Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Boo si Boneka Kelinci
3
Suka
4,941
Dibaca

Boneka kelinci yang menjadi hadiah ulang tahunku sembilan tahun lalu masih setia menemaniku. Bulu-bulunya kecoklatan, agak kasar, dan mengelupas di sana-sini. Tapi bukan berarti dia sudah tidak lucu. Wajah cemberutnya selalu bisa mengatasi kesepianku, menghiburku selalu.

Aku menamainya Boo. Nama yang aneh memang, karena lebih terdengar seperti hantu daripada kelinci. Tapi karena mudah disebut dan aku menyukainya, kurasa nama itu cocok-cocok saja.

Boo, sebagaimana boneka kelinci yang baik, suka sekali mendengar ceritaku. Dia tak pernah protes, meski kurasa telinganya yang panjang itu suka kepanasan karena ceritaku tak berhenti hingga berjam-jam. Boo juga tidak pernah memberikan komentar apa-apa. Aku suka, karena tujuanku bercerita bukan untuk diberi nasihat, apalagi ceramah yang malah membuatku bad mood.

Boo selalu berada di sisiku, siang dan malam. Aku memeluknya waktu menjelang tidur, mengandeng telinganya untuk menemaniku berkeliling rumah, atau mendudukkannya di sisiku saat sedang makan. Kurasa, aku lebih sering bersama Boo ketimbang bersama Mama—

Refleks, kututup mulut dengan kedua tangan, celingukan, berharap Mama tidak mendengar perkataanku barusan.

Tapi bukan berarti aku tidak menyayangi Mama seperti aku menyayangi Boo. Kudekati telinga Boo lalu berbisik. Benar, kan? Boo sependapat denganku dan aku lega mendengarnya.

Aku bangkit dari menelungkup, meringis kecil karena lenganku masih nyeri. Kuangkat Boo lalu menyuruhnya melihat lenganku: ada tanda biru yang bentuknya mirip bunga. Setelah itu, kuangkat Boo sejajar dengan wajahku. Lucu ya, Boo!

Aku cekikikan sambil menuju pintu kamar. Kubuka pintunya sedikit, mengintip sekilas ke arah sofa sebelum menguncinya. Kemudian aku mendekati jendela, mengintip ke luar sebentar—ke arah pohon yang besar-besar dalam gelap—sebelum menutup gordennya.

Setelah beres, aku kembali duduk di atas karpet bundar berbulu halus dan lembut di sebelah ranjang kecilku. Kududukkan Boo di depanku.

Alasanku repot-repot begini karena aku ingin bercerita sedikit tentang Mama. Sebenarnya, aku tak boleh melakukannya. Kalau Mama tahu, pasti aku akan dimarahi. Karena itu, meski kelihatannya sudah aman, aku masih agak khawatir. Jadi aku memulainya dengan suara lebih pelan.

Semoga saja Boo tidak bosan mendengar lagi cerita ini.

Mama bilang, sejak aku muncul di perutnya, Mama jadi lebih pendiam. Tapi, bukan berarti Mama tidak suka berbicara. Meski tidak sering, aku suka dimarahi Mama karena alasan aneh dan tidak jelas. Contohnya saat aku mencoba keluar rumah. Aneh, kan? Padahal aku dan Boo cuma mau main-main sebentar saja di bawah pohon-pohon besar itu.

Lalu, setelah puas marah-marah, Mama pasti akan bertingkah aneh. Mama akan duduk sambil menangis di sofa ruang tengah, di depan TV menyala yang hanya menampakkan semut-semut.

Kulirik pintu kamar tepat setelah berkata begitu. Ya, kamu benar, Boo—yang kukatakan barusan sedang terjadi saat ini. Mama memang sedang duduk di sofa, bertingkah aneh dengan sungguh-sungguh.

Mama juga pernah bilang kalau aku sebenarnya punya Papa. Tapi saat aku bertanya tentang itu, Mama pasti marah-marah dan langsung bertingkah aneh.

Mama juga punya banyak larangan dan semuanya harus benar-benar aku turuti kalau tidak mau Mama marah lagi. Memang agak sedih, sih, tapi aku tidak pernah mau melawan Mama. Aku kan anak baiknya Mama.

Sontak kucubit gemas pipi Boo, memeluknya, menciumi lembut ujung kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja perutku berbunyi. Aku pun cekikikan menatap Boo, kemudian menatap jam yang bergantung di dinding. Rupanya sudah jam enam pagi. Waktu sarapan yang sejak tadi kutunggu akhirnya tiba.

Aku bangkit sambil menggandeng telinga kiri Boo, membawanya keluar kamar. Sambil bersenandung, aku melompat-lompat kecil menuju dapur. Kulewati belakang Mama yang menunduk tak menangis.

Nyanyian semut-semut di dalam TV menemaniku menyiapkan semangkuk sereal kesukaan. Setelah menyantapnya dengan lahap, aku memangku dagu sambil menatap punggung Mama. Boo duduk di samping mangkuk, menatapku dengan sendu—entah apa sebabnya.

Aku memutar bola mata, lalu membalas tatapan Boo sambil meringis.

“Ayolah, Boo! Harusnya kamu senang sekarang. Kenapa malah begitu, sih?”

Boo tak menjawab, seperti seharusnya, tapi wajahnya yang semakin sedih itu membuatku mendesah malas. Aku pun bangkit dan membawanya mendekati Mama. Kududukkan ia di atas meja, menghadapkan wajahnya tepat melihat Mama. Sementara itu, aku duduk melantai di sisinya, juga menatap Mama.

“Lihat baik-baik, Boo! Ini yang kita mau, kan?”

Wajah Mama yang menunduk terlihat kaku. Hatiku lega saat menatap benda tajam yang masih menusuk pergelangan tangannya. Warna merah menyelimuti pergelangan sampai telapak tangannya. Warna merah membasahi sebagian dasternya. Aku tersenyum, lalu memejam mata, menghirup dalam-dalam udara. Baunya tak enak dan membuat mual, tapi aku bahagia.

Kualih pandang pada Boo, yang malah menampilkan wajah gelisah. Bibirnya menekuk ke bawah. Sontak aku merengut, lalu mengapit dagunya dengan kedua tangan, menariknya sampai tepat menatap mataku. Aku menyengir lebar sambil memandanginya dalam dan lama.

“Ini yang kita mau, kan?”

Jantungku mulai berdetak penuh semangat seiring kami saling beradu pandang. Tapi semut-semut di dalam TV malah semakin keras berteriak, menuduhku yang macam-macam. Padahal aku tidak ada salah apa-apa. Aku kan anak baiknya Mama.

"Benar, kan?"

Kulepas tanganku dari Boo, menatap benci ke arah TV. Kuperintahkan mereka berhenti. Tapi, sebagaimana semut-semut tak berakal, mereka tetap berteriak tak peduli. Maka kusambar remot di sebelah Boo dan menekan tombol merah.

Semut-semut menghilang dalam sekejap, berganti layar hitam yang memperlihatkan refleksiku, Mama, dan Boo yang bukan boneka kelinci. Tampak di layar itu, di atas meja, duduk gadis sepantaranku, menyerupaiku, yang badannya penuh dengan lebam dan lecet di sana-sini.

Hening memang yang terbaik.

Lalu aku bangkit, melirik Mama sebentar sebelum menggandeng telinga kiri Boo. Sambil bersenandung, aku menuju pintu depan dan membukanya. Angin pagi yang segar melambai padaku. Kuhirup dalam-dalam aroma kebebasan yang selama ini diimpikan pemilik kesayanganku. Kuangkat ia mendekati wajah, lalu tersenyum ceria padanya.

“Sekarang kita bebas, Hana. Ayo pergi!”[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Boo si Boneka Kelinci
Adnan Fadhil
Novel
Bronze
Surti
Herman Sim
Cerpen
Bronze
HANTU WONDO & KORBAN G30S PKI
Sri Wintala Achmad
Novel
Bronze
MARAKAYANGAN: Yang Tertolak Dua Dunia
Trippleju
Flash
Bronze
UNDER YOUR BED
mahes.varaa
Novel
The Deaveka
Haula Luthfia Ramadhan
Cerpen
Keluarga Keramat
LISANDA
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Hiroshima
Mizan Publishing
Skrip Film
PUAKA RATU ARJUNA
Delly Purnama Sari
Novel
Bronze
Goyangan Pohon Beringin
Erika Oktavian
Flash
Senyuman Penyihir
Jaydee
Flash
Bronze
Petuah Nenek
Alfian N. Budiarto
Cerpen
Pembisik di Atap
Penulis N
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Den Haag
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Terjebak Dunia Arwah
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Flash
Boo si Boneka Kelinci
Adnan Fadhil
Flash
Lagu Terakhirmu
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Cermin Pengulang Takdir
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Pelarian Seorang Gadis
Adnan Fadhil
Cerpen
Rahasia Kotak Perhiasan
Adnan Fadhil
Cerpen
Nama Kode: B-5
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Teror Sang Malam
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Tragedi yang Indah
Adnan Fadhil
Flash
Santap Malam Terakhir
Adnan Fadhil
Novel
Bisikan dari Masa Lalu
Adnan Fadhil
Flash
Bronze
Berdansa Dengan Hantu
Adnan Fadhil
Flash
Ruang Belajar
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Desir Angin, Gemuruh, Langkah Kaki
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Mahakarya Terakhir
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Dalam Keputusasaan
Adnan Fadhil