Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Darah masih menggenang di lantai ketika polisi tiba. Bau besi menusuk hidung, bercampur dengan aroma pengap ruangan yang tertutup. Di tengah kamar yang remang-remang, tubuh seorang pria tergeletak tanpa nyawa. Matanya terbuka lebar, membeku dalam ekspresi teror yang mengerikan. Pisau besar masih tertancap di dadanya, darah merembes dari luka yang begitu dalam.
Inspektur Rahmat memasuki ruangan dengan langkah mantap. Matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencerna setiap detail.
“Ada saksi?” tanyanya, suaranya datar.
Seorang petugas melangkah maju dan menunjuk ke arah sudut ruangan. “Ya, Pak. Perempuan itu.”
Di sudut kamar, seorang perempuan muda duduk meringkuk. Tubuhnya gemetar hebat, wajahnya pucat pasi, dan matanya menatap kosong ke depan. Dia tampak seperti seseorang yang baru saja melihat mimpi buruk paling mengerikan dalam hidupnya.
Rahmat mendekat perlahan. “Nama Anda?”
Perempuan itu menoleh, bibirnya bergetar. “A-aku... Rina,” suaranya serak, hampir tidak terdengar.
Rahmat berjongkok di hadapannya. “Ceritakan apa yang terjadi, Rina.”
Rina menelan ludah dengan susah payah. Tangannya meremas ujung gaunnya yang sedikit berlumuran darah. “Saya... saya sedang tidur di kamar sebelah. Lalu saya terbangun karena suara teriakan. Saya langsung berlari ke sini dan... dan melihat suami saya sudah tergeletak seperti ini...”
“Apakah Anda melihat seseorang di ruangan ini?”
Rina menggeleng cepat. “Tidak... Saya hanya menemukan dia sudah seperti ini... Saya tidak tahu siapa yang melakukannya!”
Rahmat mengamati wajahnya dengan saksama. “Di mana Anda sebelum kejadian?”
“Di kamar saya,” jawab Rina dengan suara nyaris berbisik.
“Apakah kamar Anda terkunci?”
Rina mengangguk. “Ya.”
“Dari dalam?”
Perempuan itu kembali mengangguk.
Rahmat mengalihkan pandangan ke jendela. Tidak ada tanda-tanda pintu atau jendela yang terbuka secara paksa. Dia lalu kembali menatap tubuh korban. Tidak ada tanda perlawanan, tidak ada luka lain selain tusukan bersih di dadanya. Semua terlalu rapi, terlalu sempurna. Seolah-olah korban sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk melawan.
Saat itulah matanya menangkap sesuatu. Ada bercak darah kecil di ujung gaun Rina. Hampir tidak terlihat, tetapi cukup bagi mata terlatih seperti miliknya untuk menyadari kejanggalan.
Dia menoleh, menatap Rina dalam-dalam. “Anda yakin tidak melihat siapa pun?”
Rina menelan ludah, seolah mencoba menghindari tatapannya. “Ya...”
Rahmat tersenyum tipis. Dia berdiri, menatapnya dengan tatapan yang lebih tajam. “Saya rasa kita berdua tahu bahwa Anda sedang berbohong, Rina.”
Rina terdiam. Jemarinya mencengkeram erat kain gaunnya. “Apa maksud Anda?”
Rahmat melangkah mendekatinya perlahan. “Suami Anda tidak mati karena serangan orang asing. Tidak ada jejak paksa masuk, tidak ada sidik jari lain selain milik Anda di gagang pisau.”
Wajah Rina semakin pucat.
“Dan darah di gaun Anda...” Rahmat menunjuk bercak samar itu. “Letaknya terlalu dekat dengan luka korban. Itu bukan darah yang terpercik secara kebetulan. Itu darah dari tangan seseorang yang baru saja menusukkan pisau.”
Seketika, Rina tiba-tiba tersenyum. Bukan senyum malu, bukan juga senyum lega, melainkan senyum yang membuat bulu kuduk Rahmat berdiri.
“Jadi Anda tahu?” bisiknya, suaranya berubah lebih dingin, lebih tenang.
Rahmat tidak menjawab, hanya menatapnya.
Rina tertawa kecil lalu menoleh ke arah tubuh suaminya yang tidak bergerak. “Dia pantas mendapatkannya, Pak Inspektur.”
“Kenapa?” Rahmat bertanya dengan suara tenang, meskipun dia sudah tahu jawabannya.
Rina menatapnya, matanya kini penuh kebencian. “Karena dia sudah mati sejak dulu. Aku hanya memastikan dunia tahu bahwa dia benar-benar pergi.”
Rahmat menghela napas panjang. “Rina, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan.”
Namun, reaksi Rina sungguh tidak terduga. Bukannya panik atau menangis, dia justru tersenyum miring, seolah segalanya telah berjalan sesuai rencananya. Dengan tenang, dia mengangkat tangannya, membiarkan petugas memborgolnya tanpa perlawanan.
Saat klik borgol terdengar, Rina mendekatkan wajahnya ke telinga Rahmat dan berbisik, “Hati-hati, Inspektur. Sandiwara ini belum selesai.”