Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Nasi
3
Suka
429
Dibaca

“Hati-hati di jalan. Nanti langsung pulang jangan main terus!” Ibu Iyah menyodorkan tangan untuk disalami sang anak. Ia mengantar ankanya sampai halaman depan rumah. Setelah sang anak pergi dengan suaminya, ia melihat Bu Iroh juga baru saja pulang mengantar ankanya sekolah.

“Pagi Bu Iroh,” sapa Ibu Iyah. Bu Iroh tersenyum, mereka pun saling mendekat ke tembok pembatas rumah.

“Bu Iyah pagi-pagi udah lesu aja, si Rian nggak mau makan lagi?” tanya Ibu Iroh.

Rian, anak Ibu Iyah memang agak susah untuk makan, apa lagi soal nasi. Hampir saja Ibu Iyah mengangkat ankanya menjadi duta anti-nasi kalau sang suami tidak memaksa putra sulung mereka untuk makan.

“Sekarang agak mendingan, tapi gitu, Bu. Paling dua-tiga sendok aja,” jelas Ibu Iyah.

“Namanya anak, ya, Bu. Wajar aja kalau susah makan, jangan dibiasain pilih-pilih makanan makanya, Bu. Anak kan niru orang tuanya.” Sebagai tetangga baik, Ibu Iroh sering memberi beberapa nasihat.

“Iya, Bu. Coba anak saya kayak si Damar, ya. Gemuk, sehat, jarang main lagi di rumah terus. Kalau si Rian yang kayak gitu, saya panik kali, Bu. Mendadak panggil orang pinter buat rukiah. Saking nggak mungkinnya.”

“Huss,” Ibu Iroh mengibaskan tangan depan muka. “Jangan gitu, ah. Omongan yang kayak gini yang ngebuat anak jadi nggak maju. Gapapa, bu. Yang penting ankanya senang, selama masih batas wajar. Toh, anak-anak kita masih SD.”

“Ibu ada tips biar Rian jadi jarang main, gitu?” tanya Bu Iyah.

 “Anak itu kalau rumahnya nyaman pasti betah Bu di rumah.” Bu Iroh melirik ke arah rumah Ibu Iyah. “Suami ibu kalau bicara suaranya terlalu kencang, makanya si Rian jadi nggak nyaman itu,” bisik Bu Iroh. Ibu Iyah mengangguk. Memang suaminya bersuara kencang karena watak dan kebiasaan orang luar pulau Jawa.

“Ya sudah, Bu. Saya mau masuk dulu, ngurus cucian,” pamit Bu Iyah.

“Wah, iya, Bu. Saya juga harus siap-siap, ada ketemuan sama temen-temen saya di café. Mari, Bu.”

Ke dua ibu rumah tangga itu pun masuk kerumah untuk menunaikan kegiatannya masing-masing. Ibu Iyah yang mengurus cucian juga menyiapkan makanan untuk siang nanti dan Ibu Iroh mulai memols diri karena ada janji temu.

Tidak terasa, hari sudah mulai siang bahkan menjelang sore. Tapi Rian belum juga pulang. Ibu Iyah berdiri di depan rumah menunggu kepulangan sang anak. Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson mobil. Ibu Iroh baru saja pulang dari menjemput ankanya. Bu Iroh berhenti di depan rumah Ibu iyah, ia menurunkan kaca mobil, terlihat jelas Damar sedang sibuk menonton tablet yang di putarkan oleh Ibu Iroh.

“Ada apa, Bu?” tanya Ibu Iroh melihat wajah panik Ibu Iyah.

“Ini, si Rian belum juga pulang. Kebiasaan banget anak itu!” Ibu iya bersidekap dada, matanya terus melihat sekita memastikan tanda-tanda dari Rian.

“Halah, paling main kayak biasa. Nggak usah sepanik itu, Bu. Nanti juga pulang.” Ibu Iroh melihat spion tengah, ia melihat Rian berlari dengan seragam yang sudah tidak karuan.

“Hai, Bu!” sapa Rian, anak itu segera menyambar tangan sang Ibu lari masuk ke dalam.

“Kan, apa. Ya udah, Bu Iyah, saya pulang dulu.” Bu Iroh menjalankan mobil hingga terparkir di depan rumah. Ibu Iyah pun segera masuk kedalam rumah, tentu saja ia bersiap merangkai kata untuk memarahi sang anak.

“Rian, kamu itu kalau pulang-”

“Ke rumah dulu, baru main. Tau kok, Bu,” Rian memotong omongan Ibu Iyah, ia menghampiri Ibu Iyah yang sudah duduk di atas sofa. Ia merebahkan kepala di paha sang Ibu. “Maaf ya, Bu. Tapi tadi ada kerja kelompok dadakan, besok harus udah dikumpulin. Rian ada bukti printilan kerja kelopok tadi, kok.Sumpah.” Rian mengacungkan ibu jari dan jari manisnya dengan tinggi.

Ibu Iyah menghela napas, ia mengelus rambut anaknya penuh kasih sayang. “Lain kali kabarin, Ibu. Pinjem ponsel guru atau apa, kamu nggak lupa nomor ibu, kan?” Rian mengangguk, matanya mulai mengerjap, kantuk menyerang dirinya yang lelah dengan sekolah hari ini.

“Kamu ganti baju terus makan, ibu udah masakin ayam opor kesukaan kamu. Abis itu baru mandi, terus terserah deh kamu mau ngapain.” Dengan malas, Rian bangun menuruti perkataan Ibu Iyah.

Kalau Rian hampir terkena omelan, lain lagi dengan Damar. Sesampainya di rumah, ia segera menghempaskan diri ke atas sofa. Bu Iroh menghidupkan TV, memutar acara superhero kesukaan Damar.

“Mah, laper!” rengek Damar.

Bu Iroh yang sedang berada di dapur tersenyum. Ia berjalan menuju anaknya dengan segelas susu dan piring yang penuh dengan nasi, roti, serta taburan gula pasir.

“Ini, ibu siapin makanan kesukaan kamu. Damar pasti suka.” Damar memposisikan diri agar duduk dengan nyaman, ia menyilangkan kaki di atas sofa, mulutnya terbuka ke arah sang ibu. Ibu Iroh lagi-lagi tersenyum, anaknya kesayangannya yang sangat manja, si gembul yang akan selalu ia turuti. Semua yang orang tuanya dulu tidak bisa berikan, akan Bu Iroh berikan kepada anaknya. Ia akan menuruti semua keinginan Damar.

“Anak Ibu Iyah itu susah makan loh, Dek. Sombong lagi nggak mau temanan sama kamu,” celoteh Bu Iroh tanpa gubrisan sedikit pun dari Damar yang fokus menonotn TV.

Sore hari saat Ibu Iyah sedang menyapu teras rumah, motor suaminya datang. Dengan apik Pak Lingga memarkirkan motor di teras dekat pintu masuk. Ibu Iyah segera mengahmpiri dan menyambar punggu tangan sang suami.

“Ada buah, tuh. Langsung potong aja, makan sekarang.” Pak lingga menunjuk buah yang bertengger di motor. Ia pergi masuk meninggalkan Ibu Iyah yang agak kesusahan mengambil semangka di sela-sela motor.

Ibu Iyah sedang duduk bersama Rian di bangku meja makan, beberapa potong semangka yang baru saja dibawa suaminya tadi disantap dengan lahap oleh Rian.

“Jangan banyak-banyak, nanti malam alasan nggak mau makan lagi,” omel Ibu Iyah.

Tidak lama sang suami keluar dari kamar mandi lalu bergabung bersama istri dan anakanya.

“Nggak apa-apa, saya beli buat Rian, kok.” Pak Lingga mengusak kepala anaknya. “Tapi nanti malam tetap makan nasi. Jadi laki-laki itu harus makan banyak. Biar nanti kamu bisa jagain Ibu.”

“Nggak mau, Pak! Aku makan banyak nanti kayak orang gila sebelah.” Bu Iyah memberikan tamparan ringan di dahi.

“Jangan gitu, nggak baik,” omel Ibu Iyah.

Pak lingga menggeleng melihat interaksi keduanya. Ia menarik bangku di depan mereka berdua. “Tapi kasian juga, masih sekecil itu meninggal karena masalah gula.”

“Udah-udah. Makan dulu semangkanya, Pak.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
We are?
Aulia Choirun Nisa
Novel
Cinta yang menghancurkan segalanya.
Aditya aji pamungkas
Komik
Age Is Just A Number
edokomikecil
Flash
Nasi
godok
Skrip Film
REALITY ZONE SCRIPT
Nia Wijaya
Cerpen
Sehabis Hujan
Zaki S. Piere
Cerpen
Marbot mesjid
E.P.Wirawan
Novel
Bronze
Paruh Dalu
Fitri F. Layla
Skrip Film
Sejak Juni Menjadi Dingin
Ralali Sinaw
Skrip Film
Mencari Irama
Hendra
Flash
Bronze
Kecupan Rere
Sulistiyo Suparno
Novel
Fool's Gold
Syafa Amelia
Novel
Lebih Dari Sekadar Memori
Aira Devanshi
Novel
Lembaran Harapan
Yukina Gelia
Skrip Film
When You are Grade 12
Nadine Mandira
Rekomendasi
Cerpen
Bronze
Dua Sisi LainNya
godok
Flash
Nasi
godok
Cerpen
Kemusnahan
godok
Cerpen
Bronze
Tuan Kutukan dan Warisan Terakhir
godok
Cerpen
Kedai Suram
godok
Cerpen
Figure Skating
godok
Cerpen
Bronze
Agnosia
godok
Flash
Candala
godok
Cerpen
Bronze
Yang Tetangkap
godok
Novel
Hunter for The Phantom
godok
Novel
Gubuk Tengah Hutan
godok