Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
LANGIT SETELAH HUJAN
3
Suka
5,700
Dibaca

Langit sore itu kelabu, seperti biasa. Kota kecil di pinggiran selatan ini memang suka mengurung matahari terlalu lama, menyembunyikannya di balik awan dan diam.

Naira berdiri di balik jendela, menatap hujan yang turun seperti luka yang tak kunjung sembuh. Rumah ini sunyi, dan hanya suara ketukan rintik air di kaca yang jadi teman. Sudah tiga minggu sejak ibunya pergi. Bukan karena marah atau menghilang. Tapi karena ajal datang seperti kereta malam yang tak memberi peringatan.

Naira masih ingat hari itu: suara pecahan gelas, napas yang memendek, dan tubuh ibunya yang tergelincir di lantai dapur. Waktu seolah membeku, bahkan teriakan pun tak cukup cepat untuk menahannya.

Sejak itu, hujan seperti menetap. Tidak hanya di luar, tapi juga di dalam dirinya.

Hari ke-21 sejak pemakaman. Naira duduk di halte bus, tangan gemetar menggenggam payung biru tua yang pegangan bawahnya hilang. Benda itu peninggalan ibunya, dan entah kenapa, ia terus membawanya ke mana pun. Mungkin karena payung itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa masih bisa “melindungi” seseorang—walau sudah tak ada lagi yang dilindungi.

Di halte itu, duduk seorang pria tua. Diam, dengan mata yang berkabut seperti langit senja.

“Kamu bawa payung rusak,” katanya tiba-tiba.

Naira menoleh, sedikit kaget.

“Itu kenangan,” jawabnya singkat.

“Kadang yang rusak lebih jujur,” balas si pria. “Karena ia tak pura-pura utuh.”

Naira menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.

Si pria mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, menyerahkannya.

“Kalau kamu mau melihat langit, datanglah ke tempat ini. Jangan biarkan hujan terus jadi rumahmu.”

Sebelum Naira sempat bertanya, pria itu sudah berjalan pergi. Meninggalkan jejak di lantai yang basah dan hati yang mulai retak sedikit demi sedikit.

Alamat di kertas itu membawanya ke sebuah taman tua di pinggiran kota. Di sana, sebuah panggung kecil berdiri di tengah, setengah lapuk, seperti tak pernah dipakai lagi. Tapi ada sesuatu yang ganjil—di atas panggung, tergantung ribuan kertas kecil yang terikat benang, melayang-layang seperti hujan yang dibekukan oleh waktu.

Naira melangkah pelan. Ia memandangi satu per satu kertas itu. Semua bertuliskan hal yang sama: cerita kehilangan.

“Ayah saya pergi di hari saya ulang tahun.”

“Ibu saya meninggal saat sedang membuat sarapan.”

“Anak saya tak pernah kembali dari sekolah.”

Di antara kertas-kertas itu, Naira merasa seperti berdiri di tengah samudra luka. Tapi anehnya, ia tidak tenggelam.

Seorang wanita muncul dari balik pohon, tersenyum pada Naira.

“Selamat datang. Ini tempat orang-orang yang pernah patah,” katanya. “Kami tidak menyembuhkan. Kami hanya duduk bersama luka, dan mengakui bahwa ia ada.”

Naira menangis malam itu. Untuk pertama kalinya, bukan karena hancur. Tapi karena merasa tidak sendirian.

Dua bulan kemudian, langit mulai membuka diri. Matahari menampakkan wajahnya, dan daun-daun mulai berani tumbuh kembali.

Naira kini duduk di atas panggung kecil itu, memegang pena dan secarik kertas. Di sekelilingnya, anak-anak muda datang satu per satu. Membawa cerita, tangis, bahkan senyuman kecil yang baru tumbuh.

Ia menuliskan kalimat di kertasnya:

"Ibuku pergi, tapi hujan tidak membunuhku. Ia hanya mengajariku cara berenang dalam kenangan."

Kertas itu digantung bersama yang lain. Menjadi bagian dari atap langit itu. Bukan untuk menyembunyikan luka, tapi untuk menunjukkan bahwa luka pun bisa diterima.

Seorang anak perempuan duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam payung patah gagang, yang terlihat familier.

“Kamu tahu?” kata Naira, tersenyum pada anak itu. “Kadang, kita tak butuh payung yang utuh. Yang kita butuh... hanya tahu ada seseorang yang mau berbagi tempat di bawahnya.”

Langit sore itu jingga. Hujan sudah berhenti. Dan di dalam dada Naira, ada sesuatu yang tumbuh. Bukan luka. Bukan air mata.

Tapi harapan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Novel
Bronze
Writing is My First Love
d Curly Author
Novel
EVERY SECOND
Nisa Jihad
Novel
Bronze
13 Hari Mencari Cinta
Herman Sim
Novel
Gold
Little Did We Know
Falcon Publishing
Flash
Jalan, Yuk!
hyu
Novel
Agamotrop
Takiyara Tayee
Novel
Yang Ditinggalkan oleh Lana
Fenny C Damayanti
Novel
Bronze
Janda Cerai Mati
Via Vandella
Novel
LINGKARAN LUKA
Biobina Arydanti
Novel
Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?
Athar Farha
Komik
The Star in Milky Way
Afa Tazkia
Cerpen
Bronze
Diary Senyum Harry
Herumawan Prasetyo Adhie
Cerpen
Bronze
DEWI PUN TERTAWA
Kagura Lian
Novel
Bronze
Erstwhile
Relia Rahmadhanti
Rekomendasi
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Flash
MISI TERAKHIR
Penulis N
Cerpen
Melati dari Suroboyo
Penulis N
Novel
Ruang Kosong di Meja Nomor 9
Penulis N
Novel
Fading Heartbeats
Penulis N
Cerpen
Doa yang Lupa Kupanjatkan
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
Dukun Dadakan dari Depok
Penulis N
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Novel
Kisah Protokol X
Penulis N
Flash
Suara dari Lantai Dua
Penulis N
Cerpen
Delta
Penulis N
Novel
Kanvas Hati
Penulis N