Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Boneka kelinci yang menjadi hadiah ulang tahunku sembilan tahun lalu masih setia menemaniku. Bulu-bulunya kecoklatan, agak kasar, dan mengelupas di sana-sini. Namun, bukan berarti dia sudah tidak lucu. Wajah cemberutnya selalu bisa mengatasi kesepianku, menghiburku selalu.
Aku menamainya Boo. Nama yang aneh memang, karena lebih terdengar seperti hantu daripada kelinci. Namun karena mudah disebut dan aku menyukainya, kurasa nama itu cocok-cocok saja.
Boo, sebagaimana boneka kelinci yang baik, suka sekali mendengar ceritaku. Dia tak pernah protes, meski kurasa telinganya yang panjang itu suka kepanasan karena ceritaku tak berhenti hingga berjam-jam. Boo juga tidak pernah memberikan komentar apa-apa. Aku suka, karena tujuanku bercerita bukan untuk diberi nasihat, apalagi ceramah yang malah membuatku bad mood.
Boo selalu berada di sisiku, siang dan malam. Aku memeluknya waktu menjelang tidur, mengandeng telinganya untuk menemaniku berkeliling rumah, atau mendudukkannya di sisiku saat sedang makan. Kurasa, aku lebih sering bersama Boo ketimbang bersama Mama. Namun bukan berarti aku tidak menyayangi Mama seperti aku menyayangi Boo.
Refleks, kututup mulut dengan kedua tangan, celingukan, berharap Mama tidak mendengar perkataanku barusan. Kudekati telinga Boo dan berbisik, meminta pembenaran. Boo sependapat denganku dan aku lega mendengarnya.
Aku bangkit dari menelungkup, meringis kecil karena lengan kebiruan ini masih terasa agak nyeri. Kudekati pintu kamar, membukanya sedikit untuk mengintip sekilas ke arah sofa sebelum menguncinya. Kemudian aku menuju jendela, mengintip ke luar sebentar—ke arah pepohonan besar-besar dalam gelap—sebelum menutup gordennya.
Setelah beres, aku kembali ke tempat Boo menanti ceritaku, di atas karpet bundar dengan bulu-bulu halus yang lembut di sebelah ranjang kecilku.
Alasanku repot-repot begitu karena aku ingin bercerita sedikit tentang Mama—hal yang seharusnya tidak boleh kulakukan. Walau kelihatannya sudah aman karena pintu sudah terkunci dan gorden sudah tertutup, aku masih agak khawatir. Jadi aku memulainya dengan suara lebih pelan. Semoga saja Boo tidak bosan mendengar lagi cerita ini.
Mama, sebagaimana—yang katanya—wanita yang melahirkanku, adalah tipe orang yang pendiam. Tapi, bukan berarti Mama tidak suka berbicara.
Meski tidak sering, aku suka dimarahi Mama karena alasan yang aneh dan tidak jelas; seperti saat aku mencoba keluar rumah. Aneh, kan? Padahal aku dan Boo cuma mau main-main sebentar saja di bawah pohon-pohon besar itu.
Lalu, setelah puas marah-marah, Mama pasti akan melakukan ritual yang tak kalah aneh. Mama akan duduk bergelinang air mata di sofa ruang tengah—mirip sebatang pohon kehujanan—di hadapan teve menyala yang hanya menampakkan semut-semut.
Kulirik pintu kamar tepat setelah menyebut kalimat itu. Ya, kamu benar, Boo—yang kukatakan barusan sedang terjadi saat ini. Mama memang sedang duduk di sofa, melaksanakan ritualnya dengan sungguh-sungguh.
Aku tak ingat sudah sejak kapan Mama punya kebiasaan jelek itu. Bisa jadi sejak aku belum bisa mengingat apa-apa? Atau, mungkin juga setelah kepergian Papa? Entahlah, yang jelas, Mama punya banyak larangan dan kesemuanya harus benar-benar aku turuti. Memang agak sedih, sih, tapi aku tidak pernah mau melawan Mama. Aku kan anak baiknya Mama.
"Benar, kan, Boo?"
Sontak kucubit gemas pipi Boo, memeluknya, menciumi lembut ujung kepalanya. Lalu, tiba-tiba saja perutku berbunyi, protes meminta makan. Aku pun cekikikan menatap Boo, kemudian beralih pada jam yang bergantung di dinding. Rupanya sudah jam enam pagi. Waktu sarapan yang sejak tadi kutunggu akhirnya tiba.
Aku bangkit, menggandeng telinga kiri Boo, membawanya keluar kamar. Sambil bersenandung, aku melangkah ringan—nyaris melompat—menuju dapur, melewati belakang Mama yang tertunduk tak terisak.
Nyanyian semut-semut di dalam teve menemaniku menyiapkan semangkuk sereal favorit. Setelah menyantapnya dengan lahap, aku memangku dagu sambil menatap punggung Mama. Boo duduk di samping mangkuk, menatapku dengan sendu—entah apa sebabnya.
Aku memutar bola mata, lalu membalas tatapan Boo sambil meringis.
“Ayolah, Boo! Harusnya kamu senang sekarang. Buat apa merengut begitu?”
Boo tak menjawab, seperti seharusnya, tapi tatapannya yang semakin muram itu membuatku mendesah malas. Aku pun bangkit dan membawanya mendekati Mama. Kududukkan ia di atas meja kopi, menghadapkan wajahnya tepat melihat Mama. Sementara itu, aku duduk melantai di sisinya, menatap pemandangan yang sama.
“Lihat baik-baik, Boo! Ini yang kita mau, kan?”
Mama, dengan wajah tertunduk kaku, memperlihatkan ekspresi kosong yang membuatku tertegun. Hatiku lega tatkala menatap logam pipih kecil yang masih bersarang nikmat di nadinya. Sementara warna merah nyaris menutupi telapak tangan hingga membasahi sebagian dasternya, bau besi bercampur karat mulai menyeruak, menyusup, memenuhi jiwaku yang kosong melompong.
Aku memejam mata, menghidu perlahan udara menyesakkan, yang malah terasa amat ringan. Lalu, kualih pandang pada Boo, yang kini menampilkan raut wajah gelisah dengan bibir menekuk ke bawah. Sontak aku merengut, lalu mengapit dagunya dengan kedua tangan, menariknya hingga tepat menatap mataku. Kupasang wajah ceria sambil memandanginya dalam dan lama.
“Ini yang kita mau, kan?”
Detak jantungku mulai bergema penuh semangat seiring kami saling beradu pandang. Akan tetapi, semut-semut di dalam teve malah semakin keras berteriak, menuduhku yang macam-macam. Padahal aku tidak ada salah apa-apa. Aku kan anak baiknya Mama.
"Benar, kan?"
Kulepas tanganku dari Boo, menatap benci ke arah teve, memerintahkan mereka berhenti. Namun, sebagaimana semut-semut tak berakal, mereka tetap berteriak tak peduli. Maka, kusambar remot di sebelah Boo, menekan tombol merahnya.
Semut-semut menghilang dalam sekejap, berganti layar hitam yang menampakkan refleksiku, Mama, dan Boo yang bukan boneka kelinci. Di layar itu, di atas meja kopi, tampak duduk gadis sepantaranku, menyerupaiku, yang sekujur badan gemetarannya dipenuhi lebam dan lecet di sana-sini.
Hening memang yang terbaik.
Lantas aku bangkit, melirik Mama sekejap sebelum menggandeng telinga kiri Boo. Sambil bersenandung, aku menuju pintu depan, membukanya. Semilir angin pagi nan segar melambai padaku. Kuhirup dalam-dalam aroma kebebasan yang selama ini diimpikan pemilik kesayanganku. Kuangkat ia mendekati wajah, lalu tersenyum ceria padanya.
“Sekarang kita bebas, Hana. Ayo pergi!”[]