Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dika menatap layar ponselnya dengan bangga. “Nak, Pulanglah! Ayah salah. Ayah Minta Maaf.” Pesan itu menggema di kepalanya, meledak-ledak seperti letusan kembang api. Ruang bathinnya terasa meriah hanya senyum-senyum yang bermunculan di wajahnya, Kemenangan ini begitu istimewa sehingga segala pertaruhan hidupnya sepuluh tahun di kota ini tidak terasa lagi. Segala kepedihan yang sempat dia rasakan sirna begitu saja. Sosok ayah yang tidak menerima keberadaannya kini berubah pikiran. Mungkin keberhasilannya di kota tersiar sampai ke telinganya. Dika bersedia pulang demi mendengar kata-kata itu langsung dari mulut ayahnya.
Segala bayangan kemarahan yang muncul selama ini berlalu begitu saja. Entah kenapa, mungkin karena kesusahan yang dihadapinya membuatnya semakin bijak. Dika masih belum menduga sosok yang sombong itu mau meminta maaf. Terakhir kali bertemu ayah adalah perdebatan yang tanpa ujung. Ayah menganggap Dika anak yang tidak berguna. Dika kalah dengan teman-teman lainnya yang sudah cakap mengolah sawah atau memelihara ternak.
Sementara Dika menganggap ayahnya sosok yang kaku. Dika fisiknya lemah tetapi otaknya encer, Dika adalah kebanggaan sekolah dengan menjuarai olimpiade Matematika. Dika masih ingat respon ayahnya, “Nilai Olimpiade Matematika itu tidak bisa dibelikan beras.” Ayah memang tidak pernah bisa menerima fakta seperti itu, karena baginya satu-satunya cara untuk mendapatkan uang adalah bekerja dengan fisik.
Dika kabur dari rumah dengan satu tujuan membuktikan ayah salah. Menderita di kota itu lebih baik daripada bertemu dengan ayah yang tidak menganggapnya ada. Dika mencari berbagai pekerjaan yang cocok untuknya. Sebuah lembaga bimbingan belajar menerimanya menjadi guru walau dengan ijazah SMP. Gaji pertama sebagai guru les Matematika Dika abadikan akan menjadi pembuktian kepada ayahnya. Sembari bekerja Dika mengikuti Kejar Paket C. Keterbatasannya tidak membendungnya untuk lulus dan diterima di Perguruan Tinggi Ternama. Kecerdasannya memang tidak terbantahkan setelah lolos seleksi LPDP S2 ke Inggris.
. Kemenangannya sudah mendekati paripurna oleh pesan ayahnya. Ayah mulai sadar ternyata pendidikan dampaknya begitu besar dalam mengangkat derajat keluarga. Tidak dipungkiri ayahnya hanya orang kampung yang tidak bersekolah. Cara hidup satu-satunya baginya adalah membanting tulang dengan keras.
Sepuluh tahun tidak mengubah wajah kampungnya. Warganya masih berkutat dengan kemiskinan. Tidak adanya kesadaran akan pentingnya pendidikan membuat kemiskinan begitu melekat dalam hidupnya. Hal ini sudah lama dipikirkannya karenanya berniat membuka lembaga pendidikan non formal. Beberapa warga mengenali Dika, mereka melihatnya dengan tatapan kagum tidak seperti tatapan sepuluh tahun lalu yang menganggapnya sombong dan tidak tahu diri.
Gang menuju rumahnya berlalu lalang warga desa yang menyambut Dika dengan haru. Dika tidak mengharapkan warga menyambutnya bak pahlawan yang mampu keluar dari jerat kemiskinan. Dika hanya ingin melihat ayahnya yang belum ditemukan matanya.
Kakak Dika menyambut kedatangannya. “Pesan itu, kata-kata itu sebenarnya dari kakak, supaya kamu mau pulang. Kalian berdua lelaki yang keras kepala,”
“Ayah kenapa?” teriak Dika. Ayah Dika terbujur kaku berselimutkan kain batik.
“Ayah kecelakaan tertimpa pohon. Ayah sekarat, tapi dia masih menolak menghubungimu,” sambung kakaknya.
Kembang api itu Meletus, kemeriahannya hanya sementara. Tidak ada kemenangan, suara-suara dari luar tidak terdengar lagi. Sosok yang dia perlukan untuk menerima pencapaiannya tidak ada lagi. Kehilangan ayah sama seperti kehilangan semesta. Dika tidak tahu caranya bangkit dari kemenangan semunya.