Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tak pernah menyerah memotret hujan. Selalu kucari cara untuk bisa memiliki fotonya yang estetis. Kemarau panjang kadang menghantam tanpa ampun. Banyak bunga yang mati karena layu.
Aku tak mau mati karena merindu. Tekadku sudah bulat. Sebelum musim hujan berakhir, aku harus sudah memiliki potretnya.
Aku harus memotret hujan!
Begitu gerimis turun, kulari keluar rumah dibalut jas hujan seraya kubuka payungku. Kuyakin hujan akan mengira aku gadis lain. Atau bahkan laki-laki. Ia tidak akan tahu penyamaranku.
Payung-payung berwarna-warni mengembang dengan cantiknya di jalan ketika hujan mulai deras. Tetes demi tetes air tergelincir ke bumi dengan cepat dan rapat.
Kuambil kameraku dari balik jas hujan dengan hati-hati. Jangan sampai hujan tahu apa yang akan kulakukan. Aku harus bergegas sebelum ia memanggil petir seperti dulu.
Kubidik objekku dengan konsentrasi penuh.
Jantungku berdebar tak wajar.
Sasaran sudah tepat.
Tinggal pencet tombol...
Wusss!!!
Angin kencang sekonyong-konyong datang dan menarik payungku. Aku tak bisa menahan tubuhku untuk tetap berdiri. Aku terseret, dan jatuh. Kameraku luput dari tanganku.
Kedokku terbongkar. Hujan menatapku. Tapi ia tidak menghindar. Hujan menerjang bumi semakin deras. Melampiaskan amarahnya dalam banjir. Menenggelamkan kameraku dalam lumpur.
Pupus harapan.
Sirna impian.
Kupejamkan mata. Kudengar hujan tertawa. Derainya bak tabuhan serdadu yang menang perang.
Saat kusadari, banjir semakin tinggi. Tak kukira hujan bakal begini gusar hanya gara-gara aku berusaha mengabadikan gambarnya.
Hujan mulai reda. Mungkin sadar kemarahannya terlalu agung. Orang-orang pasrah harta mereka tergenang.
Aku diam, teringat kameraku. Tak bisa aku mencarinya dalam genangan air ini.
Kulepas jas hujanku. Basah kuyup rasanya sampai ke tulang. Aku menggigil.
Kudapati bunga-bunga di bajuku tetap bersemi. Tak pernah layu ataupun membusuk.
Hujan kini gerimis.
Syahdu.