. Kopi sudah disiapkan, meja sudah dibersihkan, dan mesin espresso sudah mengeluarkan asap panas yang khas.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat hari-harinya di kedai ini istimewa, walaupun ia tidak pernah mengungkapkannya pada siapa pun.
Setiap Senin pagi, tepat pukul 6, seorang gadis dengan rambut panjang yang selalu terikat rapi akan masuk ke kedainya. Matanya selalu sedikit mengantuk, seperti baru saja terbangun dari tidur yang panjang, tapi senyumannya selalu cerah. Gadis itu, yang selalu memakai jaket denim dan sepatu kets, akan langsung menuju meja paling pojok, duduk di sana sambil melihat ke luar jendela besar, menunggu kereta keberangkatannya.
Dan yang paling penting—gadis itu selalu memesan kopi yang sama, setiap minggu: kopi hitam tanpa gula, hanya itu.
Danu akan menyiapkan pesanan itu tanpa kata-kata. Dia sudah hafal betul. Tanpa sadar, dalam tiga tahun ini, ia selalu menyapanya dengan senyum dan “selamat pagi” ringan, namun tak lebih dari itu. Sebuah kebiasaan yang ia anggap biasa, meski hatinya terkadang merasa berdebar saat melihat gadis itu datang.
Pagi ini, seperti biasanya, gadis itu muncul. Danu tersenyum sambil menyiapkan kopi hitam tanpa gula yang sudah menjadi rutinitas. Ia lalu menatap gadis itu, yang sedang duduk dengan tatapan jauh, seakan memikirkan sesuatu yang dalam.
“Selamat pagi, seperti biasa?” tanya Danu sambil tersenyum, melangkah menuju meja gadis itu dengan cangkir kopi yang sudah terisi penuh.
Gadis itu menoleh, senyum kecil di bibirnya. "Ya, seperti biasa," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. “Terima kasih, Danu.”
Danu hanya mengangguk ringan, lalu kembali ke balik meja kasir. Waktu terasa berjalan lambat ketika gadis itu ada di sana. Hanya ada kedamaian, secangkir kopi, dan dunia yang terasa jauh di luar sana.
Namun, ada satu hal yang tak Danu ketahui—ini adalah kopi terakhir bagi mereka.
Beberapa hari kemudian, gadis itu tidak muncul. Danu menunggu, merapikan meja-meja, menyiapkan kopi untuk pelanggan yang datang dan pergi. Namun, setiap kali jam menunjuk pukul 6, dan pintu kedai itu terbuka, ia selalu berharap gadis itu akan datang dengan senyum seperti biasanya.
Tapi, tidak ada yang datang.
Minggu berlalu. Dan minggu berikutnya. Danu mulai merasa cemas, meski ia tidak pernah benar-benar mengenalnya. Hanya secangkir kopi yang selalu mereka bagikan. Hanya senyum singkat setiap kali mereka bertemu.
Di pagi yang keempat tanpa gadis itu, seorang wanita masuk ke kedai. Wanita itu mirip sekali dengan gadis yang biasa datang, hanya saja usianya sedikit lebih dewasa. Rambutnya lebih panjang dan sedikit lebih tergerai. Ia memakai jaket yang hampir sama, dan sepatu kets yang sama. Hanya saja, ada sedikit kesan yang berbeda di wajahnya—ada kesedihan yang mendalam.
Wanita itu berdiri sejenak di depan meja kasir, lalu menghadap Danu. “Selamat pagi,” katanya dengan suara lembut. “Boleh saya pesan kopi hitam tanpa gula? Seperti yang biasa adik saya pesan.”
Danu terdiam, menatap wanita itu dengan bingung. "Kopi hitam tanpa gula?" tanyanya, mencoba mengenali sesuatu. “Tapi… apakah Anda sering datang ke sini?”
Wanita itu tersenyum tipis. "Saya kakaknya. Adik saya yang biasa datang ke sini," jawabnya dengan suara yang berat.
Jantung Danu berdegup kencang. “Adik Anda?” ulangnya, matanya sedikit terbelalak. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Gadis itu—gadis yang selalu memesan kopi hitam tanpa gula itu—menghilang tanpa kabar.
“Iya, dia yang selalu datang setiap Senin pagi. Sebelum…” wanita itu menghela napas. “Sebelum dia pergi.”
Danu menelan ludah, merasa ada yang tidak beres. "Pergi? Maksud Anda?"
Wanita itu menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya. "Adik saya… meninggal setahun lalu. Di kecelakaan. Tapi sebelum itu, dia selalu bercerita tentang kedai ini. Tentang seorang pria yang selalu membuat paginya jadi lebih baik hanya dengan menyapanya. Setiap Senin, meski mereka tidak pernah bicara banyak."
Danu terdiam, kepalanya berputar. “Tapi… saya tidak tahu. Saya tidak pernah—”
Wanita itu menyela, membuka tas kecil di tangannya, dan mengeluarkan sebuah surat kecil yang sudah kusut. “Ini… dari adik saya. Dia menyuruh saya memberikan ini pada Anda. Surat yang tidak sempat dia berikan.”
Danu mengambil surat itu dengan tangan gemetar. Di atas kertas itu hanya tertulis satu kalimat:
"Kalau suatu hari kamu tidak melihatku lagi, ketahuilah bahwa aku jatuh cinta padamu setiap pagi."
Danu terdiam, mata menatap kosong surat itu. Hatinya terasa berat. Ia tidak pernah menyadari perasaan itu, atau bahkan pernah menyangka bahwa gadis itu mungkin merasa hal yang sama.
Wanita itu tersenyum lembut, lalu berkata, “Mungkin, sekarang dia sudah menemui cara untuk memberitahumu, meski hanya lewat surat.”
Danu hanya mengangguk pelan. Ia merasa kehilangan—bukan hanya seorang pelanggan tetap, tetapi juga seseorang yang secara diam-diam telah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun mereka tak pernah mengucapkan lebih dari kata-kata biasa.
Pagi itu, di kedai kopi yang sederhana ini, ia akhirnya memahami bahwa cinta bisa datang dalam bentuk yang paling tak terduga.