Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rumah sakit itu terasa lebih dingin dari biasanya. Dokter Cindy melirik jam dinding di ruang jaga. Pukul 02:47 dini hari. Sudah berjam-jam dia berjaga, tetapi matanya tetap waspada. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya malam ini.
Dia berjalan menyusuri koridor, merasakan kesunyian yang aneh. Biasanya, ada suara monitor berbunyi atau langkah perawat yang sibuk. Tetapi sekarang? Hanya suara desis AC dan dengungan lampu neon yang terasa semakin mencekam.
Cindy tiba di ruang ICU, mengecek daftar pasien. Ada satu nama yang menarik perhatiannya, seorang pria tanpa identitas, masuk dengan luka parah di kepala setelah kecelakaan. Tidak ada keluarga, tidak ada dokumen. Hanya disebut sebagai ‘Pasien X’.
Rasa penasaran membawanya masuk ke ruang pasien itu. Pria di ranjang terlihat tidak bergerak, selang-selang infus terpasang rapi di tubuhnya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Monitor menunjukkan detak jantung yang normal, terlalu normal. Grafiknya tidak pernah berubah. Garis-garisnya tetap konstan, seolah direkayasa.
Cindy mengerutkan dahi. Dia mendekat, mencoba memeriksa kondisi pasien. Saat itulah, mata pasien itu terbuka. Seketika, udara di ruangan berubah.
"Dokter..." Suara pasien itu berat dan serak, seperti seseorang yang baru belajar berbicara.
Cindy tertegun. Dia seharusnya tidak sadar. Dia seharusnya koma.
"Anda sudah sadar?" Cindy bertanya dengan hati-hati.
Pasien itu menoleh perlahan. "Aku... tidak boleh di sini."
Jantung Cindy berdegup lebih cepat. "Apa maksud Anda?"
Tiba-tiba, lampu di ruangan berkedip-kedip. Suhu ruangan terasa semakin turun. Monitor jantung mulai berbunyi nyaring, tetapi bukan bunyi biasa, melainkan suara yang terdengar seperti bisikan.
Cindy mundur selangkah, perasaannya tidak enak. Dia mencoba memanggil perawat lewat interkom. Sialnya, hanya terdengar suara statis.
Lalu, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.
Tubuh pasien itu mulai bergerak. Tulang-tulangnya berbunyi seperti ada yang retak. Dia bangkit dari ranjang, mencabut selang infus dengan kasar. Darah menetes di lantai, tetapi dia tidak menunjukkan ekspresi kesakitan sedikit pun.
"Dimana mereka?" bisiknya.
Cindy bergidik. "Siapa?"
Pasien itu menatapnya dengan mata kosong. "Mereka yang membawaku ke sini."
Sebelum Cindy bisa merespons, terdengar suara dentingan logam dari luar.
Brak!
Sesuatu jatuh di koridor.
Cindy melangkah mundur, membuka pintu dengan hati-hati. Koridor yang tadi kosong kini memiliki jejak darah mengarah ke ruang perawat.
Jantungnya berdegup kencang saat dia berjalan mengikuti jejak itu.
Ketika dia sampai di ruang perawat, lampunya berkedip-kedip. Ruangan itu kosong. Hanya tersisa tumpukan pakaian yang tercecer di lantai, seolah orang-orang yang ada di sana menghilang begitu saja.
Cindy mencoba menelan ludah. Ini tidak masuk akal. Kemana semua orang?
Lalu dia mendengar suara langkah kaki di belakangnya.
Cepat.
Dia berbalik.
Pasien X berdiri di sana dengan kepala miring ke samping, senyumnya aneh.
"Mereka sudah pergi," katanya.
Cindy mundur, tangannya gemetar. "Apa yang kau lakukan?"
Pasien itu mendekat, gerakannya patah-patah seperti boneka yang dipaksa bergerak. "Aku tidak membunuh mereka."
Cindy menelan ludah. "Lalu kemana mereka?"
Pasien X tersenyum lebar, matanya kosong.
"Mereka ada di sini."
Dia mengangkat tangannya, menunjuk ke kepala Cindy.
Sekejap kemudian, Cindy merasakan sesuatu merayap di pikirannya. Suara-suara berbisik, wajah-wajah rekan-rekannya muncul dalam ingatannya, menjerit tanpa suara, seolah mereka semua terjebak di dalam kepalanya.
Cindy berteriak, rasa sakit menusuk kepalanya. Dia jatuh berlutut, mencengkeram rambutnya. Namun, sebelum dia bisa memahami semuanya, lampu di rumah sakit padam sepenuhnya. Dan dalam gelap, suara bisikan itu semakin jelas.
Mereka semua belum pergi.
Mereka hanya bersembunyi di dalam dirinya.