Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejak demam monopoli menjangkit semua murid SD Magelang, selama beberapa bulan terakhir ini aku selalu menang dalam permainan dan menjadi bahan perbincangan murid laki-laki.
"Huuu... dasar cement! Mending kalian main ular tangga aja, gih." Aku tertawa sinis pada teman-temanku.
"Kalian sedang ngapain? Kenapa berisik sekali?" Tiba-tiba Diza nyeletuk ditengah-tengah keributan ini.
"Ssttt!" bisikku sambil meletakkan satu jari di bibir. "Kami sedang bermain monopoli. Anak cewek diam saja, duduk manis sambil baca buku, oke?"
"Monopoli?" Diza tampak tertarik, sampai-sampai ia berdiri di atas bangkunya. "Bolehkah aku ikut bermain?"
"Apa kau yakin akan menang?" tanyaku.
"Aku pasti akan mengalahkanmu." Sombong sekali Diza.
Mungkin pertandingan ini layak disebut 'pertarungan sengit' abad ini, karena mempertemukan dua insan yang berbeda jenis kelamin. Kepintaran Diza ternyata berbanding lurus dengan permainan ini. Strategi yang diterapkan Diza cukup jitu hingga membuatku geleng-geleng kepala, karena dia membeli komplek D, E, dan F yang menjadi komplek favoritku.
Dengan cepat aku memutar otak untuk menyiasatinya. Aku berencana menyapu bersih komplek F, G, dan H serta stasiun-stasiun, lalu berusaha berhenti di area bebas parkir, dana umum, dan kesempatan yang ada.
"Luca, kemarin kau nonton Slam Dunk? Tingkah Sakuragi waktu duel satu lawan satu dengan Akagi lucu sekali, ya." Diza bertanya sambil melempar dadu.
"Hmm."
Diza mengambil kartu kesempatan. "Oh iya, besok ada pertandingan basket melawan SD lain, kan? Apa aku boleh ikut?"
"Kau bercanda, ya? Itu pertandingan anak laki-laki. Kecuali kau mau mengubah jenis kelamin di kartu pelajarmu jadi laki-laki."
"Luca, kau iniβ" Diza berkata dingin.
"Ganteng, kan! Hahaha."
Semua penonton langsung menyorakiku.
"Ah, lupakan saja. Sekarang giliranku." Diza melempar dadu dengan hati-hati.
"Hei, kau memasuki hotelku. Ayo bayar!"
"Oh, hari ini Dewi Fortuna tak berpihak padaku," keluh Diza sambil membayar uang senilai 95$ padaku.
"Diza, mengandalkan keberuntungan Dewi Fortuna bisa mendapatkan karma, lho. Sekali ditinggal pergi, nasibmu nggak akan jelas, bahkan suram."
Meskipun Diza sangat pintar secara akademik, tapi dalam hal strategi aku lah jagonya. Strategi membeli electrik company, water company, dan semua stasiun yang kuterapkan selama ini masih terlalu tangguh buat lawan-lawanku.
"Pailit." Aku ngakak keras.
"Apa itu pailit?" Diza terlihat tidak senang.
"Kalau uangmu mulai defisit dan komplekmu hampir kolaps, sehingga kamu berhutang pada bank, maka bisa dipastikan kamu bangkrut." Aku menempelkan dagu di meja, menikmati kemenangan yang sudah ada di depan mata.
"Kau ini kekanak-kanakan sekali, tetapi ketika bermain monopoli sangat serius." Diza menghela napas, tampaknya dia berpikir selamanya aku akan menjadi bad boy.
"...." Aku mengupil dengan pahit.
Namun, jika aku menang begitu saja, tidak akan ada tantangan yang menarik.
Setelah cukup lama bermain, perlahan-lahan Diza menguasai semua komplek kecuali D, E, dan F. Sepuluh menit kemudian, Diza menang dalam segala hal, bahkan bank aja sampai defisit. Sedangkan aku berturut-turut memasuki komplek Diza dan masuk penjara.
"Yuhuuu... akhirnya aku yang keluar sebagai pemenang." Diza mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. "Makanya jangan meremehkanku!"
Ternyata begitu.
Permainan monopoli seperti hubunganku dengan Diza. Diza terus mengejar target-targetnya dengan serius, sedangkan aku hanya berusaha mengimbangi dan menghibur dirinya. Dan mungkin, seberapa keras aku berusaha, selamanya aku hanya bisa mencintai Diza dalam diam.