Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Nenek menikmati teh panas dan singkong rebus yang kuhidangkan di meja teras depan rumah. Aku adalah cucu kesayangannya yang kini sudah dewasa.
"Ibumu kok belum balik-balik juga dari Jakarta? Padahal nenek ragu soal om mu," ujar Nenek Haya sembari menatap halaman rumah yang ditumbuhi pohon jambu air dan delima. Oh ya, ada pohon salak dan beragam tanaman hias. Ibu dan nenek punya selera yang sama. Berbeda denganku yang lebih suka dengan hewan.
"Ini kan rumah hasil keringat nenek dan jual gelang Ibu. Jadi dia tak berhak mengambil apapun," jawabku pasti. Nenek yang masih menyisakan garis kecantikan di wajahnya ini menatapku lembut. Ah... pantas dia telah merebut tiga hati pria. Terakhir adalah tentara, kakekku. Aku tersenyum merangkulnya.
Dia? Om ku itu terlihat baik. Membantu mencarikan pembantu rumah tangga sampai ke Kolaka untukku. Dia putra dari suami pertama nenek. Mantan suami nenek semua sudah berpulang termasuk ayah omku dan juga kakekku.
Hingga hari itu tiba saat dia datang membawa seseorang dan mengancam ibu. Aku tersenyum menatap Om yang kini berubah jadi serigala. Memalsukan semua cap jempol nenek saat sakit. Menyogok lurah di Manurung. Lalu mengambil saksi palsu untuk membuat akta jual beli.
Amarahnya menggelegak. Aku tersenyum menatapnya. Ibu tak berkutik. Ya, menurut Ibu, sudah beberapa kali kakak tirinya itu datang. Bukan membawa kedamaian tapi teror. Aku hanya diam. Termasuk sore ini saat Om ku itu datang membawa segerombolan setan yang menghasutnya.
"Kenapa kamu tersenyum?"
"Kenapa aku harus marah?" jawabku sinis. Sepertinya kepalaku mulai meronta.
Bulan berlalu. Aku mendengar dia membusuk di penjara. Juga, temannya yang mengancam ibuku telah berkalang tanah. Ah, memelihara hewan juga ada gunanya. Apalagi hewan yang dijinakkan dengan janji manis dan jabatan.
Memiliki kecerdasan itu anugerah. Aku tak perlu mengotori tanganku dengan darah. Tahukah kau, Om? Kau salah sasaran. *)