Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kabut tipis menyelimuti trotoar yang basah kuyup, terang redup lampu jalan sodium hanya mampu menerobos celah-celah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Di antara tetesan air hujan yang masih menempel di aspal, sesuatu berkilau—gelang emas mungil, terletak di samping puntung rokok yang terinjak-injak dan kertas koran usang, memancarkan cahaya jahat yang memikat.
Rina, tanpa berpikir panjang, menunduk dan meraihnya. Logam dingin itu menusuk kulitnya, seolah sebuah kutukan yang terpatri. Ia menoleh, jalanan kosong, hanya angin malam yang berbisik ancaman. Bukan sekadar perhiasan, gelang itu terasa seperti jantung yang berdebar di telapak tangannya, denyutan yang semakin cepat, semakin kuat, menyeretnya ke dalam pusaran kegelapan. Rasa takut yang menusuk tulang sudah mencengkeramnya. Malam itu, surga berubah menjadi neraka…
Kilatannya masih bersih, seolah baru saja jatuh dari pergelangan tangan seseorang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, jalanan malam itu lengang, hanya dihiasi deru kendaraan yang samar dari kejauhan. Tidak ada seorang pun yang tampak mencari-cari sesuatu. Rina ingin meletakkan kembali gelang itu, namun rasa ingin tahu mengalahkan keraguannya. “Lumayan,” gumamnya, memasukkan gelang itu ke dalam saku jaketnya. Ia melanjutkan perjalanan pulang, pikirannya melayang pada kemungkinan pemilik gelang itu, mungkin seorang wanita muda yang ceroboh, atau mungkin seorang nenek yang sedang bersedih kehilangan perhiasan kesayangannya.Di rumah, setelah menyelesaikan tugas kuliahnya dan menyantap makan malam sederhana, Rina berbaring di tempat tidur. Kelelahan menguasai tubuhnya, namun pikirannya masih tertuju pada gelang emas itu. Ia mengeluarkannya dari saku dan mengamatinya di bawah cahaya lampu tidur.
Gelang itu memang cantik, ukirannya halus dan detail, seolah menyimpan sebuah cerita. Ia membayangkan wanita yang pernah memakainya, mungkin ia seorang yang anggun dan elegan, atau mungkin seorang yang sederhana namun menyimpan mimpi-mimpi besar.
Rina meletakkan gelang itu dilaci meja kamar tidurnya. Baru saja ia memejamkan mata tiba-tiba, sebuah suara lirih, nyaris tak terdengar, mengusik ketenangan malam. "Kembalikan..." Rina tersentak, bulu kuduknya merinding. Ia melirik ke sekeliling kamar, memastikan tidak ada orang lain di sana.
Angin malam berdesir melalui celah jendela, membawa bisikan lemah yang sama, "Gelang itu bukan milikmu..."
Ketakutan mulai menggerogoti hatinya.
Rina kembali membuka laci mejanya, meraih gelang itu, jari-jarinya terasa dingin. Gelang itu tampak bergetar di tangannya, getaran yang tidak mungkin disebabkan oleh angin. Rina melempar gelang itu kedalam laci, penuh ketakutan. Laci meja belajarnya, yang terletak tak jauh dari tempat tidurnya, mulai bergetar dengan hebat.
Dengan hati berdebar-debar, Rina mendekati laci itu dan pemandangan yang dilihatnya didalam laci membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Gelang emas itu tidak lagi berkilau. Bentuknya telah berubah, menjadi sebuah jari tangan kecil yang menghitam dan mengerut, seperti jari mayat yang telah lama membusuk. Rina mengucek matanya berkali-kali, berharap itu hanya ilusi, mimpi buruk yang akan segera sirna. Namun, jari hitam itu tetap ada di sana, menggeliat perlahan, seolah ingin merayap keluar dari gelang yang telah berubah wujud itu.
Suara ketukan pelan terdengar dari dalam laci, semakin lama semakin keras. Tok... Tok... Tok... Suara itu seperti ketukan dari dalam peti mati. Rina membeku ketakutan, tangannya gemetar hebat. Ia ingin lari, ingin berteriak meminta tolong, namun suaranya seakan tersedak di tenggorokan.
Sebelum Rina sempat berteriak , laci tersebut keluar dan jatuh sendiri kelantai dengan keras, mengeluarkan bunyi yang menggema di ruangan yang sunyi. Gelang—atau lebih tepatnya, jari tangan hitam itu—melompat ke lantai, berdenyut seperti jantung yang berdetak kencang. Dari dalam laci, sepasang mata kecil berwarna hitam menatapnya tajam, penuh dendam.
Kembalikan... atau aku akan mengambil milikmu..." Suara berbisik itu terdengar lebih jelas, lebih mengerikan daripada sebelumnya.Rina menahan napas, jantungnya berdebar-debar seperti drum yang dipukul dengan keras. Ia ingin lari, tetapi kakinya terasa berat, seperti terikat oleh sesuatu yang tak kasat mata.
Udara di kamar semakin dingin, bayangan hitam merayap keluar dari laci, membentuk sosok samar seorang perempuan dengan mata kosong dan jari-jari tangan yang panjang dan menghitam. Sosok itu mendekat, langkahnya pelan namun mencekam.
"Kembalikan..." Suaranya bergetar, namun bergema di dalam kepala Rina, menusuk kalbu dan menggetarkan jiwanya. Dengan panik, Rina meraih gelang—jari tangan hitam itu—dan berlari keluar kamar. Ia tidak peduli kalau sudah larut malam, tidak peduli kalau tetangganya akan mengira ia gila. Yang terpenting adalah menyingkirkan benda terkutuk itu, jauh-jauh dari dirinya.
Di luar rumah, angin bertiup kencang, seakan berusaha menghentikannya. Dengan tangan gemetar, ia melempar gelang itu ke jalan tempat ia menemukannya, berharap benda itu akan menghilang begitu saja. Hening. Angin berhenti bertiup.
Bayangan hitam itu berdiri di depan Rina, mata kosongnya menatap tajam, penuh amarah dan kesedihan. Perlahan, ia menunduk, mengambil gelang yang berkilau samar di tanah. Sebuah senyum tipis, senyum yang mengerikan, muncul di wajah pucatnya.
Kau selamat... untuk kali ini," bisiknya, suaranya seperti desisan ular. Lalu, bayangan itu lenyap, meninggalkan Rina yang masih berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Ia tidak tahu berapa lama ia berdiri di sana.
Rina tersentak, bangun dari keterpakuannya. Angin malam masih berdesir, membawa aroma tanah basah dan sesuatu yang lain… sesuatu yang menyerupai bunga layu. Ia menoleh ke belakang, jalan kosong, hanya bayangan dirinya sendiri yang tampak samar di bawah cahaya lampu jalan yang remang. Gelang itu sudah hilang. Hilang tanpa jejak.
Ketakutan yang baru saja mereda kembali membuncah. Ia berlari pulang, langkah kakinya tergesa-gesa, napasnya tersengal-sengal. Di dalam rumah, suasana terasa berbeda. Udara terasa lebih dingin, lebih berat. Bayangan-bayangan samar berkelebat di sudut-sudut ruangan, menciptakan ilusi gerakan yang membuatnya semakin takut.
Ia mengunci semua pintu dan jendela, mencari perlindungan di balik dinding-dinding rumahnya. Namun, perlindungan itu terasa rapuh, tak mampu menghalangi rasa takut yang terus merayap di dalam hatinya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara lirih dari kamar tidurnya. Suara itu seperti bisikan angin, namun berisi ancaman yang jelas. "Kau tidak akan pernah luput..." Rina membeku, tangannya gemetar hebat.
Dengan hati yang penuh ketakutan, ia perlahan-lahan mendekati kamar tidurnya. Di ambang pintu, ia melihat bayangan hitam samar di cermin rias. Bayangan itu tersenyum, senyum yang mengerikan, menunjukkan gigi-gigi yang tajam dan menghitam. Rina berteriak histeris, berlari keluar rumah.
Malam itu, Rina belajar sebuah pelajaran yang sangat mahal:
Ia tidak akan pernah mengambil sesuatu yang bukan miliknya lagi. Karena konsekuensinya bisa jauh lebih mengerikan daripada yang pernah ia bayangkan.