Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
[Jakarta, 12 Maret 2025]
“Telpon lagi adekmu, Ndok. Tanyain bisa pulang tanggal berapa lebaran kali ini?” seru wanita yang selalu berusaha mengambil alih perhatianku ketika mengerjakan deadline tugas kuliah di sela malamku.
Wajah wanita itu kini muncul dari balik pintu, nyaris membuatku terpental karena kaget suaranya menggema keras di kamarku. “Ibu masakin Ketupat Sayur kesukaan dia nanti, ya.”
“Iya, ibu.” Jawabku nada malas. Jujur sudah sekian kali kalimat itu keluar dari bibir halus ibu akhir-akhir ini, apalagi menjelang bulan puasa yang mungkin jatuh pada besok atau lusa sesuai keputusan siding isbat pemerintah malam ini.
Mungkin, tidak perlu berlama-lama menunggu jawaban protesku lagi. Kehadiran ibu sudah menghilang dari ambang pintu kamar. Aku menghela napas panjang, meliukkan badan agar meregangkan otot-otot yang sudah tegang sejak sore tadi karena di tuntut terus beraktivitas.
Dering ponsel merancau. Dengan cepat aku melirik nama yang muncul dan menempelkan benda pipih ke telinga.
“… bilang ibu ya, kak!”
Huh. Anak satu ini, tidak ada habisnya saja beralasan. Aku tahu ibu pasti akan selalu merindukan anak bontotnya itu dibandingkan diriku. Tapi, yang disayang lebih mementingkan waktu yang terlewat begitu saja untuk menyaksikan bagaimana perubahan fisik ibu yang semakin hari semakin berubah. Ingin sekali aku memekik keras di telinga anak ini, tapi apa?
“ Yaudah, kak, titip salam saja buat ibu.”
Pekerjaan memang penting, itu penunjang kehidupan. Tapi, orang tua apakah waktu yang dimiliki bisa di bayar dengan uang yang dihasilkan dari bertahun-tahun bekerja. Jangan ikut menjawab jika kamu juga tetap sulit meluangkan waktu untuk sekadar pulang sebentar, atau beberapa jam saja, tapi kalau perjalanan yang banyak memakan waktu lama alternatif lain masih bisa dicari. Zaman sudah sangat canggih untuk manusia penuh alasan ini.
Brukkk.
Gebrakan suara yang menggema jelas membuat lamunanku terlampau pergi, lalu aku berlari kea rah suara. Lagi. Ini yang aku benci dari kepergian tanpa kepulangan yang tidak pasti. Selalu berhasil mengecewakan untuk siapapun. Kata siapa ibu akan membuat Ketupat sayur pada saat bulan puasa atau menjelang hari raya. Setiap hari, wanita itu seakan seperti berjualan dengan menu yang selalu sama tanpa tahu penikmatnya kapan benar menginjakkan kaki lagi dirumah ini.
“Sudah aku bilang masak yang lain saja, bu!” aku lepas kendali. Emosional sekali jika aku melihat lagi-lagi ketupat sayur yang akan ibu buat untuk menu makan siang akhir-akhir ini.
Wanita itu diam saja, berjongkok meraup beberapa potong buncis dan labu yang berhasil di iris sesuai ukuran jatuh berhamburan di bawah lantai dapur.
“Ibu diam saja, sudah biar aku pesan makanan diluar aja biar ibu nggk usah masak ketupat sayur hari ini!” lanjutku.
“Loh ibu pengen makannya, kalau kamu nggak suka masakan ibu, kamu yang beli makanan di luar aja, Nduk!”
Benar sekali. Butuh pemahaman seperti apa agar ibu mengerti. Aku bukan tidak menyukai masakan yang sudah ibu buat, tapi kalau tentang menu yang selalu sama, aku menyerah.
Aku balik kembali ke dalam kamar. Tidak akan selesai berdebat lagi dengan ibu. Pasti berakhir melelahkan. Hari-hari sebelumnya juga sama, selalu ada saja alasan ibu untuk tetap menyajikan masakan kesukaan anak bontotnya itu, meskipun sudah tiga lebaran alasan dia buat untuk susah pulang atau tidak ingin pulang.
Bagaimana jika saja aku yang pergi dari rumah ini untuk mendapatkan tawaran pekerjaan impianku beberapa tahun lalu sebelum si bontot pergi, apakah ibu akan menantiku pulang? Apakah ibu akan memasak pecak lele kesukaanku? Apa aku akan selalu ibu usahakan berkabar untuk memastikan kondisiku baik-baik saja di kejauhan sana? Namun, sebetulnya bukan poin itu yang lebih membuatku kesal.
Mengapa harus ibu yang bersusah sendirian? Apakah takdir yang digariskan untuk ibu adalah sebuah penantian panjang pada apapun yang ternyata tidak ada ujungnnya ini. Kepergian yang satu menyambut kepergian lainnya itu tidak pernah menunjukkan kapan akan selesai. Semua seakan berlanjut.
Pada usiaku tiga belas tahun, samar aku masih mengingatnya karena sudah terlampau dua belas tahun lalu saat aku baru menerima hasil rapot kenaikan kelas. Langkahku dengan bangga saat keluar kelas sudah di sambut ibu karena namaku yang pertama di tulis dan disebutkan oleh wali kelas karena kembali menjadi juara kelas. Aku selalu bangga dengan itu, tapi mana yang lebih bahagia sebanding dari hal itu saat untuk pertama kalinya juga ayah tidak ikut hadir seperti waktu pembagian rapot tahun sebelumnya. Ibu hanya berdiri sendiri.
“Ayah nunggu di depan ya, bu?” tanyaku dengan khas anak belasan tahun dulu. Pikiranku hanya fokus pasti akan ada sesuatu dari ayah jika posisi juara kelas kembali aku raih. Tapi, sejak hari itu ibu hanya tersenyum.
“Nanti aku minta ayah beliin buku KKPK baru saja ya, Bu.. Kata Ratna edisi terbarunya sudah terbit.” Ibu hanya mengangguk menanggapi pintaku.
Sampai hari-hari setelahnya kehadiran ayah tidak pernah muncul lagi dirumah, meski aku masih diam-diam berharap kehadirannya muncul yang mungkin mengendap-endap seakan mengejutkanku dari sela pagar rumah. Semua itu hanya jadi anganku saja. Sampai kata menanti itu, tidak pernah sekali aku gunakan pada kamus hidupku. Seorang yang tahu kemana rumahnya berada pastilah akan pulang sendiri mencari kehangatan di sana. Tapi, jika rumah bukan menjadi pilihannya untuk menemukan kedamaian juga ketenangan maka kata pulang akan menjadi mustahil bisa ditunggu.
Pulang kapan itu bukan kita yang bisa menentukan? Tetapi, siapa yang ingin pulang yang bisa menentukan. Jika pulang jadi sesuatu yang berat mungkin dia tidak menemukan rumah dari rumahnya sendiri. Sejauh apapun jarak akan ditempuh dan dipilih alternatif untuk temui beberapa orang yang sudah menanti dengan sepiring ketupat sayur di meja makan yang sudah beberapa hari lalu tidak pernah aku sentuh. Ketupat yang rasanya enggan aku hilangkan dari khas aroma rumah ini, seperti menghangatkanku ketika ibu selalu memasak untuk menunggu kepulangan si bontot.
Rumah yang menjadi tempat menanti kepulangan orang-orang yang tidak ingin ditunggu ini tidak ayal akan semakin sepi karena yang ditunggu tidak terusik untuk mencoba menunjukkan batang hidungnya sekalipun bendera kuning melambai-lambai di pagar depan. Tahlil juga diiringi gema takbir menjadi padu pilu yang menghantarkanku merasakan hari raya pertama dengan ketupat sayur yang mulai mengeluarkan aroma sangit. Mungkin sudah basi.