Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Thriller
Kasus 99
3
Suka
17
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Darah masih menggenang di lantai ketika Detektif Bayu tiba di TKP. Bau anyir menusuk hidungnya, bercampur dengan kelembapan ruangan sempit itu. Korban kali ini seorang pria, tergeletak di atas meja makan dengan leher tersayat hingga nyaris putus. Di depannya, lilin-lilin kecil masih menyala, seperti persiapan makan malam yang tidak pernah terjadi.

"Korban bernama Adi Prasetyo," kata Sita, forensik lapangan, sambil membolak-balik catatannya. "Pengusaha. Tidak ada tanda perampokan. Sama seperti korban sebelumnya."

Bayu memejamkan mata sejenak. Ini pembunuhan kesembilan dalam dua bulan terakhir. Semua dilakukan dengan cara yang sama. Leher tersayat bersih, tanpa jejak perlawanan. Seakan korban dengan sukarela menyerahkan diri kepada pembunuhnya.

Ada sesuatu yang mengganjal.

Tatapannya tertuju pada sebuah amplop di meja, bersisian dengan piring korban. Tinta merah menyebut namanya.

Untuk Detektif Bayu.

Tangannya terasa dingin ketika dia membuka amplop itu. Di dalamnya, hanya selembar foto. Dia memicingkan mata.

Foto itu diambil dua puluh tahun lalu. Foto keluarganya.

Jantungnya mencelos.

Di sudut foto, ada lingkaran merah yang mengelilingi wajah seorang anak laki-laki. Anak itu adalah Bayu kecil, sekitar usia tujuh tahun.

Dia merasakan dunia di sekelilingnya berputar. ‘Siapa yang melakukan ini?’ pikirnya.

Di kantor kepolisian, Bayu menatap papan bukti kasus dengan frustrasi. Semua korban memiliki latar belakang berbeda, ada yang pengusaha, dokter, bahkan seorang seniman jalanan. Tidak ada pola yang jelas. Satu-satunya kesamaan hanyalah metode pembunuhan dan catatan yang ditinggalkan untuknya.

Namun, kini semuanya terasa lebih personal.

Bayu mengeluarkan foto dari amplop dan menatapnya lekat-lekat. Wajah-wajah yang ada di sana… ayahnya, ibunya, dan dirinya sendiri.

Satu hal yang baru dia sadari bahwa di belakang mereka ada seseorang yang tampak mengintip dari balik pagar rumah.

Bayangan buram.

Bayu meraih telepon. "Sita, aku butuh sesuatu. Bisa kau cari tahu siapa saja korban yang pernah tinggal di daerah rumahku waktu kecil?"

Di ujung sana, Sita terdengar berpikir. "Itu… agak tidak biasa. Tapi aku bisa coba cari."

"Lakukan. Ini penting."

Malam itu, jawaban datang lebih cepat dari dugaan.

"Aku menemukan sesuatu yang menarik," suara Sita terdengar ragu. "Dua dari korban, Adi Prasetyo dan Ratna Wijaya, pernah tinggal di dekat rumah keluargamu sekitar tahun 90-an."

Bayu mencengkeram ponselnya erat. Dadanya terasa sesak. "Siapa lagi?"

"Aku masih menggali, tapi kupikir ini bukan kebetulan."

Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya.

Matanya menyipit. Sudah hampir tengah malam.

Bayu menaruh ponsel di meja, menggeser laci dan meraih pistolnya sebelum berjalan ke pintu. Begitu dia membukanya, tidak ada siapa pun. Hanya ada sebuah amplop di lantai.

Jantungnya berdebar kencang saat dia meraihnya. Di dalamnya, ada satu foto lagi. Kali ini, foto itu jauh lebih mengerikan. Itu adalah dirinya.

Seseorang telah masuk ke rumahnya.

Tangannya menegang di pelatuk pistol. Bayu menyapu pandang ke luar, mencari tanda-tanda kehadiran orang lain. Namun, koridor sepi, hanya suara detak jam yang terdengar menusuk sunyi.

Dia menutup pintu, mengunci semua kunci pengaman dan segera menelepon Sita.

"Kirim tim ke apartemenku. Sekarang."

Dalam waktu sepuluh menit, tim kepolisian memenuhi tempat itu. Mereka menyisir setiap sudut, mencari jejak masuk paksa, sidik jari, atau rekaman CCTV yang bisa memberi petunjuk.

Tidak ada.

Seolah-olah sang pembunuh adalah bayangan yang bisa keluar masuk sesuka hati.

Namun, ketika Sita mengambil foto itu dan meneliti lebih dekat, wajahnya berubah pucat.

"Bayu… lihat ini."

Sita menyerahkan foto itu padanya.

Untuk pertama kalinya, Bayu menyadari detail lain dalam gambar itu. Di sudut ranjangnya, ada sosok yang nyaris tidak terlihat dalam kegelapan. Seorang pria berdiri di sana, menatapnya saat ia tidur.

Dia tidak pernah sendirian di ruangan ini.

Tubuhnya membeku. Dia mengenal wajah itu.

Sita menatapnya penuh kebingungan. "Siapa dia?"

Bayu membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Seluruh masa kecilnya berputar seperti film rusak di dalam kepalanya.

Kenangan yang terkubur dalam.

Suatu malam, ketika dia berusia tujuh tahun, ada seorang anak lelaki yang tinggal di rumah sebelah. Seorang anak yang selalu sendirian, pendiam, dan aneh.

Malam itu, dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya.

Anak itu… dia membunuh seseorang.

Bayu mengadu pada ayahnya dan tidak lama setelahnya, anak itu menghilang. Tidak ada yang pernah membicarakannya lagi. Seakan-akan ia tidak pernah ada. Namun, sekarang dia kembali. Dia memburu semua orang yang pernah mengenalnya.

Satu hal yang masih belum jelas, mengapa?

Sebuah suara berdering di dalam kantong jasnya. Ponselnya. Nomor tidak dikenal. Tangannya sedikit gemetar saat dia mengangkatnya.

Hening.

Lalu, suara yang begitu familiar menyapa.

"Lama tidak bertemu, Bayu."

Napasnya tercekat.

Itu dia.

"Apa yang kau inginkan?" suara Bayu bergetar.

Tawa kecil terdengar dari seberang. "Kau tahu, aku sangat menikmati permainan ini. Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau bisa mengejarku."

Jari Bayu mengerat di ponselnya. "Hentikan ini! Aku akan menemukanmu."

Hening beberapa detik. Lalu, suara pelan itu kembali, lebih dingin dari sebelumnya.

"Kau mungkin bisa mengejarku, Bayu… tapi apakah kau cukup cepat?"

Terdengar bunyi bip. Pesan masuk. Bayu buru-buru membukanya.

Itu adalah foto lain.

Seseorang terikat di kursi, wajahnya berlumuran darah.

Sita mendekat, melihat layar ponselnya lalu terkejut. "Astaga… Itu Pak Hadi!"

Kepala Bayu berdenyut hebat.

Pak Hadi—guru SD mereka. Orang berikutnya dalam daftar pembunuhan. Waktu mereka semakin menipis. Sang pembunuh masih selangkah lebih maju.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Thriller
Flash
Kasus 99
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Necromancer
Kemal Ahmed
Flash
Cermin
Safira Rahma Putri
Skrip Film
BEHIND BLUE HOME
Alviona Himayatunisa
Novel
Bronze
Innocent
ArinaAsh
Cerpen
Empat Air Mata yang Jatuh Bersama Gerimis
Fazil Abdullah
Skrip Film
Jakarta Killing Ground - Script
Irza Fauzan
Novel
The World of Crime : Fate
Arzen Rui
Novel
Bronze
Serpihan Kaca
Rokho W
Flash
BULAN
Rena Miya
Cerpen
Andai Saja Kamu Cerita
Diano Eko
Cerpen
BOM
Rian Widagdo
Skrip Film
BOSS: 'Psyco Or Not' [SKRIP FILM]
Priki~
Flash
DUNIA YANG SAMA
Deswara Syanjaya
Novel
JEBAKAN MAYA
YUYUN BUDIAMAN
Rekomendasi
Flash
Kasus 99
Allamanda Cathartica
Flash
Sandiwara Berdarah
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Luca Matthijs van der Zee
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Annelise van Dijk
Allamanda Cathartica
Flash
Labirin Bawah Tanah
Allamanda Cathartica
Flash
Refleksi Terakhir
Allamanda Cathartica
Flash
Tamu Tak Diundang
Allamanda Cathartica
Flash
Jangan Percaya Siapa Pun
Allamanda Cathartica
Novel
Siluet Kematian
Allamanda Cathartica