Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku memilih duduk beberapa meja di seberangnya.
"Kopi pancong satu," Pesanku pada waiters, lalu aku menenggelamkan diri dengan gadget, dan mulai berselancar dengan scrolling mencari apa pun yang bisa mengalihkan perhatianku darinya.
Melihat mukanya membuatku muak dan mual.
Di seberang sana, ia merasa bingung mengapa aku tidak duduk satu meja dengannya. Ia berusaha mencari kesempatan, berharap untuk memanggil atau tersenyum, mengajak duduk mengobrol, tapi aku sudah terlanjur dipenuhi dendam kepadanya.
***
Suatu malam, ia bertamu. Ia bilang sudah lama mencari aku hingga seseorang mengatakan bahwa aku tinggal di kampung, sehingga ia datang malam itu ke rumah.
"Masih ingat saya Pak? Saya Udin, Udin Awek," ujarnya mencoba membantu mengingatkan.
Dia sekarang punya bisnis, katanya, yang ia jalankan usai pergi merantau ke Riau. Di sana, ia bekerja di pabrik sawit, lalu belajar investasi pada seorang pekerja keuangan pabrik yang korup tentang investasi. Saat pandemi datang, ia pulang.
Dan di sinilah kemudian kami bertemu. Aku mengenalnya sebagai OB, hidup prihatin dengan keluarga di kampung yang kurang memadai. Aku membantunya hingga selesai kuliah, karena atas dasar itu ia datang dan berkata bahwa ia ingin membalas budi baik itu.
Dia menawarkan bisnis yang bisa membantuku, karena bisnis terlilit masalah sejak pandemi saat itu. Pucuk dicinta ulam tiba, maka dimulailah petualangan itu.
Uang pertama aku pinjam dari kerabat, katanya dikembalikan seminggu, tapi sebulan setelahnya belum kembali. Ia meminta aku mencarikan investasi agar dia bisa membantu menjadi penjamin bank. Aku menyanggupi, karena waktunya hanya sepuluh hari hingga sebulan.
Begitu seterusnya, karena investasi dan aku mengenalnya, dan harapan akan bantuan datang, uang investasi terus masuk ke perusahaannya, hingga berpuluh juta.
Tapi di sanalah ia mulai menjadi bajingan, selalu dengan janji setiap Senin dan Jumat, lalu Senin dan Jumat lagi hingga ke bulan berikutnya.
Tiba-tiba, ia menjadi bisu seakan ada peluit di telinganya. Bahkan, ia hanya bisa mengatakan beberapa patah kata yang dapat didengar jelas: "Uangnya sedang dalam proses." Kata itu selalu diucapkannya yang terdengar seperti sedang buang angin, tapi keluar dari mulutnya. Padahal sekarang sudah enam bulan tanpa satu kepastian.
Segala sumpah serapah, dari "bajingan," "bangsat," hingga "jahanam," sudah menyumpal di telinganya dan membuatnya tuli.
Mata jahatnya akan berputar-putar jika ia berbicara dengan kita, tapi anehnya, ia selalu merasa menjadi orang baik—katanya: "Jangan ucapkan kata jahat, aku tidak seburuk itu." Begitulah selalu ia katakan. Aku selalu tertawa mendengarnya, karena ketika ia mengatakan itu mukanya jadi terlihat tolol.
"Pak, Senin ini semuanya akan saya bayar, uangnya pasti ada," katanya. Aku pikir tadinya ia sedang buang angin, jadi aku acuh saja.
Pada hari Senin, aku tunggu kabar sejak pagi, ternyata nihil, rekeningku tetap sama saldonya. Aku berpikir, apa yang aku kira hanya buang angin ternyata memang benar. Hingga sebulan setelah mengatakan itu ia kembali menjadi idiot yang cuma bisa mengatakan janji yang sama tapi tidak pernah ditepati.
Aku lantas mengirim pesan padanya. Aku sabar, tidak sepertimu, yang baru dipinjam teman uang 30 juta hanya sebulan, tapi belum dibayar, langsung memakinya dengan "bajingan, bangsat."
Aku bilang, "Aku belum mengatakan itu, karena aku orang baik. Mungkin suatu hari nanti aku akan menyumpahimu juga dengan 'bajingan, bangsat, jahanam, dan segala macam binatang buruk yang bisa aku sebut."
"Mungkin nanti aku juga akan menyumpahmu, kamu, keluargamu, dan semua keturunanmu dilaknat karma seribu kali lebih menyakitkan, atas apa yang sudah kamu lakukan pada orang lain." Tapi belum untuk sekarang ini.
***
Aku duduk di meja, menyesap kopi sambil memandang ke dinding yang berada di dekatnya.
Tak lama setelah itu, dia mengirim pesan, "Kita harus bicara."
"Aku pikir kamu di Medan, itu yang selalu kamu jadikan alasan jika berbohong." Dia tak menjawab.
Jadi, aku mengirim pesan tambahan, "Jadi, kamu yang duduk di seberang meja, aku pikir itu siluman mirip kamu." Dia tahu aku marah besar.
Lalu, di layar WhatsApp muncul pesan: "Pak, uangnya sedang dalam proses. Saya pastikan Senin pasti dibayar."
Pesan itu seperti teks yang diketik ulang, tinggal copy-paste—persis seperti pesan enam bulan lalu yang biasa dikirim ke whatsApp-ku.
Aku tiba-tiba merasa mual.
Sudahlah, semoga Tuhan membuka hidayah dan masih memberi kamu waktu untuk bertaubat sebelum mati—itu pesan jawabanku untuknya.
Dia memandang ke arahku, tapi aku seolah tak pernah melihat kehadirannya.
***
Aku urung menarik pistol dari jaketku, dan sejurus kemudian pulang.