Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Aku enggak akan pernah percaya dengan namanya cinta, enggak akan pernah."
"Kau dengar itu!"
Laki-laki dengan pakaian putihnya yang lusuh, hanya mendengarkan tenang ucapan perempuan tinggi di depannya ini. Ia tahu enggak ada gunanya membalas omongan tiada henti yang selalu keluar dari mulut perempuan yang sudah dikuasai amarah. Tanpa diduga, akhirnya perempuan ini diam juga, mungkin ia sudah capek.
"Lalu, apa yang kamu percaya, sedangkan cinta saja kamu enggak percaya, apalagi manusia dan seisi dunia ini."
Kiran menatap tajam laki-laki sok tau, sok kenal, di depannya dengan geram. "Sudah cukup, ya, kamu ikut campur urusanku, kehidupanku. Kalau aku enggak percaya dengan segalanya kenapa, ha? sama pencipta dunia saja aku enggak percaya."
"Pergi kau, pergi."
"Kau dengar, pergiii. Aku muak dengan wajah sok kerenmu itu."
‘Mulai lagi,’ batin laki-laki itu.
Detik berlalu lama kelamaan sepuluh menit berlalu, hanya ditemani kesunyian. Kiran melihat laki-laki di sebelahnya tajam lalu pergi berjalan dengan langkah lebar. Kiran mau pulang, yang sebenarnya itu bukan pulang sesungguhnya, hanya kehampaan.
"Mau ke mana?"
"Ayok ikut aku," tangan laki-laki itu memegang tangan Kiran dan menariknya pelan untuk mengikuti langkahnya.
"Lepas, sebenarnya kamu nih penculik, ya. Aku memang enggak pernah percaya dengan manusia, tampang baik belum tentu baik, dan itu kau."
Kiran masih terus mengikuti langkah laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Ya, terserah. Kalau pun ia diculik, bagus. Mungkin setelah ini ia udah enggak ada di dunia lagi, ia sangat beruntung.
“Lihat lah, anak-anak di jalan itu. Apa kamu enggak merasakan apa-apa? Lihatlah ibu yang menggendong anaknya dengan sabar, padahal dia udah letih. Rasakan oksigen yang selalu kamu hirup, dan pemandangan yang diberi khusus oleh tuhan untuk manusia. Cinta seperti apa yang kamu cari? Lihatlah, rasakan, nikmatin, dan jangan lupa bersyukur, Kiran."
"Ibu itu enggak seperti ibu di hidupku. Oksigen yang kuhirup, aku enggak pernah memintanya, malahan aku mau udara enggak usah masuk ke paru-paruku ini."
"Oke, cobalah kamu lihat sisi dunia dengan sudut pandang berbeda. Aku tahu, di hidupmu enggak ada memberi cinta, jadi kamu pun enggak pernah merasakan dan kamu pun enggak pernah memberi."
"Berilah cinta ke orang-orang, kiran. Rasakan kebahagiaan mereka, resapi sehingga bahagia mereka tertular ke kamu. Seperti tuhan yang enggak kamu percaya, pikirkanlah kenapa kamu masih bertahan sampai sekarang, itu semua karna dia, Kiran, tuhan yang telah menciptakanmu."
Laki-laki itu tersenyum tulus kepadanya. “Aku pergi dulu, maaf telah membuatmu marah."
Dia hilang, hilang tanpa jejak. Begitu cepat, sampai-sampai Kiran enggak tau dia berjalan ke arah mana. Kiran kembali sendiri melihat manusia, pohon-pohon, kucing, burung, termenung bingung.
Ada apa ini? Siapa laki-laki itu. Mau apa dia? Dia datang dan pergi begitu cepat, mengajarkan sesuatu. Dan sekarang aku tahu, orang-orang baik akan mudah pergi. Dan aku jahat. Laki-laki itu, dia sangat mirip dengan pria yang menolongku setahun lalu, tapi malah ia yang celaka. Ali.
Dia datang ketika Kiran cuma tau, jalan keluarnya, hanya mati. Laki-laki itu penyelamat atau apa. Kiran berjalan, mencoba tersenyum ke ibu yang sedang menenangkan anak di gendongannya. Ia bahagia. Ia akan kembali pulang, pulang yang sekarang terasa berbeda, akhirnya ia merasakannya.