Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Horor
Nyai Sendang Larangan
1
Suka
83
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Malam merayap pelan, membungkus hutan di sekitar sendang dalam kegelapan yang pekat. Angin berembus lirih, membawa aroma tanah lembap dan gemerisik daun kering yang bergesekan. Air sendang tampak hitam pekat, nyaris seperti cermin yang menelan cahaya bulan.

Ningrum berdiri di tepi sendang, menggigit bibirnya. Di dalam kepalanya, suara peringatan orang-orang desa terus terngiang.

"Jangan berenang di Sendang Larangan saat malam Jumat. Nyai di dalamnya tidak suka terganggu."

Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Seumur hidupnya, dia selalu menolak percaya pada takhayul. Jika mitos itu benar, buktikan. Jika tidak, dia bisa menertawakan ketakutan orang-orang selama ini.

Ningrum melepas sandal dan merendam kakinya ke dalam air. Dingin. Terlalu dingin untuk ukuran air sendang biasa. Dia tidak peduli. Dengan satu tarikan napas, dia melangkah masuk dan membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan.

Air membungkusnya seperti jaring laba-laba yang halus, tetapi sangat menyesakkan.

Ningrum mengambang sejenak, menatap langit. Awan tipis bergerak, menutupi bulan. Hening. Tidak ada suara jangkrik, tidak ada gemerisik dedaunan. Seolah dunia menahan napas.

Kemudian, sesuatu menyentuh kakinya.

Ningrum tersentak. Dia mengayunkan kakinya untuk menyingkirkan apa pun yang menyentuhnya. Mungkin ikan. Atau mungkin hanya ranting yang mengapung.

Namun, saat dia bersiap berenang ke tepi, sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.

Dingin. Licin. Kuat.

Tarikan pertama membuatnya terlonjak panik.

Tarikan kedua membuat jantungnya berdegup tidak karuan.

Tarikan ketiga menyeretnya ke bawah.

Ningrum menjerit, tetapi suaranya tenggelam bersama dirinya. Air hitam menelan tubuhnya, menyusup ke dalam hidung dan mulutnya. Dia meronta, mengayunkan tangannya ke mana-mana. Namun, semakin dia berusaha melepaskan diri, semakin kuat cengkeraman itu.

Di tengah kepanikan, matanya menangkap sesuatu.

Di dalam air yang pekat, sesosok perempuan mengambang dengan anggun yang menyeramkan. Sosok itu mengenakan kebaya beludru hitam, sulamannya samar terlihat di bawah remang bulan yang tertutup awan. Kain jariknya melayang-layang dalam air, berkibar seperti kabut yang tak berbentuk.

Rambutnya panjang, hitam pekat, terurai liar dan melayang seperti akar yang mencari mangsa. Wajahnya pucat kebiruan, seolah darah telah lama berhenti mengalir di tubuhnya. Matanya kosong berwarna hitam legam, tanpa cahaya, tanpa kehidupan.

Di bibirnya terukir senyum. Menampakkan deretan gigi yang tampak lebih panjang dari seharusnya, menguning seperti tulang yang telah lama terendam.

Dari sela-sela bibirnya yang tersenyum, suara lirih terdengar, seperti bisikan dari dasar sendang yang kelam.

“Ningrum…”

Bukan suara yang terdengar lewat telinga. Suara itu bergema langsung di dalam kepalanya, seperti bisikan ribuan suara yang berbicara bersamaan.

Ningrum mencoba menendang, tetapi tubuhnya semakin dalam terseret. Air semakin dingin. Penglihatannya mulai kabur. Nafasnya habis.

Seketika semuanya menjadi gelap.

Ningrum tersentak bangun dengan napas memburu.

Dia terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Pakaian yang melekat di tubuhnya basah kuyup, pasir dan lumpur menempel di telapak tangannya.

Bagaimana dia bisa ada di tepi sendang lagi?

Ningrum mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari siapa pun yang mungkin telah menolongnya. Namun, hutan sunyi. Tidak ada siapa-siapa. Hanya gemerisik dedaunan yang berayun tertiup angin.

Dengan kaki gemetar, dia bangkit dan berlari pulang, tidak berani menoleh ke belakang.

Malam itu, teror baru saja dimulai.

Pukul dua dini hari, Ningrum terbangun dengan dada naik turun.

Kamarnya sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar lambat. Namun, ada sesuatu yang aneh.

Udara terasa lebih lembap. Lebih dingin. Kemudian, dia mendengarnya.

"Ningrum…”

Bisikan itu terdengar pelan. Dekat.

Ningrum menegang. Matanya bergerak gelisah ke setiap sudut kamar. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada siapa-siapa, kan?

Perlahan, dia menarik selimutnya hingga menutupi tubuhnya. Jantungnya berdebar tak karuan.

"Ningrum… ikut aku…”

Bisikan itu semakin dekat. Perlahan, Ningrum menoleh ke arah jendela. Sosok itu ada di sana.

Di balik kaca jendela, berdiri perempuan yang sama. Rambutnya basah, meneteskan air hingga membentuk genangan kecil di lantai kayu. Tubuhnya pucat, mata hitamnya menatap Ningrum tanpa berkedip. Bibirnya tersenyum lebar.

Ningrum ingin berteriak, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan. Dia membalikkan tubuhnya, memejamkan mata rapat-rapat, berharap ini hanya mimpi.

Bau amis dan anyir mulai memenuhi ruangan. Dia bisa mendengar sesuatu menetes di lantai semakin dekat.

Hari demi hari berlalu, tetapi bayangan itu tidak pernah pergi.

Ningrum melihatnya di mana-mana.

Di kamar mandi, saat dia menyalakan keran, air yang keluar berubah menjadi hitam dan berbau busuk. Saat dia menoleh, bayangan itu ada di cermin, tersenyum padanya.

Di dapur, saat dia mencuci piring, dia melihat rambut hitam melayang di permukaan air cucian.

Di jalan, saat dia melewati selokan, dia melihat pantulan perempuan itu di air yang keruh.

Setiap kali dia berusaha menghindar, suara bisikan itu semakin jelas.

"Ningrum… waktunya pulang…”

Dan akhirnya, malam Jumat berikutnya tiba.

Ningrum terbangun dengan jantung berdebar kencang.

Ada sesuatu yang basah di tangannya.

Saat ia menoleh, matanya membelalak ketakutan.

Lantainya tergenang air. Air sendang. Di tengah kamar, berdiri sosok itu.

Nyai.

Air menetes dari rambutnya, membentuk pola aneh di lantai. Matanya menatap Ningrum tajam, senyum lebarnya semakin menganga, memperlihatkan deretan giginya.

"Sekarang ikut aku.”

Dalam sekejap, air naik, menelan seluruh tubuh Ningrum. Dia menjerit, berusaha berenang ke permukaan, tetapi tidak ada permukaan. Hanya kegelapan yang pekat. Tangan-tangan dingin yang menariknya semakin dalam.

Esok paginya, kamar Ningrum kosong. Kasurnya dingin. Lantainya basah. Di tepi Sendang Larangan, airnya beriak pelan, seolah seseorang baru saja masuk ke dalamnya. Namun, tidak ada yang keluar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Nyai Sendang Larangan
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Nadia
Artmeza
Flash
Sumi Arwah penasaran
Ismawati
Novel
Bronze
Nicholas: The Tragedy
Stella Yuliani Tse Xie Ting Lian
Flash
Kamuflase Sang Kupu-Kupu
Anita Jun
Novel
Bronze
Rahasia Kematian
Herman Sim
Cerpen
Bronze
Cerita Ratna, Seorang Pengarang, dan Sebuah Novel
Habel Rajavani
Novel
Mengawat Kisikan
heriwidianto
Flash
Besok Ada Yang Mati
Ahmad R. Madani
Novel
Gold
Fantasteen Scary Hot Seat
Mizan Publishing
Flash
Payu Nak Milu Mati
Oktabri
Novel
Bronze
Koma Karmila
Herman Sim
Novel
Komplotan Tidak Takut Hantu
Mohamad Novianto
Flash
Bronze
Sesuatu di bawah Tempat Tidur
D.Agustin
Novel
Bronze
Teror Jam 12 Malam
Maghfira Izani
Rekomendasi
Flash
Nyai Sendang Larangan
Allamanda Cathartica
Flash
Labirin Bawah Tanah
Allamanda Cathartica
Novel
Siluet Kematian
Allamanda Cathartica
Flash
Kasus 99
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Annelise van Dijk
Allamanda Cathartica
Flash
Jangan Percaya Siapa Pun
Allamanda Cathartica
Flash
Tamu Tak Diundang
Allamanda Cathartica
Flash
Bayangan Kasus 99
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Luca Matthijs van der Zee
Allamanda Cathartica
Flash
Kepala di Bawah Tempat Tidur
Allamanda Cathartica
Flash
Refleksi Terakhir
Allamanda Cathartica
Flash
Sandiwara Berdarah
Allamanda Cathartica
Flash
Sesajen
Allamanda Cathartica