Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setiap malam, Laras meringkuk di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan napas tertahan. Ada sesuatu di bawah ranjangnya. Bukan sekadar imajinasi atau perasaan semata. Dia bisa merasakan tatapan dingin itu menembus kasur, menyelinap ke pori-porinya, merayapi kulitnya hingga bulu kuduknya berdiri tegak.
"Bu… ada kepala di bawah tempat tidur," bisiknya suatu malam dengan suara bergetar.
Ibunya yang tengah sibuk melipat baju di sudut kamar, hanya menghela napas panjang. "Laras, kamu sudah besar. Jangan suka menakut-nakuti diri sendiri. Itu cuma bayangan," ujarnya tanpa menoleh.
Laras menggeleng kuat. "Tapi aku benar-benar melihatnya, Bu! Kepalanya botak, matanya hitam kosong, dan… dan senyumnya lebar sekali. Seperti… seperti nggak wajar!"
Ibunya mendesah, meletakkan tumpukan pakaian lalu berjalan ke sisi tempat tidur Laras. Dengan enggan, dia membungkuk, berusaha meyakinkan anaknya bahwa tidak ada apa-apa di sana.
"Tidak ada siapa-si—"
Suaranya terputus tiba-tiba.
Laras mendengar bunyi napas ibunya tercekat. Mata perempuan itu melebar ketakutan saat menatap ke bawah ranjang. Perlahan dengan gerakan kaku, dia menarik kepalanya kembali ke atas. Wajahnya pucat pasi, bibirnya bergetar hebat seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar.
"Bu? Ada apa?" tanya Laras dengan suara lirih, rasa takut mulai menjalar di hatinya.
Ibunya tidak menjawab. Dia berdiri kaku beberapa saat lalu tiba-tiba menarik tangan Laras dengan kasar. "Kita harus pergi dari sini. Sekarang!" bisiknya dengan nada panik.
Laras kebingungan. Dia hanya menuruti ibunya. Mereka berlari keluar kamar, melewati ruang tamu yang gelap, menuju pintu depan. Ibunya dengan tangan gemetar mencoba memutar kunci. Namun, sebelum sempat membukanya—
"Mau ke mana?"
Suara berat dan datar itu bergema di dalam rumah.
Laras menoleh dengan tubuh bergetar.
Di koridor sempit yang mengarah ke kamar tidurnya, seseorang berdiri tegak. Itu ayahnya. Atau… seseorang yang mirip dengan ayahnya.
Namun, ada yang salah.
Senyumnya terlalu lebar, hampir tidak manusiawi.
Matanya terlalu kosong, seakan hanya rongga gelap yang menganga.
"Bu… itu bukan Ayah…" bisik Laras, suaranya nyaris tidak terdengar.
Ibunya semakin mempererat genggaman tangannya, tubuhnya bergetar hebat. "Aku tahu…" balasnya lirih, ketakutan tergambar jelas di matanya.
Makhluk yang menyerupai ayah Laras itu mulai melangkah. Gerakannya aneh, kaku, seperti tubuh yang baru belajar berjalan. Setiap langkahnya bergema di dalam rumah yang sunyi.
"Kenapa buru-buru pergi?" tanyanya lagi, suaranya terdengar mengerikan. Bukan hanya satu suara, tetapi seperti ada dua suara yang berbicara bersamaan, tumpang tindih dan menyatu secara tidak wajar.
Laras mundur selangkah, jantungnya berdetak kencang.
Ibunya masih mencoba membuka pintu. Kunci tetap tidak mau berputar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"Tinggal di sini saja…" makhluk itu merentangkan kedua tangannya. "Biar kita selalu bersama… selamanya…"
Lalu, sesuatu mulai merayap keluar dari balik punggungnya.
Laras ingin menjerit, tetapi suaranya tersangkut di tenggorokan.
Itu kepala.
Kepala botak dengan mata hitam kosong dan senyum lebar yang mengerikan. Kepalanya menggantung di punggung makhluk itu, menatap lurus ke arah Laras dan ibunya, seakan menikmati ketakutan mereka.
Saat itu juga, pintu tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.
Tanpa pikir panjang, ibunya menarik Laras keluar rumah, menutup pintu dengan keras lalu menguncinya rapat-rapat. Mereka berlari menuju rumah tetangga, tidak peduli udara malam yang dingin menusuk kulit.
Esok paginya, polisi datang.
Beberapa petugas bersenjata memasuki rumah dengan hati-hati, menyisir setiap ruangan, membuka setiap lemari dan sudut tersembunyi. Rumah itu sunyi. Hawa dingin yang mencekam seolah masih tersisa di dalamnya. Hingga akhirnya, mereka sampai di kamar Laras.
Saat seorang petugas membungkuk dan mengangkat seprai, sesuatu yang mengerikan terlihat di bawah tempat tidur.
Di sana, tersembunyi jasad ayahnya.
Lehernya terputus, darah yang mengering membentuk pola mengerikan di lantai kayu. Matanya membelalak, seolah menyimpan sisa ketakutan terakhir sebelum nyawanya direnggut. Yang paling mencengangkan adalah senyum di wajahnya. Sebuah senyum kaku, menganga lebar, seolah dipahat dengan paksa dalam keabadian.