Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Vila terpencil di puncak bukit itu adalah tempat pelarian sempurna bagi Clara dan Eric. Mereka membutuhkan waktu untuk menghindari hiruk-pikuk kota dan meresapi ketenangan setelah tahun-tahun penuh tekanan. Hanya mereka berdua, pemandangan alam yang indah, dan udara segar yang mengelilingi vila kayu yang sederhana.
Namun, sesuatu yang tidak biasa mulai terjadi setelah beberapa malam di sana.
Awalnya, itu hanya sebuah perasaan. Clara sering merasakan mata yang mengawasi dari kejauhan, sebuah kegelisahan yang menyelinap ke dalam hatinya saat malam mulai jatuh. Mungkin itu hanya khayalannya. Atau mungkin, ini hanya ketegangan yang timbul karena kesendirian mereka di tempat yang sepi. Eric pun tidak terlihat khawatir, meskipun dia juga merasakan adanya sesuatu yang aneh.
Pada malam keempat, Clara terbangun di tengah malam. Suara angin yang berdesir di luar dan derak lantai kayu yang terjadi sesekali tidak bisa mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantuinya. Dia membuka matanya, mencoba menyesuaikan diri dengan kegelapan kamar. Di sana, di sudut jendela, seberkas cahaya rembulan memancar masuk. Namun, di luar sana terlihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar.
Seseorang berdiri di depan vila.
Clara menatapnya dengan ngeri. Siluet seseorang itu tampak tinggi, mengenakan jaket hitam yang agak mengkilap. Berdiri diam di luar, hampir seperti patung, dengan pandangan yang tertuju lurus ke arah jendela tempat dia berdiri.
Clara menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan dirinya. “Mungkin cuma orang lewat,” pikirnya, meskipun dia tahu betul bahwa jalan di sekitar vila ini tidak ramai.
Dengan hati-hati, dia beralih melihat Eric yang terbaring di sampingnya. Tidurnya lelap, tubuhnya tidak bergerak sedikit pun. Clara ingin membangunkannya, tetapi ketakutan yang lebih dalam merasuki hatinya. Dia tidak ingin Eric merasa cemas.
Clara berbaring kembali, tetap terjaga sepanjang malam. Setiap kali dia merasa mengantuk, matanya kembali terbelalak melihat sosok itu yang masih berdiri di luar. Tidak bergerak. Tidak bernapas.
Pagi datang, kegelisahan Clara tidak kunjung hilang. Di pagi hari, Eric tampak tidak mengerti mengapa istrinya terlihat begitu gelisah. Mereka sarapan di meja kayu besar, duduk berhadapan dengan pemandangan bukit yang masih diselimuti kabut.
“Ada apa, sayang?” tanya Eric, mencium rambutnya lembut.
Clara memandang suaminya dengan tatapan ragu. “Aku... aku merasa ada yang mengawasi kita, Eric. Malam tadi... ada seseorang di luar, berdiri lama di depan vila.”
Eric tertawa ringan, meskipun Clara melihat raut wajahnya yang sedikit berubah. “Mungkin hanya orang yang kebetulan lewat, Clara. Jangan terlalu banyak berpikir.”
Namun, Clara tetap tidak bisa tenang. Sepanjang hari, dia merasa mata-mata itu mengikuti setiap gerakannya, melihatnya dari balik jendela, dari bayang-bayang di antara pepohonan. Ada ketegangan yang semakin tebal. Saat malam tiba, dia kembali terjaga, kali ini lebih waspada. Ada suara langkah kaki yang terdengar samar-samar dari luar vila. Langkah itu terlalu teratur, terlalu sengaja.
Tiba-tiba, suara pintu depan yang terbuka perlahan membuat Clara melompat ketakutan. Dia meraih tangan Eric yang masih terlelap.
"Eric... Eric, bangun! Seseorang masuk ke dalam!"
Eric terbangun dalam kebingungannya. “Apa yang kau bicarakan? Tidak ada siapa-siapa.”
Clara mendorongnya untuk berdiri, tetapi Eric hanya memandangnya dengan ekspresi bingung, seolah semua ini adalah mimpi buruk yang tidak bisa dia pahami.
"Clara, tenanglah. Kita hanya berdua di sini. Tidak ada yang bisa masuk tanpa kita dengar."
Clara memaksa Eric untuk mengecek setiap ruangan. Tidak ada yang terlihat tidak beres, hanya vila yang sepi dengan lampu-lampu yang redup. Namun, saat mereka kembali ke kamar tidur, Clara melihatnya. Sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di atas meja samping tempat tidur mereka, ada sebuah catatan. Dengan tulisan tangan yang dikenalinya.
Aku melihat kalian. Malam ini akan menjadi terakhir.
Tangan Clara gemetar saat membaca kata-kata itu. Eric meraih catatan itu, memperhatikan setiap huruf dengan seksama. "Ini bukan tulisan kita," ujar Eric, suara penuh ketegangan.
"Siapa yang menulis ini, Eric?" Clara berbisik, hampir tidak bisa menahan tangis. "Siapa yang bisa tahu kita ada di sini?"
Suaranya terhenti saat dia menoleh, melihat pintu kamar yang sedikit terbuka. Dia tahu sesuatu yang lebih mengerikan lagi. Sebelum mereka masuk ke kamar, pintu itu tertutup rapat. Sekarang, pintu itu kembali terbuka tanpa mereka sadari. Mereka bukan sendirian.
Dengan napas tertahan, Clara berjalan perlahan ke pintu dan mengintip keluar. Di luar, di ujung lorong, sosok itu berdiri di sana. Pria itu mengenakan jaket hitam yang sama. Wajahnya tidak terlihat, tetapi tubuhnya tegap dan diam.
Clara menelan ludahnya. “Dia... dia yang menulis itu,” katanya, suaranya hampir tak terdengar.
Eric menggenggam pisau dapur yang ada di dekat meja makan. “Kita harus keluar dari sini,” katanya dengan tegas. Saat mereka hendak bergerak, suara berderak datang dari belakang mereka.
Ketika mereka berbalik, sosok itu sudah berdiri tepat di depan mereka. Wajahnya kini terbuka dan dengan mata kosong yang menatap mereka. Pria itu berkata, “Aku tak ingin membunuh kalian... tapi kalian tahu terlalu banyak.”
Tiba-tiba, semuanya terasa gelap.
Di luar vila, pagi hari datang begitu sunyi. Polisi yang tiba untuk melakukan penyelidikan hanya menemukan dua mayat tergeletak di lantai, mata mereka terbuka lebar dalam ketakutan yang abadi.
Tapi catatan yang mereka temukan di meja samping tempat tidur terlalu mengerikan untuk diabaikan.
"Jika kalian membaca ini, berarti mereka sudah berhasil," tertulis di sana, dengan tulisan tangan yang sama, namun kali ini lebih jelas:
Aku yang mengawasi kalian.
Namun, saat mereka memeriksa catatan itu lebih dekat, ada satu hal yang sangat aneh. Catatan itu terbuat dari kertas yang sama dengan kertas laporan polisi yang sudah ada di sana sejak awal.