Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Tumbal Tambal
4
Suka
956
Dibaca

Riuh rendah suara sudah terdengar dari jauh. Mendekati venue, sorak-sorai semakin gegap-gempita. Masuk ke dalam kompleks stadion yang megah, semuanya bersuka-cita.

“Nanti kita ketemu Ayah, kan?” tanya seorang anak kecil berusia sembilan tahun.

Pria di sebelahnya tidak mengangguk ataupun menggeleng. “Ayo, Dovi. Kita duduk di sana,” ajaknya.

“Oke, Om Firman.”

Mereka ingin menyaksikan kompetisi sepak bola dunia. Saat itu, tim tuan rumah akan melawan kesebelasan terkuat dunia. Upah menjadi penyelenggara kejuaraan dunia.  

“Lihat, itu Fernando,” kata Dovi menunjuk salah satu pemain sepakbola yang sedang menggiring bola.

Firman tersenyum mendengarnya. Pemuda berusia 45 tahun itu sengaja mengajak keponakannya untuk menyaksikan Piala Dunia. Ia mendapatkan jatah dua buah tiket.

Tadinya, ia hendak melihat pertandingan bersama dengan orang lain. Namun, menyaksikan kebahagiaan Dovi, ia tahu kalau memang sudah begitu seharusnya.

Bola di lapangan bergulir ke sana ke mari. Tiba-tiba, wasit meniupkan pluit yang mendapatkan reaksi keras dari penonton.

“Bukan offside itu,” teriak orang yang duduk di sebelah Dovi. Bukan hanya itu, penonton itu juga memaki wasit dengan kata-kata kasar.

Firman menarik lengan Dovi. “Kita pindah saja,” tunjuknya ke arah kursi kosong.

Ada tepat tiga kursi di sana. Firman yang terlebih dahulu duduk, baru kemudian Dovi, dan menyisakan satu kursi kosong tepat di sebelah keponakannya itu.

Tim sepak bola favorit Dovi kewalahan menghadapi lawannya. Tapi, Dovi tidak henti-hentinya menjeritkan yel-yel penuh semangat. Sulit untuk menang, yang mereka perlukan adalah sebuah keajaiban.

“Ayah datang jam berapa, Om?” tanya Dovi

Firman mendesah. Bukan hanya tim sepak bola favorit Dovi yang memerlukan keajaiban. Ia juga sungguh membutuhkannya.

***

Babak pertama sudah berakhir. Kedudukan dua kosong untuk kemenangan lawan. Semangat Dovi untuk melihat tim kesayangannya menang masih belum kendur. Ia bersorak sewaktu tim kembali ke lapangan.

Tiba-tiba, seorang pria paruh baya mendekati Dovi. “Ada orangnya?” tanyanya yang disambut gelengan dari anak kecil tersebut.

“Berapa-berapa?” tanya penonton yang baru datang itu seraya menduduki kursi tersebut.

“Dua kosong,” jawab Dovi dengan sedih.

“Stadionnya megah, ya.”

Dovi hanya berdeham singkat karena pandangannya masih tertuju kepada aksi dua puluh dua pemain bola di lapangan.

“Pekerja-pekerja dari negara lain didatangkan demi membangunnya.”

“Iya, tahu,” jawab Dovi sekenanya. Matanya sedang mengikuti pergerakan kaki Fernando.

“Mereka tergiur gaji yang besar. Pasalnya, di negara mereka sendiri, mereka miskin. Makan saja sulit.”

Dovi memajukan tubuhnya untuk menghindari gangguan dari penonton baru tersebut.

Rupanya, gestur Dovi tidak membuat orang asing itu berhenti berceloteh. “Tapi, kenyataannya tidak sempurna. Mereka dipaksa terus bekerja demi penuhi tenggat waktu.”

Dovi tidak bisa mengenyahkan suara orang asing itu di telinganya. Meskipun matanya masih tertuju ke lapangan, alat pendengarannya mau tidak mau menyimak cerita.

“Tidak peduli cuaca panas luar biasa, harus kerja. Kalau mengeluh, siap-siap digantikan. Siapa yang mau terancam dideportasi dan kehilangan uang yang seharusnya didapatkan. Tidak heran kalau nyawa pekerja melayang.”

Tim sepak bola favorit Dovi tidak lagi memberikan perlawanan yang berarti. Gol baru tercipta. Anak kecil itu memelas dan menyandarkan tubuh ke punggung kursi.

“Kamu tahu tidak, Dek? Sebagian pekerja itu masih ada di stadion ini.”

Dovi yang sudah setengah hati menyaksikan pertandingan, memberikan setengah perhatiannya kepada penonton di sebelahnya.

“Ada yang terperangkap di sini. Jasadnya tidak dikirim pulang,” kata orang asing itu di telinga Dovi.

Dovi menoleh ke arah tempat duduk sebelahnya. Sekarang, perhatian Dovi tidak lagi ke pertandingan bola.

“Ada yang tidak ketemu, mungkin sudah menyatu dengan beton-beton stadion ini,” tambah pria itu. “Di sana,” tunjuk Sang Pria ke arah lantai bagian penonton VIP.

Setelah itu, Sang Pria memberikan jeda sebelum mengatakan kalimat selanjutnya seraya menunjuk tembok bangunan yang memisahkan tribun bagian kanan dan kiri.

Dovi terhenyak mendengarnya.

***

Pertandingan telah berakhir. Tim favorit Dovi dibantai enam kosong. Firman dan Dovi masih duduk di kursi mereka. Keduanya menunggu suasana lebih sepi agar tidak berdesak-desakan ketika ke luar stadion.

Firman merasa sudah tiba waktunya untuk mengatakan berita yang selama ini ia sembunyikan. Ia menyiapkan diri dan berkata, “Dovi,” sebagai pembuka.

“Om, kita ke sana ya,” potong keponakannya itu.

Firman kebingungan. Tapi, ia diam saja dan mengikuti langkah keponakannya itu.

Sesampainya mereka ke tempat yang dimaksud, Dovi mengelus-elus salah satu tembok bangunan yang sangat tebal.

Firman yang memiliki misi untuk menyampaikan satu informasi kepada keponakannya itu, memulai lagi usahanya. “Dovi, Om mau menyampaikan sesuatu tentang Ayah,” ujarnya.

Tangan Dovi masih tidak berhenti menyentuh dinding. Firman jadi bertambah bingung melihat keanehan keponakannya itu. Meskipun demikian, ia tetap harus mengatakan apa yang selama ini tertahan.

Suaranya parau sewaktu berkata, “Ayah udah nggak ada, Dov.”

Tanpa mengalihkan tatapan dari pilar, Dovi menjawab, “Iya, Dovi tahu. Kata Om yang duduk di sebelah Dovi tadi, Ayah terperangkap di sini.”

Kebingungan Firman semakin menjadi-jadi. Pasalnya, ia tahu betul kalau sepanjang pertandingan tadi, kursi di sebelah keponakannya itu kosong melompong.

“Kata Om tadi, Ayah nggak ketemu pas dicari-cari. Jadi dibiarin aja.”

Memucat wajah Firman mendengarnya. Misi yang ia emban sedari tadi untuk mengabarkan kalau Ayah Dovi telah meninggal sewaktu menjadi pekerja migran dalam pembangunan stadion ini telah tercapai.

Kekalutan yang dipendamnya sedari tadi sudah terurai. Namun, ia tidak menyangka kalau informasi itu didapatkan Dovi dari sosok gaib. Firman berganti-gantian memandangi antara Dovi dan tembok tebal di sana.

“Nggak apa-apa, Om. Ayah sudah ikhlas. Pesan Ayah, katanya kita juga harus ikhlas.”

Firman menjatuhkan lututnya dan memeluk keponakannya itu erat-erat.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Tumbal Tambal
SURIYANA
Novel
Gold
Fantasteen They Call Me Psycopath
Mizan Publishing
Novel
Gold
Fantasteen The Lagaziv School of Vathana
Mizan Publishing
Komik
Bakso Beranak dalam Kubur
yanagi kaichu
Novel
Kering
D. Andar
Flash
Ingatan Pertama
Panca Lotus
Novel
Bronze
ALONE~Novel~
Herman Sim
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Paris
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Guru BU Ratmi
Christian Shonda Benyamin
Novel
Bronze
Tumbal Lorong Sewu
Dewie Sudarsh
Cerpen
Bronze
Kutukan Ranjang Antik
Christian Shonda Benyamin
Novel
Bronze
ZOMBI DAN MEREKA YANG TAK BISA MATI 2 BANGKITNYA DIA PADA SENJA
Meliana
Flash
Dia Tidak Tahu
Ahmad R. Madani
Novel
Bronze
Hidup Dengan Mayat ~Novel~
Herman Sim
Flash
Indigo
Rinai Bening Kasih
Rekomendasi
Flash
Tumbal Tambal
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Flash
Di Bawah Tempat Tidur
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Flash
Mengakhiri Kesendirian
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Cerpen
Nanti juga Bahagia
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Flash
Hidup tanpa Warna
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA
Flash
Apa Artinya Cinta
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Menjemput Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA