Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit sore itu kelabu, seperti biasa. Kota kecil di pinggiran selatan ini memang suka mengurung matahari terlalu lama, menyembunyikannya di balik awan dan diam.
Naira berdiri di balik jendela, menatap hujan yang turun seperti luka yang tak kunjung sembuh. Rumah ini sunyi, dan hanya suara ketukan rintik air di kaca yang jadi teman. Sudah tiga minggu sejak ibunya pergi. Bukan karena marah atau menghilang. Tapi karena ajal datang seperti kereta malam yang tak memberi peringatan.
Naira masih ingat hari itu: suara pecahan gelas, napas yang memendek, dan tubuh ibunya yang tergelincir di lantai dapur. Waktu seolah membeku, bahkan teriakan pun tak cukup cepat untuk menahannya.
Sejak itu, hujan seperti menetap. Tidak hanya di luar, tapi juga di dalam dirinya.
Hari ke-21 sejak pemakaman. Naira duduk di halte bus, tangan gemetar menggenggam payung biru tua yang pegangan bawahnya hilang. Benda itu peninggalan ibunya, dan entah kenapa, ia terus membawanya ke mana pun. Mungkin karena payung itu satu-satunya hal yang membuatnya merasa masih bisa “melindungi” seseorang—walau sudah tak ada lagi yang dilindungi.
Di halte itu, duduk seorang pria tua. Diam, dengan mata yang berkabut seperti langit senja.
“Kamu bawa payung rusak,” katanya tiba-tiba.
Naira menoleh, sedikit kaget.
“Itu kenangan,” jawabnya singkat.
“Kadang yang rusak lebih jujur,” balas si pria. “Karena ia tak pura-pura utuh.”
Naira menunduk. Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan.
Si pria mengeluarkan secarik kertas dari sakunya, menyerahkannya.
“Kalau kamu mau melihat langit, datanglah ke tempat ini. Jangan biarkan hujan terus jadi rumahmu.”
Sebelum Naira sempat bertanya, pria itu sudah berjalan pergi. Meninggalkan jejak di lantai yang basah dan hati yang mulai retak sedikit demi sedikit.
Alamat di kertas itu membawanya ke sebuah taman tua di pinggiran kota. Di sana, sebuah panggung kecil berdiri di tengah, setengah lapuk, seperti tak pernah dipakai lagi. Tapi ada sesuatu yang ganjil—di atas panggung, tergantung ribuan kertas kecil yang terikat benang, melayang-layang seperti hujan yang dibekukan oleh waktu.
Naira melangkah pelan. Ia memandangi satu per satu kertas itu. Semua bertuliskan hal yang sama: cerita kehilangan.
“Ayah saya pergi di hari saya ulang tahun.”
“Ibu saya meninggal saat sedang membuat sarapan.”
“Anak saya tak pernah kembali dari sekolah.”
Di antara kertas-kertas itu, Naira merasa seperti berdiri di tengah samudra luka. Tapi anehnya, ia tidak tenggelam.
Seorang wanita muncul dari balik pohon, tersenyum pada Naira.
“Selamat datang. Ini tempat orang-orang yang pernah patah,” katanya. “Kami tidak menyembuhkan. Kami hanya duduk bersama luka, dan mengakui bahwa ia ada.”
Naira menangis malam itu. Untuk pertama kalinya, bukan karena hancur. Tapi karena merasa tidak sendirian.
Dua bulan kemudian, langit mulai membuka diri. Matahari menampakkan wajahnya, dan daun-daun mulai berani tumbuh kembali.
Naira kini duduk di atas panggung kecil itu, memegang pena dan secarik kertas. Di sekelilingnya, anak-anak muda datang satu per satu. Membawa cerita, tangis, bahkan senyuman kecil yang baru tumbuh.
Ia menuliskan kalimat di kertasnya:
"Ibuku pergi, tapi hujan tidak membunuhku. Ia hanya mengajariku cara berenang dalam kenangan."
Kertas itu digantung bersama yang lain. Menjadi bagian dari atap langit itu. Bukan untuk menyembunyikan luka, tapi untuk menunjukkan bahwa luka pun bisa diterima.
Seorang anak perempuan duduk di sampingnya. Tangannya menggenggam payung patah gagang, yang terlihat familier.
“Kamu tahu?” kata Naira, tersenyum pada anak itu. “Kadang, kita tak butuh payung yang utuh. Yang kita butuh... hanya tahu ada seseorang yang mau berbagi tempat di bawahnya.”
Langit sore itu jingga. Hujan sudah berhenti. Dan di dalam dada Naira, ada sesuatu yang tumbuh. Bukan luka. Bukan air mata.
Tapi harapan.