Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Rina duduk di pojokan kamar kosnya, menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh harapan. Sudah berkali-kali dia dipaksa ikut acara perjodohan oleh ibunya, tapi hasilnya nihil. Entah cowoknya yang terlalu kaku, atau malah ibunya sendiri yang lebih akrab dengan calon menantu ketimbang dia.
Akhirnya, setelah berbagai drama perjodohan yang lebih melelahkan dari sinetron 1000 episode, Rina memutuskan mengambil jalan modern: kencan online. Sederhana, praktis, dan yang paling penting, tanpa kehadiran ibunya yang suka menginterogasi.
Sejak seminggu lalu, ia mulai rajin swipe kanan. Awalnya iseng, tapi siapa sangka, dia bertemu dengan seseorang bernama Budi. Dari foto profilnya, Budi tampak seperti pria mapan yang suka naik gunung, berkemeja flanel, dan berpose keren di puncak dengan latar belakang sunrise.
“Pendaki yang mencari teman mendaki ke pelaminan,” begitu bio-nya.
Kesan pertama? Menarik.
Setelah beberapa kali chatting, Rina merasa nyambung dengan Budi. Orangnya humoris, ramah, dan sesekali melontarkan gombalan receh yang cukup sukses membuat Rina tersenyum sambil mengguling-gulingkan badan di kasur.
“Kamu kayak puncak Semeru.”
“Kenapa?”
“Soalnya buat sampai ke hatimu, aku harus melewati banyak rintangan.”
Gombalannya memang khas bapak-bapak, tapi entah kenapa tetap bikin Rina senang. Dan akhirnya, setelah seminggu chatting intens, mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe.
Hari itu Rina datang lebih awal. Ia memilih meja dekat jendela, memesan es kopi susu favoritnya, lalu mencoba menenangkan diri. Jantungnya berdebar-debar. Apakah Budi akan terlihat seperti di fotonya? Apakah dia benar-benar setampan dan sekeren yang terlihat di profilnya?
Tak lama, seseorang menepuk bahunya.
“Rina?”
Ia menoleh. Seorang pria berdiri di depannya.
Rina butuh waktu beberapa detik untuk memproses kenyataan. Pria itu memang Budi… tapi dengan versi yang sedikit berbeda dari ekspektasi.
Rambutnya agak menipis di bagian depan, perutnya sedikit lebih maju, dan entah kenapa dia terlihat lebih pendek dari yang dibayangkan Rina. Jujur saja, di foto dia tampak seperti pria petualang yang penuh energi, tapi di dunia nyata, dia lebih menyerupai om-om yang terlalu lama duduk di depan komputer.
Rina menelan ludah. “Oh, Budi! Duduk, duduk.”
Budi duduk dengan canggung. Ia tampak gugup, entah karena bertemu dengan Rina atau karena sadar kalau fotonya di aplikasi kencan sedikit… misrepresentatif.
Rina mencoba mengalihkan suasana dengan membahas hobi mendaki.
“Jadi, terakhir kamu mendaki ke mana?”
Budi terdiam sejenak, lalu tersenyum kikuk. “Ehm… itu sih foto lama. Sekarang sih lebih sering mendaki tangga kantor.”
Rina berusaha menahan tawa, tapi hampir tersedak kopinya sendiri.
Percakapan mereka terus berlanjut, meskipun dengan beberapa momen canggung. Budi tampak semakin rileks dan mulai melontarkan guyonan receh lagi. Tapi suasana benar-benar berubah ketika makanan mereka datang.
Budi mencoba memotong steaknya dengan gaya ala chef profesional. Namun, pisau yang ia gunakan terpeleset, dan saus steaknya menciprat ke arah Rina.
Mereka berdua terdiam.
Budi langsung panik. “Aduh! Rina, maaf banget! Aku sumpah nggak sengaja.”
Rina menatap bajunya yang sekarang dihiasi saus cokelat mengkilap. Alih-alih marah, ia justru tertawa terbahak-bahak.
“Yah, lumayan lah, baju ini jadi punya motif baru.”
Budi ikut tertawa, meskipun masih terlihat menyesal.
Tapi insiden tidak berhenti sampai di situ.
Ketika Rina hendak ke toilet untuk membersihkan bajunya, kakinya tersangkut di kaki meja. Dalam sekejap, ia hampir terjatuh, tapi Budi yang refleks ingin menolongnya justru ikut terjungkal.
Dan sekarang, mereka berdua jatuh bersamaan di lantai kafe.
Seluruh pengunjung menoleh ke arah mereka. Ada yang menahan tawa, ada yang berusaha bersikap sopan, tapi jelas mereka menjadi pusat perhatian.
Budi mencoba bangkit sambil nyengir. “Kayaknya kita pasangan yang kompak dalam hal jatuh.”
Rina yang masih setengah malu setengah ngakak hanya bisa menggeleng. “Iya, jatuh harga diri.”
Setelah semua insiden memalukan itu, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Udara sore yang sejuk membantu meredakan suasana.
Meskipun kencan ini jauh dari kata sempurna, Rina sadar bahwa ia benar-benar menikmati kebersamaan dengan Budi.
“Mungkin kencan ini nggak sesuai ekspektasi kita, tapi aku senang bisa mengenal kamu lebih dekat,” katanya sambil tersenyum.
Budi mengangguk. “Aku juga. Mungkin kita bisa coba mendaki gunung beneran suatu hari nanti, meskipun gunungnya cuma es krim.”
Rina tertawa. “Deal.”
Siapa sangka, kencan yang penuh kekacauan ini justru menjadi awal yang menyenangkan?