Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sungguh, aku tak bisa lepaskan dirimu. Biarkanlah cinta kita … akan kukenang kembali masa yang indah, bercanda tawa bersama. Biarkanlah cinta kita bersemi apa adanya, hingga akhir nanti.
Buaian lagu “Sungguh” Power Metal itu terserap masuk, memaksa, mendobrak jua ujungnya. Hinggap di relung jiwaku terdalam. Lama kali ini, hanya di satu malam ini.
Bayang dirimu seakan datang. Mata anggun itu, manis senyum itu. Menggenggam erat alunan irama. Berputar, melayang, menari, berkeliling dalam asaku yang jauh pergi.
Lirik lagu itu, lagu “Sungguh” itu. Terlalu nikmat, terlalu … menyejukkan. Begitu juga bayang dirimu. Indah, oh begitu indah! Senyum itu, jemari panjang nan mungil itu. Sungguh indah, sungguh … menyesakkan!
Teringat lagi semuanya. Amarah itu, air mata yang jatuh itu, penyesalan itu. Semua salahnya jatuh padaku! Oh, sungguh penyesalan yang tak dapat rasanya kurelakan.
Kuakui akanku yang punya ego begitu besar. Ego yang melenyapkan akal-akal sehat. Ego yang menyiakan engkau hingga menjauh, amat jauh dariku. Namun malam ini … hanya di malam ini hilang rasanya ego itu. Ingin aku mengenangmu lagi malam ini. Sungguh aku inginkan itu.
Di satu malam tanpa bintang itu. Malam nan sepi, sunyi, pun berhias cahaya kelabu nan jauh di ujung sana. Di bawahnya pula kita berlindung kala itu. Dua jiwa muda menggelora. Merah menyala. Bersarang murka nan membutakan asa.
Terpisah kita oleh beton usang termakan usia. Engkau berada di dalam sana, tersedu lara. Sebegitu aku berdiri di sini, tertunduk lesu di luar sini.
Tak jua terucap kata-kata penyesalan itu. Penyesalan yang akhirnya menuai kerinduan. Rindu yang menyebabkan banyak jiwa-jiwa putus asa.
Aku menyadarinya. Sadar benar aku ini. Walau sekarang sudah lama berlalu. Walau sekarang tak dapat lagi aku mendekap lembut tubuh itu, menggenggam erat tangan itu. Tetap aku tak peduli. Tetap aku ingin mendengar lagi suara merdu itu. Tetap aku menantikan hadirnya engkau padaku.
Aku merindukan engkau. Rindu yang menusukku begitu dalamnya. Sangat dalam dengan pisaunya yang tajam. Sakit, oh sakit sekali. Pun rindu itu mengiris hati terkecilku kini. Tanpa bisa akanku melihat darahnya, bekas lukanya.
Hadir bayangmu semakin dekat. Pun semakin jelas terasa. Gelap malam ini. Bintang-bintang bersembunyi. Enggan mereka. Begitu jua rembulan yang mengintip sendu. Oh, di mana? Di manakah sosokmu malam ini?!
Melodi gitar itu, ketukan perkusinya. Meremas hebat akan jantungku, mengguncangnya kuat. Canda tawa kita, kenangan kita bertahun-tahun lamanya, hanya bersisa sedikit lagi saja. Pelan dan perlahan terisis, terkikis, lenyap dan hancur pula akhirnya. Tinggal menghitung jari saja, tinggal segitu lagi saja, kenangan itu takkan lagi bersisa jua.
Aku sempat percaya. Percaya pada dua hati yang pernah pecah kan menyatu kembali akhirnya. Sungguh aku sempat percaya. Namun bukan di masa ini. Bukan di saat ini. Bukan! Di tiga tahun yang lalu, itulah masanya. Masa sebelum aku bertemu akan dia. Sebelum engkau mengikat janji suci dengannya. Pun jauh sebelum itu.
Sempat jua aku tak lagi mengenangmu. Semua karena sosoknya di sisiku. Dia yang tak kunjung sama akan kau. Namun dia jualah yang buatmu dekat akan hati ini lagi. Ah, sungguh indah namun menyakitkannya masa-masa itu. Aku yang justru mengingat akanmu lagi, di antara bersamanya aku akan dia. Dia yang sama jua nyatanya.
Hujan. Bergetar rasanya pendengaran ini. Oh, hujan! Bergetar jualah batin ini dibuatnya. Sejuk angin berdesir sendu. Melambungkan angan kelam yang menyayat jiwa.
Bertumpah-ruah pula tetes air mata langit malam. Pun lantunan “Sungguh” nan berputar lagi, lagi dan lagi. Sungguh tak disangkanya olehku akan sakit yang datang lagi rupanya. Umpama susu nan dibalas air tuba, dia pun pergi jua ujungnya.
Mengapa harus di masa itu? Di kala bahagia sudah memupuk dalam asa. Sudah jua aku memilih akan dia, bukannya engkau. Namun dia, bukan aku yang terpatri di hatinya.
Menyedihkan aku ini. Hatiku berteriak parau kala perginya dia, berpanggilkan engkau nun tak tahu di mana. Percuma. Lambat sudah aku menyadarinya. Tak dijumpa lagi rupanya akanku yang membekas dalam relung hatimu.
Lagi-lagi terempas sudah hatiku. Jatuh aku ke lubang hitam tak bertuan. Dalam … dalam sekali. Sungguh begitu dalam. Tak berujung rasanya, sakitnya, sesaknya, semuanya!
Oh, biarkan aku mengenang akan kau lagi kali ini. Berjanji aku pada bayang sosokmu. Inilah yang terakhir. Percayakan jualah pada rintihanku ini. Pastilah ini kali terakhir aku mengenang akan kau!
Alunan tembang mencapai titik ujungnya. Benar-benar akan berakhir. Pun bayang sosokmu perlahan pudar. Senyuman itu, keindahan itu, tak ada lagi kurasa pilu melihatnya. Pudar.
Tenang rasaku. Saat kenangan indah nan menyesakkan itu tersisa hanya secuil lagi. Terkikis amat pelan, perlahan-lahan hingga hilang jualah jadinya.
Senang rasaku. Tahu akan engkau yang sudah bertemu bahagia. Pun akan dia yang tak kalah berbahagia. Tak ada lagi akanku yang mengenang engkau dan dirinya. Semoga di satu hari nanti … aku jua kan berjumpa bahagia.[]