Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sapaan tetangga dengan mudah membuyarkan lamunanku. Entah telah berapa lama aku mematung sambil memegang kunci yang telah masuk ke lubang silinder pintu. Setelah klik, kuputar kenop searah jarum jam. Engsel pun berderit.
"Baru pulang? Pasti parkur lagi! Sudah kubilang sehabis dari lokasi konstruksi itu langsung pulang!"
Seorang wanita yang rambutnya dicepol asal berdiri di depan pantri. Mengeluarkan sepiring telur dadar yang disiram saus asam manis, meletakkannya pada meja pendek di samping tempat tidur yang muat untuk dua orang.
Ieke berkacak pinggang. Mengangkat dagunya tinggi-tinggi. "Sudah dingin, tuh! Terserah mau makan apa nggak!"
Cukup berjalan empat langkah untuk dapat memeluknya dari belakang. "Ngambek? Iya, iya. Lain kali aku langsung pulang."
Ieke bergerak melepas dekapanku kepadanya. "Lain kali itu kapan? Kalau aku sudah mati?"
"Kalau aku sudah mati," selorohku asal.
Ieke melebarkan matanya, mengangkat kepalan tangan seperti hendak memukul. Dan ... dia benar-benar memukulku. Tetapi tentu saja tidak serius. Sebab yang serius baru datang setelahnya.
"Kau sungguhan tidak bisa berhenti parkur?" Ieke duduk di tepi tempat tidur, sedangkan aku menyantap masakannya.
"Kalau kubilang, nggak bisa, kau akan bagaimana?" Aku meliriknya sekilas. Kemudian menyendok sesuap lagi.
"Kita berpisah saja."
Sedetik, dua detik, aku belum bereaksi. Masih belum benar-benar percaya tentang apa yang baru saja masuk ke telingaku. Terus berusaha meyakinkan diri bahwa aku salah dengar.
"Raja, kita berpisah saja, ya?"
Tiba-tiba aku tersadar, dan gelagapan. "Nggak lucu, Ike...."
"Nggak ada yang lucu, Ja. Aku nggak lagi bercanda." Kutatap mata almond di hadapanku. Terlihat lelah dan berkaca-kaca. "Aku ... aku sudah memikirkannya."
Aku tahu, ini tidak sesederhana perihal Ieke yang tidak suka aku berlatih parkur. Ini juga perihal waktuku yang habis di luar dan jarang menemaninya. Ini juga perihal rendahnya semangatku untuk meraih kebebasan finansial seperti yang dia inginkan. Ini juga perihal ada begitu banyak kontradiksi kepribadian dari masing-masing kami yang tidak tersampaikan, sehingga mengendap dan menumpuk.
"Ja...?"
"Ah, iya. Aku pikir ini agak mendadak. Boleh kah jika sementara kita mengambil jarak untuk memikirkannya baik-baik?"
Engsel pun berderit. Dan Ieke benar-benar telah meninggalkanku.