Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bayu menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip. Pesan dari ibunya baru saja masuk, berisi foto sepanci kolak labu yang masih mengepul hangat. Ia terkekeh kecil, mengingat betapa dulu ia selalu mengeluh setiap kali ibu menyuguhkan takjil itu di meja makan.
“Kenapa sih, Bu, harus kolak labu? Kenapa bukan es buah atau kurma kek?” protesnya setiap kali.
Namun, ibu selalu menjawab dengan senyum tenangnya. “Kalau nggak kamu yang makan, nanti siapa yang habisin? Lagi pula, kolak labu buatan ibu kan spesial.”
Tapi bagi Bayu, kolak labu itu hanyalah sepanci kuah santan yang terlalu manis dengan potongan labu yang aneh teksturnya. Dulu, setiap kali bulan Ramadan tiba, ia hanya mencicipi sedikit, lalu memilih menyesap es teh manis buatannya sendiri.
Kini, tiga tahun sudah berlalu sejak kepindahannya ke Jakarta. Pekerjaan kantor yang menguras waktu membuatnya jarang sekali pulang ke kampung. Ramadan selalu dihabiskannya di kamar kos yang sempit, ditemani makanan cepat saji yang dibeli dari warung terdekat.
Namun, pesan dari ibu hari ini membangkitkan sesuatu yang lama terkubur dalam hatinya. Perasaan rindu yang tak pernah ia sadari tumbuh perlahan. Foto kolak labu itu begitu sederhana, namun di balik kesederhanaan itu ada hangat yang berbeda.
Tanpa sadar, Bayu mencari-cari informasi di internet tentang cara membuat kolak labu. Ia mencoba mengingat aroma santan, manisnya gula merah, serta potongan labu yang selalu ia keluhkan dulu. Sore itu, ia memberanikan diri mencoba membuatnya sendiri di dapur kosnya yang sempit.
*
Percobaan pertama menghasilkan kolak dengan rasa yang aneh dan tekstur yang terlalu keras. Namun, Bayu tak menyerah. Ada sesuatu yang membuatnya ingin mencoba lagi, dan lagi.
Percobaan ketiga, ia berhasil menciptakan kolak labu yang rasanya cukup mendekati ingatannya. Manisnya pas, lembutnya labu terasa menyatu dengan kuah santan. Namun, tetap saja ada yang kurang. Bukan soal rasa, melainkan tentang bagaimana perasaan itu bisa mengisi kehampaan yang ia rasakan.
Bayu duduk di tepi tempat tidur, menatap mangkuk kolak labu buatannya dengan mata berkaca-kaca. Ia sadar, yang ia rindukan bukan hanya kolak labu, melainkan kehangatan rumah, senyum ibu yang selalu sabar menunggunya pulang.
Tanpa pikir panjang, Bayu menghubungi nomor ibu. Sambungan tersambung setelah nada dering ketiga.
“Bayu? Kok tumben telpon jam segini?” suara ibu terdengar begitu akrab namun terasa jauh.
“Bu…” suara Bayu bergetar. “Aku… Aku rindu masakan ibu. Rindu rumah. Maaf, selama ini nggak pernah sempat pulang.”
Sejenak keheningan menguasai percakapan mereka. Lalu, suara ibu terdengar lagi, lebih lembut dari biasanya. “Nggak apa-apa, Nak. Kamu baik-baik saja di sana, itu sudah cukup buat ibu. Tapi kalau memang rindu… pulanglah. Ibu selalu nunggu.”
Malam itu, Bayu memutuskan. Ramadan kali ini, ia akan pulang. Ia akan menikmati kolak labu buatan ibu, bukan karena ingin mencoba menyukainya, tapi karena di setiap potongan labu dan manisnya santan, ada cinta yang tak pernah lekang oleh waktu.
**
Pagi-pagi sekali, Bayu sudah berada di bandara. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia mengingat suara ibu di telepon malam itu. Tidak ada yang lebih ia rindukan daripada rumah. Senyum ibu, kehangatan keluarganya, dan tentu saja, sepanci kolak labu yang dulu ia benci.
Pesawat mendarat dengan mulus di bandara kecil di kotanya. Perjalanan menuju kampung terasa begitu panjang meski sebenarnya hanya memakan waktu sekitar satu jam. Setiap sudut jalan yang ia lewati membangkitkan kenangan. Pohon mangga besar di tepi jalan, warung kecil yang dulu sering ia singgahi, bahkan rumah-rumah tua yang kini tampak lebih usang.
Saat tiba di rumah, ia mendapati ibu sudah menunggunya di depan pintu dengan senyum mengembang.
“Bayu, Nak…”
Tanpa ragu, ia memeluk ibunya erat. Tidak peduli dengan tas ransel yang masih menggantung di punggung atau peluh yang mengalir di dahinya. Yang terpenting adalah kehangatan pelukan itu. Hangat yang selama ini hanya menjadi bayangan dalam benaknya.
“Masuk dulu, kamu pasti capek dan lapar,” ajak ibunya sambil menuntunnya masuk ke dalam rumah.
Di meja makan, sepanci kolak labu sudah menunggu, masih mengepul dengan aroma khas yang begitu menggelitik hidung.
“Kali ini, aku nggak akan protes, Bu. Kolak labu ini yang paling spesial.”
Mereka tertawa bersama, meski mata Bayu sedikit memerah. Kolak labu itu, akhirnya, bukan hanya tentang rasa. Tapi tentang cinta, rumah, dan kebersamaan yang takkan tergantikan.