Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Perumahan Wijaya Asri tampak seperti tempat paling tenang di dunia. Pohon-pohon rindang, pagar putih rapi, dan suara burung yang bersahutan setiap pagi. Bagi Intan, ini terasa seperti awal yang baru. Ia baru saja pindah bersama ibunya setelah perceraian yang melelahkan.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan dua hari.
Malam ketiga, saat Intan sedang menggulung tirai kamarnya, ia melihatnya—cahaya dari jendela rumah sebelah yang katanya kosong.
Ia memicingkan mata. Rumah itu gelap gulita sejak hari pertama. Tak ada mobil di garasi, tak ada lampu teras, dan rumputnya tumbuh liar. Tapi malam ini, cahaya kekuningan remang muncul dari lantai dua. Tepat dari jendela yang menghadap ke kamarnya.
Intan berpikir mungkin itu hanya pantulan lampu jalan. Tapi malam-malam berikutnya, cahaya itu muncul lagi—selalu sekitar pukul sebelas malam. Dan lebih anehnya lagi, sebuah siluet berdiri diam di balik tirai.
Ia sempat merekam dengan ponsel, tapi hasilnya buram. Seolah kabut menyelimuti layar setiap kali ia coba zoom.
Penasaran, Intan bertanya pada tetangga kanan-kiri.
“Oh… rumah itu memang kosong,” jawab Pak Burhan, tetangga sebelah kanan. “Sudah lima tahun. Pemiliknya pindah ke luar negeri.”
“Tapi saya lihat ada cahaya dari jendelanya, Pak.”
Pak Burhan menatapnya lama. “Saran saya… jangan terlalu sering melihat ke arah situ, ya.”
Intan menggigit bibir. Ia mencoba bertanya pada ibu, tapi ibunya hanya berkata pendek, “Jangan urusi rumah orang.”
Malam kelima, Intan tak tahan.
Ia naik ke loteng—sebuah ruang kecil berdebu yang lama tak digunakan. Dari situ, ia bisa melihat langsung ke lantai dua rumah kosong itu. Ia menyiapkan kamera ponsel, menunggu dalam diam, detik demi detik, sambil sesekali melirik jam.
Pukul 11.04, cahaya itu menyala. Tirai terbuka sedikit. Dan—di tengah ketegangan, Intan berhasil mengambil foto.
Jantungnya berdetak liar. Ia membuka galeri dan memperbesar gambarnya.
Siluet itu jelas sekali.
Dan ia terdiam.
Itu dirinya. Atau… seseorang yang sangat mirip dengannya, berdiri menatap keluar dengan ekspresi kosong.
Tangannya bergetar. Ia turun tergesa, hampir terjatuh di tangga loteng. “Mungkin itu hanya pantulan? Mungkin itu... mimpi?” gumamnya meyakinkan diri.
Namun siang berikutnya, ia memberanikan diri mengelilingi pagar rumah kosong itu.
Terkunci.
Ia mengintip dari sela jendela lantai bawah. Kosong. Berdebu. Tapi di meja ruang tamu, ada bingkai foto kecil. Ia menyipitkan mata.
Itu foto seorang anak perempuan—yang juga mirip dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Intan mengajak ibunya duduk. Ia menunjukkan foto yang ia ambil dari loteng.
Wajah ibunya langsung pucat.
“Ma... siapa gadis ini?” tanya Intan.
Ibu menghela napas panjang, lalu berdiri dan mengambil map tua dari lemari. Ia membuka lembaran demi lembaran—akta kelahiran, dokumen rumah sakit, dan akhirnya sebuah foto bayi kembar.
“Kamu… punya saudara kembar, Intan,” bisik ibunya. “Namanya Nadya.”
“Kenapa aku tak pernah tahu?”
“Ia hilang saat usia dua tahun. Di taman kota. Kami mencarinya bertahun-tahun. Tapi polisi bilang… mungkin dia sudah tak ada.”
Intan menggigit bibir, kaget dan gemetar. “Tapi... kenapa fotonya ada di rumah sebelah? Kenapa dia muncul di jendela?”
Ibunya hanya menggeleng. “Rumah itu… dulunya rumah keluarga asuh yang pernah ingin mengadopsi Nadya sebelum dia menghilang. Tapi entah kenapa, mereka menghilang juga, pindah tanpa jejak.”
Malam itu, Intan kembali ke loteng. Tapi kali ini, ia membawa senter dan keberanian lebih besar. Ia menulis satu catatan kecil, menempelkannya di jendela:
Siapa kamu?
Pukul 11.07 malam, tirai rumah sebelah bergerak. Cahaya menyala. Sosok itu kembali.
Tapi kini, sosok itu mengangkat tangan dan menunjuk ke arah bawah, ke halaman belakang rumah itu.
Intan tertegun. Esoknya, ia memanjat pagar dan menyusuri halaman belakang. Di pojok taman yang hampir tertutup semak liar, ada batu kecil tertutup lumut, dan di bawahnya—jejak bekas galian yang telah tertimbun kembali.
Intan melapor ke polisi. Penggalian dilakukan.
Yang mereka temukan adalah tulang anak kecil, dibungkus selimut, dan sebuah boneka beruang lusuh bertuliskan nama: Nadya.
---
Sejak malam itu, lampu di jendela rumah kosong tak pernah menyala lagi.
Dan Intan tahu, kembarannya akhirnya menemukan jalan pulang.