Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dika berdiri di depan pohon randu tua yang menjulang tinggi di tengah hutan kecil di pinggiran desa. Udara malam terasa berat, angin berembus pelan membawa aroma tanah basah bercampur dengan sesuatu yang anyir. Cahaya bulan yang temaram memantulkan bayangan pohon yang meliuk seperti tangan-tangan yang siap mencengkeram. Di tangannya, dia menggenggam baskom berisi sesajen, ada nasi, ayam panggang, dan kemenyan yang masih mengepul, menguar wangi khas yang menusuk hidung.
“Kamu yakin mau melakukan ini?” tanya Rendi, sahabatnya, dengan suara nyaris berbisik. Dia melirik gelisah ke sekitar, seperti takut sesuatu akan muncul dari kegelapan.
Dika mendengus. Tanpa ragu, dia menumpahkan isi baskom itu ke tanah. Nasi dan ayam berserakan, kemenyan jatuh dengan bara yang hampir padam. “Aku nggak percaya hal beginian,” katanya acuh tak acuh. “Kalau benar ada yang marah, biar saja.”
Rendi menelan ludah, suara kecemasan terdengar jelas. “Dika… warga desa selalu memberikan sesajen di sini. Bukan tanpa alasan. Mereka bilang kalau nggak—”
“Sudah, cukup,” potong Dika dengan nada tajam. “Aku capek sama mitos bodoh kayak gini. Kita sudah hidup di zaman modern, Ren. Nggak ada hantu, jin, atau apapun itu. Hanya orang-orang bodoh yang masih percaya takhayul.”
Mendadak, hutan menjadi sunyi. Terlalu sunyi. Tidak ada suara jangkrik atau desiran daun. Bahkan angin pun seolah berhenti berembus.
Rendi merasakan bulu kuduknya berdiri. Dia melangkah mundur perlahan, mencengkram lengan Dika. “Kita pergi sekarang.”
Dika menghela napas panjang, merasa kesal dengan kepanikan sahabatnya. Dia berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, baru saja dia melangkah, sesuatu yang aneh terjadi.
Langkahnya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menahan tubuhnya.
“Dik…” suara Rendi bergetar. “Lihat ke belakang.”
Jantung Dika berdegup lebih kencang. Perlahan, dengan gerakan kaku, dia menoleh.
Sesajen yang tadi dia buang telah kembali ke tempatnya. Utuh. Rapi. Seolah-olah tidak pernah disentuh.
Dada Dika terasa sesak. Napasnya tercekat. Dia ingin percaya ini hanya kebetulan, tetapi akal sehatnya mulai retak.
Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di bawah pohon randu, berdiri sesosok makhluk tinggi kurus, dengan kulit hitam legam dan wajah yang mengerikan.
Matanya kosong, hitam pekat tanpa bola mata. Mulutnya tersenyum lebar, terlalu lebar, hingga membelah pipinya dan memperlihatkan deretan gigi-gigi runcing yang meneteskan cairan hitam pekat.
Dika ingin lari. Tapi kakinya terpaku di tanah.
Makhluk itu melangkah mendekat, gerakannya lambat. Kakinya seolah melayang di atas tanah, tidak menimbulkan suara sedikit pun.
Dari mulutnya, keluar bisikan serak yang bergema di udara.
“Kembalikan…”
Seketika, Dika merasakan sesuatu merayap di pergelangan kakinya.
Dia menunduk dan langsung menjerit. Dari dalam tanah, muncul tangan-tangan hitam kurus dengan jari panjang berkuku tajam. Tangan-tangan itu mencengkeram tubuhnya erat, merambat naik ke betis dan paha, menariknya perlahan ke dalam tanah.
“Dika!” Rendi mundur panik, matanya melebar ketakutan.
Dika meronta, berusaha melepaskan diri, tetapi semakin dia bergerak, semakin kuat genggaman itu mencengkeramnya. Rasa dingin menjalar ke sekujur tubuhnya, seperti sesuatu dari dunia lain mulai menyelimutinya.
Makhluk itu kini berdiri tepat di depannya. Begitu dekat hingga Dika bisa mencium bau busuk yang keluar dari mulutnya.
Dika ingin berteriak. Sebelum suara keluar, mulut makhluk itu menganga lebar. Lebih lebar dari yang seharusnya mungkin. Begitu lebar hingga hanya kegelapan pekat yang terlihat di dalamnya.
Rendi menjerit ketika Dika tersedot masuk ke dalam kegelapan itu.
Dalam sekejap, dia menghilang.
Hutan kembali sunyi.
Rendi masih berdiri di tempatnya, tubuhnya gemetar hebat. Napasnya tersengal. Dika sudah tidak ada.
Yang tersisa hanya sesajen yang masih utuh di bawah pohon randu.
Bau anyir yang semakin tajam menusuk hidung.