Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
LANGIT SETELAH HUJAN
3
Suka
4,772
Dibaca

Langit sore itu kelabu, seperti biasa. Kota kecil di pinggiran selatan ini memang suka mengurung matahari terlalu lama, menyembunyikannya di balik awan dan diam.

Naira berdiri di balik jendela, menatap hujan yang turun seperti luka yang tak kunjung sembuh. Rumah ini sunyi, dan hanya suara ketukan rintik air di kaca yang jadi teman. Sudah tiga minggu sejak ibunya pergi. Bukan karena marah atau menghilang. Tapi karena ajal datang seperti kereta malam yang tak memberi peringatan.

Naira masih ingat hari itu: suara pecahan gelas, napas yang memendek, dan tubuh ibunya yang tergelincir di lantai dapur. Waktu seolah membeku, bahkan teriakan pun tak cukup cepat untuk menahannya.

Sejak itu, hujan seperti menetap. Tidak hanya di luar, tapi juga di dalam dirinya.

Hari ke-21 sejak pemakaman. Naira duduk di halte bus, tangan gemetar menggenggam payung biru tua yang pegangan bawahnya hilang. Benda itu peninggalan ibunya, dan entah kenapa, ia terus membawanya ke mana pun. Mungkin karena payung itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa masih bisa “melindungi” seseorang—walau sudah tak ada lagi yang dilindungi.

Di halte itu, duduk seorang pria tua. Diam, dengan mata yang berkabut seperti langit senja.

“Kamu bawa payung rusak,” katanya tiba-tiba.

Naira menoleh, sedikit kaget.

“Itu kenangan,” jawabnya singkat.

“Kadang yang rusak lebih jujur,” balas si pria. “Karena ia tak pura-pura utuh.”

Naira menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.

Si pria mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, menyerahkannya.

“Kalau kamu mau melihat langit, datanglah ke tempat ini. Jangan biarkan hujan terus jadi rumahmu.”

Sebelum Naira sempat bertanya, pria itu sudah berjalan pergi. Meninggalkan jejak di lantai yang basah dan hati yang mulai retak sedikit demi sedikit.

Alamat di kertas itu membawanya ke sebuah taman tua di pinggiran kota. Di sana, sebuah panggung kecil berdiri di tengah, setengah lapuk, seperti tak pernah dipakai lagi. Tapi ada sesuatu yang ganjil—di atas panggung, tergantung ribuan kertas kecil yang terikat benang, melayang-layang seperti hujan yang dibekukan oleh waktu.

Naira melangkah pelan. Ia memandangi satu per satu kertas itu. Semua bertuliskan hal yang sama: cerita kehilangan.

“Ayah saya pergi di hari saya ulang tahun.”

“Ibu saya meninggal saat sedang membuat sarapan.”

“Anak saya tak pernah kembali dari sekolah.”

Di antara kertas-kertas itu, Naira merasa seperti berdiri di tengah samudra luka. Tapi anehnya, ia tidak tenggelam.

Seorang wanita muncul dari balik pohon, tersenyum pada Naira.

“Selamat datang. Ini tempat orang-orang yang pernah patah,” katanya. “Kami tidak menyembuhkan. Kami hanya duduk bersama luka, dan mengakui bahwa ia ada.”

Naira menangis malam itu. Untuk pertama kalinya, bukan karena hancur. Tapi karena merasa tidak sendirian.

Dua bulan kemudian, langit mulai membuka diri. Matahari menampakkan wajahnya, dan daun-daun mulai berani tumbuh kembali.

Naira kini duduk di atas panggung kecil itu, memegang pena dan secarik kertas. Di sekelilingnya, anak-anak muda datang satu per satu. Membawa cerita, tangis, bahkan senyuman kecil yang baru tumbuh.

Ia menuliskan kalimat di kertasnya:

"Ibuku pergi, tapi hujan tidak membunuhku. Ia hanya mengajariku cara berenang dalam kenangan."

Kertas itu digantung bersama yang lain. Menjadi bagian dari atap langit itu. Bukan untuk menyembunyikan luka, tapi untuk menunjukkan bahwa luka pun bisa diterima.

Seorang anak perempuan duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam payung patah gagang, yang terlihat familier.

“Kamu tahu?” kata Naira, tersenyum pada anak itu. “Kadang, kita tak butuh payung yang utuh. Yang kita butuh... hanya tahu ada seseorang yang mau berbagi tempat di bawahnya.”

Langit sore itu jingga. Hujan sudah berhenti. Dan di dalam dada Naira, ada sesuatu yang tumbuh. Bukan luka. Bukan air mata.

Tapi harapan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
HELP
Kismin
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Skrip Film
For Your Page
Alya Nazira
Flash
Di Balik Jari-jari
Martha Z. ElKutuby
Cerpen
Bronze
SEBATAS KATA
Ibnu alpan
Cerpen
Bekas Luka di Meja Kafe Itu
Pinkan Maulinda
Novel
Bronze
Can't Stop
Siti Soleha
Novel
Sariak Layung di Puncak Galunggung
Rina F Ryanie
Novel
Kata-kata yang Berkumpul dan Bergumul Karenamu
Nunu Azizah
Novel
Jakarta enggak Ramah, Tapi Aku Nekat Datang
muhammad rio al fauzan
Skrip Film
Maaf, Sungguh Aku Tak Bermaksud Jatuh Cinta Padamu
Deasy Wirastuti
Cerpen
Bronze
Antara Chivas Regal Dan Yoghurt
Risman Senjaya
Novel
Si jack
Bagas
Skrip Film
Taksa
M Tioni Asprilia
Cerpen
Negri Tanpa Bendera
artabak
Rekomendasi
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Novel
Bintang di Hari Selasa
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Novel
Deadline dan Perasaan
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Cerpen
Pencuri Waktu (V)
Penulis N
Flash
Lorong Tanpa Akhir
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Cerpen
Beranda Kecil
Penulis N
Cerpen
KISAH DI BALIK HUJAN
Penulis N
Flash
KEMBALINYA SANG PENUNTUN
Penulis N
Flash
Kampung Suka Salah
Penulis N
Cerpen
Di Ujung Azan Subuh
Penulis N
Cerpen
Senja & Luka
Penulis N
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N