Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Kemanakah perginya manusia?”
Seorang bocah miskin bertanya usai menyadari kesunyian panjang. Ada dua musim di negara yang kau tinggali, hujan dan kemarau. Dalam beberapa tahun mundur musim beranak, musim ini selalu menghadirkan rindu, terbusung di dada para anak adam, bersembunyi di balik gubuk-gubuk debu, terserak di atas ambang nafsu yang tidak memiliki kesinambungan dengan naluri dan akal pikiran.
Musim ini datang tanpa diundang, namun tetap lain dengan jaelangkung yang membutuhkan ritual meski tak perlu jemputan, ia bermain ke bumi manusia sesuka diri, tidak mau kalah dengan musim kemarau maupun hujan. Sekali ia datang, tidak peduli air mengguyur atap-atap rumah nenek moyang, abai dengan ribuan daun kering yang berguguran di musim kemarau. Ia, hadir tanpa mengenal waktu dan kesempatan, yang jelas kehadirannya ada setelah beberapa nyawa melepas kepergian dalam upacara perpisahan.
Musim baru ini menumbuhkan sakit di hati pertiwi. Tanah-tanah tak lagi dicumbui jemari kasarnya, padi-padi dibiarkan merunduk tanpa ada yang memeluk, sungai-sungai lantas mengalir damai, tak lagi dapat kau dengar teriakan-teriakan anak kampung yang setengah telanjang melompat dari atas bebatuan cadas.
“Kemanakah perginya manusia?”
Kunang-kunang pun bertanya, ia bersembunyi di dalam rerimbunan semak belukar. Mengintip keadaan sekitar, persawahan dialiri air irigasi, punggung renta membuat orang-orangan untuk mengusir burung-burung kelaparan. Jalanan penghubung desa dengan pasar sepi, dahulu warga berbondong-bondong membawa hasil bumi untuk diperdagangkan. Kini, jejak kaki tinggallah kenangan.
Tatkala bulan puasa datang, anak-anak kampung berlarian di pematang sawah membawa bekal dari rumah, menunggu azan magrib berkumandang, lantas sama-sama menyantap hidangan ala kadarnya. Kini, tidak ada lagi kicau beo mereka, sawah sepi, baik di bulan suci maupun bulan-bulan biasa. Tidak ada yang menceburkan diri memburu cacing-cacing, apalagi bergelut dengan lumpur menjijikkan. Idul Fitri tiba, ibu-ibu memandang iba senja dari balik jendela. Ayah mengembuskan napas kecewa, kabar diterbangkan dari negeri perantauan, janji tahun depan akan menginjakkan kaki di tanah kelahiran.
Bocah miskin meratapi nasib malangnya, ia memetik ilalang di lahan luas yang tidak terawat, menerbangkan layang-layang tanpa kawan. Dahulu, orang kaya dan miskin menjadi satu, berlarian saling kejar-mengejar di beranda masjid sampai dijewer guru mengaji, namun mereka terus berkelakar, tidak pernah mengenal kata menyesal, di hari kemudian melanjutkan pertempuran, main pedang-pedangan menggunakan ikat pinggang, guru mengaji memberi hukuman, mereka bersungut-sungut, pura-pura mengemban dosa besar, lagi-lagi hari depan mereka menyalakan petasan ketika jamaah sujud dalam waktu isyak. Kini, tinggallah ekor layang-layang yang menari kesepian di ambang udara. Terbang bebas tanpa khawatir kawan lain menyangkutkan benangnya dengan sengaja, agar layang-layangnya limbung. Mereka sempat marah-marahan, bergulat di medan udara, berlomba meninggikan layangan kesayangan, menciptakan suasana ramai meskipun dahaga gersang di tenggorokan. Menurut bocah miskin, pertempuran itu merupakan hal menyenangkan.
“Kemanakah teman-temanku pergi?” Bocah miskin menyahut.
Pupuk kandang menumpuk segunung. Punggung pemuda tidak kelihatan. Orang-orang renta hilir-mudik mengangkut kotoran ke ladang-ladang, pulangnya membawakan oleh-oleh penghuni kandang. Rumput yang dipikulnya merupakan ucapan terima kasih kepada pasukan sapi dan kambing yang mau memberikan kotorannya cuma-cuma. Tenaga pemuda tidak berjejak. Malam sempat berpikir pemuda tidak dilahirkan dari sebuah rahim. Ibu-ibu kehilangan cara mengandung, anak-anak punah, kehidupan nyaris mendekati kata gugur. Sayang, nenek kampung menyangkal, usai senja melingkar di leher malam, ia berkisah baru saja menengok cucunya yang diterbitkan Tuhan dari kemaluan perempuan. Mungkinkah bayi itu dicuri raksasa untuk dijadikan budak-budak pengabdian? Seperti pada kisah timun mas. Ah, tidak! Kau hidup dalam kenyataan, bukan di negeri-negeri dongeng. Lantas, kemanakah dewasanya bayi tersebut?
Bocah miskin itu mengintip rumah warga, tidak ada pemuda yang duduk manis di beranda berkawan segelas kopi hangat. Ia berpikir bijak, “mereka sedang meraih pendidikan tinggi di kota sebelah.”
Pak Kaum mengumumkan bahwa rata-rata anak di kampungnya hanya menyimpan ijazah tingkat sekolah dasar. Orangtua tidak memiliki banyak rupiah untuk mendudukkan para pemuda di bangku-bangku sekolah. Pemerintah menyangkal, bantuan-bantuan pendidikan telah diluncurkan sejak tahun-tahun sebelumnya. Sekolah bukan hanya perihal membayar SPP dan menukar kain seragam, mereka butuh bekal, dan tak ada pula sopir angkutan yang mau dibayar dengan senyuman. Anggaran dari atasan biasanya digunting-gunting, sebagian untuk operasional pembangunan gedung, sebagian untuk melunasi administrasi yang masih menunggak di semester-semester lampau, beberapa orangtua juga masih saja dituntut iuran membeli buku paket ini dan itu, iuran lain-lain. Pendapatan orang kampung? Berapa mangkuk keringatkah?
“Ah ya, mereka merantau untuk mencari nafkah.” Orang tua menyimpulkan. Ungkapnya jujur telah memberikan izin asalkan demi masa depan yang makmur. Di perantauan mereka memeras keringat, lupa cara bercocok tanam, menjual tenaga dengan murah, membiarkaan harga dirinya ditempatkan pada lapisan terendah, buruh!
Bocah miskin melintasi punggung rumah mewah, ia menyaksikan seorang pemuda rebah dari balik jendela yang tirianya terbuka lebar. Pemuda itu tidak pergi, sebagian memang melayang mencari kesibukan-kesibukan di negeri orang asing, namun mereka yang ada di dalam itu juga muda. Layar bercahaya disentuh-sentuh, dipelototinya sejak ayam betina bertelur sampai malam mendengkur. Sementara ayah sedang sibuk menggundul kumisnya dengan alat cukur. Adik kecil menggelesor di atas lantai, membumbungkan layang-layang dengan sentuhan lembut di atas layar bercahaya.
“Musim sunyi.” Kunang-kunang menarik kesimpulan.
“Orang-orang sibuk merantau mencari nafkah, sebagian membuang masa mudanya di pembaringan dengan kekasih mayanya. Ladang dan kampung halaman hanya tempat kelahiran.” Bocah miskin menjelaskan.
Magelang, 07 November 2017