Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan belum reda ketika Wiratma menyembunyikan gulungan naskah di balik kain lusuhnya. Tangan tuanya bergetar bukan karena dingin, tapi karena ingatan akan darah yang menodai lantai pendapa. Malam itu, Kartasura menjadi kobaran api dan jerit pilu. Istana digulingkan, raja disingkirkan, dan para abdi dalem diburu seperti hewan.
Wiratma selamat hanya karena ia juru tulis. Tak dianggap penting, katanya. Tapi malam itu, saat ia hendak melarikan diri, langkahnya terhenti di balik ruangan penyimpanan naskah. Di sanalah ia menemukannya—lembaran lontar yang dicap jempol berdarah dua puluh abdi utama dan ditandatangani oleh sang raja sendiri.
Itu bukan sembarang sumpah. Itu adalah Janji Setia Kawula, dokumen kuno yang hanya dibuat ketika pergolakan mengancam takhta. Isinya mengukuhkan siapa yang layak menjadi penerus tahta apabila segalanya hancur. Cap jempol berdarah sebagai materainya, bukan emas.
Empat belas tahun telah berlalu. Kartasura dipindah, nama baru digulirkan, dan rakyat perlahan melupakan yang dulu. Tapi tidak Wiratma. Ia menjelma menjadi pengemis buta di sudut pasar, menyamar selama bertahun-tahun, menjaga naskah di bawah lantai pondok reyot yang ia gali sendiri. Ia menanti, walau tak tahu pasti apa atau siapa yang ia tunggu.
---
Pagi itu, seorang bocah mencuri pisang dari lapak pasar dan berlari ke arah pondok tua Wiratma. Anak itu biasa dipanggil Lodra, anak jalanan tanpa orang tua, selalu kotor, tapi punya mata yang tajam dan mulut yang lebih tajam lagi.
“Pisang, Mbah!” serunya, melempar dua buah ke pangkuan Wiratma. “Aku ambil dari si juragan pelit. Anggap sedekah dipaksa.”
Wiratma tertawa kecil. “Kalau begitu, aku juga sedekah doaku dipaksa.”
Mereka makan dalam diam. Hujan semalam menyisakan kabut tipis yang menari di antara pepohonan. Lodra tampak termenung.
“Mbah,” katanya tiba-tiba. “Kau pernah bilang naskah itu penting. Tapi kenapa tidak kau tunjukkan pada siapa pun?”
Wiratma memejamkan mata. “Karena belum waktunya. Dan karena aku tak tahu siapa yang bisa dipercaya.”
Lodra menatap lelaki tua itu lama. Lalu, tanpa berkata, ia bangkit dan berjalan menuju celah lantai tempat naskah disembunyikan. Dengan cekatan, ia menarik kotak kayu dan membuka isinya.
Wiratma terkesiap. “Hei! Kau…”
“Ssst, Mbah,” Lodra menatap gulungan lontar itu. “Aku cuma ingin melihat seperti apa bentuk naskah yang bisa mengubah sejarah.”
Ia membukanya perlahan. Di halaman terakhir, dua puluh cap jempol berbaris rapi. Dan di bawahnya, nama yang ditulis dengan tinta merah tua:
Raden Mas Singalodra.
Mata Lodra membelalak. “Singalodra? Itu... seperti namaku.”
Wiratma menatap bocah itu, perlahan berdiri dengan tubuh gemetar. Ia mendekat, menatap cap jempol yang mulai memudar namun masih nyata. Di sampingnya, tanda tangan raja tua: Amangkurat.
“Bukan seperti,” bisik Wiratma. “Itu memang namamu.”
Lodra menggeleng. “Tak mungkin. Aku bukan siapa-siapa. Aku dibuang di pasar sejak kecil.”
Tapi Wiratma menatap wajah bocah itu, mengingat sesuatu. Hidungnya. Matanya. Lengkungan bibirnya. Bukan kebetulan.
“Ayahmu tewas malam itu. Ibunya menghilang. Tapi sebelum mereka diserang, seorang emban membawa bayi laki-laki keluar lewat terowongan belakang. Bayi itu punya tanda lahir di telapak kakinya—”
Lodra berdiri dengan panik. “Berhenti! Ini konyol!”
“Telapak kaki kirimu, ada tanda seperti bulan sabit, bukan?”
Lodra membeku.
Wiratma menunduk, menahan air mata. “Aku tahu karena aku yang mencatatnya. Aku yang menulis silsilah keluarga. Kau adalah pangeran terakhir yang sah.”
---
Hari mulai siang ketika mereka mendaki bukit kecil di luar kota, menuju reruntuhan gerbang lama istana Kartasura. Wiratma menggenggam gulungan naskah, Lodra masih diam sepanjang jalan.
“Aku bukan raja,” ucap Lodra akhirnya. “Aku cuma bocah liar.”
“Tapi darahmu mengikat sumpah ini,” jawab Wiratma. “Dan negeri ini butuh seseorang yang tahu rasanya kelaparan dan ditindas. Bukan yang hanya tahu kemewahan.”
Lodra menatap langit. “Apa gunanya? Rakyat sudah melupakan segalanya. Sejarah dikubur.”
“Kalau begitu,” ucap Wiratma sambil menyerahkan naskah itu ke tangan Lodra, “kuburkan naskah ini. Atau… bangkitkan kebenaran darinya.”
Lodra menatap kertas tua itu. Di sana, cap jempol terakhir terlihat lebih pudar, tapi garis-garisnya masih bisa dikenali. Ia menatap jempol kanannya. Perlahan, ia menekannya ke tanah basah, lalu mencocokkannya di atas cap tua itu.
Sempurna.
---
Suara angin menyapu dedaunan. Di bawah langit Kartasura yang muram, seorang bocah berdiri menggenggam gulungan sejarah. Di sebelahnya, seorang tua tersenyum puas sebelum bersandar di batu dan menutup mata untuk terakhir kalinya.
Di tangan Lodra, naskah itu tak lagi sekadar bukti masa lalu. Tapi awal dari sesuatu yang baru.