Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kisah Tragis Seekor Kecoak dan Harga Diri Lelaki
Di dunia ini, ada dua hal yang paling aku takuti: mantan yang belum move on dan kecoak terbang.
Dua-duanya punya satu kesamaan—mereka muncul tiba-tiba, bikin panik, dan susah dihindari.
Malam itu, setelah selesai nonton drama Korea (bukan karena aku suka, tapi karena adeknya pacarku maksa), aku masuk ke kamar dengan santai. Baru mau rebahan, aku mendadak kaku.
Seekor kecoak bertengger santai di tembok dekat kipas angin.
Aku langsung freeze. Jantung berhenti. Paru-paru mogok kerja.
Kami saling menatap. Aku bisa merasakan aura mengancam dari kecoak itu. Aku yakin, kalau kecoak bisa ngomong, dia pasti bilang:
"Mau ke mana, bro?"
Aku mulai mundur pelan-pelan ke arah pintu. Pelan… pelan… hampir sampai…
Lalu, DIA TERBANG.
Sumpah demi apa, aku belum pernah seketakutan ini seumur hidup.
Reflek, aku langsung loncat ke kasur dan bersembunyi di bawah selimut. Aku pikir ini taktik ninja yang sempurna. Kalau aku nggak bisa melihat kecoak, berarti kecoak juga nggak bisa melihat aku.
Tapi ternyata, aku SALAH BESAR.
Karena di dalam selimut, aku merasa ada sesuatu yang merayap di kaki.
DEMI APA INI?!
Detik itu juga aku sadar… hidup ini memang keras.
Aku menjerit kayak bocah yang baru disunat. “MAMAAAA!!”
Aku lompat dari kasur dan lari keluar kamar… tanpa pakai celana.
Iya, betul. Aku lari pakai boxer doang.
Yang lebih parah lagi, di ruang tengah, ada Bapak, Ibu, dan Om Saiful (tetangga sebelah) yang lagi main gaple.
Mereka semua terdiam.
Om Saiful, sambil masih megang kartu gaplenya, melirik ke arahku, lalu ke arah kecoak yang masih nempel di paha kanan.
Aku beku. Ibu kaget. Bapak menghela napas panjang, kayak menyesali keputusannya punya anak seperti aku.
Aku refleks lompat-lompat sambil menjerit: “AMPUN, KENAPA DIA ADA DI SITU?! KENAPA DIA ADA DI SITU?!”
Alih-alih membantu, Om Saiful malah berkata pelan, “Nak, itu bukan kecoak… itu jodoh yang belum datang.”
GUBRAK.
Aku panik setengah mati. Dengan satu gerakan spontan, aku mencoba menepis kecoak itu pakai tangan.
KESALAHAN FATAL.
Begitu aku tepuk, bukannya jatuh, kecoak itu malah makin erat nempel di paha kayak pacar yang nggak rela ditinggal kerja ke luar kota.
"AARRGGHHH!!" Aku lompat-lompat sambil menangis dalam hati.
Ibuku akhirnya turun tangan. Dia mengambil sandal dan menepuk kecoak itu dengan tenaga penuh, seperti mahasiswa yang baru tahu dosennya tiba-tiba kasih tugas 50 halaman.
PLOK!
Kecoak pun tumbang. Jatuh ke lantai dengan tragis. Aku, yang masih berdiri dengan napas tersengal-sengal dan celana yang entah ke mana, merasa baru saja mengalami momen paling memalukan dalam sejarah hidup.
Bapak menghela napas, lalu berkata, "Dulu Bapak nggak gini pas seumuran kamu. Baru lihat kecoak udah lari-lari, masa depan bangsa gimana ini?"
Om Saiful menepuk bahuku pelan. “Kamu cowok, Nak. Jangan takut kecoak. Yang harus kamu takuti itu kalau saldo ATM tinggal dua digit.”
Aku diam. Bapak dan Om Saiful kembali main gaple.
Aku pun beranjak ke kamar dengan harga diri yang hancur berkeping-keping.
Tapi ternyata… malam itu belum berakhir.
Begitu masuk kamar, aku menghela napas panjang. Oke. Ini sudah selesai. Aku sudah selamat. Saatnya tidur.
Tapi pas aku mau naik ke kasur, aku melihat SEEKOR KECOAK LAIN di atas bantal.
"TIDAAAAKKK!!”
Aku langsung kabur lagi ke ruang tengah. Boxer masih melorot setengah.
Bapak, Ibu, dan Om Saiful menatapku dengan ekspresi datar.
Om Saiful menghela napas, “Kamu yakin kamu cowok, Nak?”
Malam itu, aku tidak hanya kehilangan harga diri, tapi juga kehilangan hak tidur di kamar sendiri. Aku akhirnya tidur di sofa ruang tamu. Dengan satu mata tetap terbuka, waspada kalau ada kecoak lain yang ingin membalas dendam.
TAMAT.