Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit malam menutupi kota dengan kegelapan pekat, hanya sesekali tersibak cahaya putih dari kilatan petir yang jauh. Hujan rintik turun perlahan, menimbulkan suara samar di jendela apartemen kecil milik Damar. Dia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri dengan wajah yang tampak pucat. Keringat dingin membasahi pelipisnya, meskipun udara di ruangan terasa dingin. Ada sesuatu yang salah. Sejak bangun tidur tadi, perasaan ganjil itu terus menghantuinya, seperti ada sesuatu yang berubah.
Cermin di hadapannya berkabut tipis, padahal dia tidak mandi air panas. Dengan ragu, dia mengangkat tangan dan mengusap permukaannya. Begitu uap itu hilang, napasnya tercekat.
Refleksi di dalam cermin tidak mengikuti gerakannya.
Damar mundur selangkah, tetapi sosok dalam cermin tetap diam, menatapnya dengan mata kosong yang terasa lebih gelap dari biasanya. Tidak ada ekspresi. Tidak ada kedipan. Hanya tatapan hampa yang semakin menekan nyalinya. Udara di ruangan mendadak terasa membeku. Dengan tangan gemetar, dia mengangkat tangan kanannya.
Sosok di dalam cermin mengangkat tangan kirinya.
"Tidak mungkin..." suaranya hanya berupa bisikan.
Dia menggeleng, mencoba menepis rasa takut yang merayap di setiap pori-porinya. Mungkin ini hanya ilusi. Mungkin dia terlalu lelah. Namun, sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, bayangannya di dalam cermin tersenyum—senyum yang bukan miliknya. Senyum yang tidak menunjukkan kebahagiaan, melainkan sesuatu yang lebih gelap, lebih jahat.
Damar tersentak, mundur dengan napas memburu. "Siapa... siapa kau?"
Sosok itu tidak menjawab. Alih-alih, dia perlahan mengangkat tangannya ke leher sendiri. Jemarinya mencengkeram kuat di sana lalu mulai menekan. Seketika, Damar merasakan sensasi cekikan yang nyata di tenggorokannya. Napasnya tercekat, paru-parunya seakan menolak bekerja. Dia terbatuk, mencakar lehernya sendiri, mencoba melepaskan tekanan yang semakin kuat.
Refleksi itu menatapnya tanpa belas kasihan, masih tersenyum. Mata hitamnya berkilat dengan kegilaan yang tidak bisa dijelaskan. Dengan suara berbisik yang nyaris tidak terdengar, dia berkata, "Sudah waktunya bertukar tempat."
"Tidak!" Damar berusaha meronta, tetapi tubuhnya terasa lumpuh. Penglihatannya mulai kabur. Cahaya di ruangan seolah meredup. Dia ingin berteriak, tetapi suara yang keluar hanya desahan tidak berdaya.
Kemudian, semuanya menjadi gelap.
Ketika Damar membuka matanya, ia melihat dirinya sendiri. Dia ada di dalam cermin. Dia mencoba bergerak, tetapi tubuhnya tidak merespons. Dia menjerit, tetapi suaranya tidak terdengar—hanya pantulan yang bisa mendengarnya.
Dari luar, sosok yang kini menempati tubuhnya menatapnya dengan seringai puas. Dia merenggangkan tubuh barunya, seolah menikmati kebebasan yang baru dia dapatkan.
"Akhirnya..." gumamnya. "Terima kasih telah memberiku kesempatan."
"Tidak! Kembalikan tubuhku!" Damar menghantam permukaan cermin, tetapi tidak ada yang terjadi. Dia hanya bisa menyaksikan dengan penuh ketakutan saat tubuhnya, yang kini dikendalikan oleh entitas lain, berjalan keluar dari apartemen, melangkah menuju kehidupan yang bukan lagi miliknya.
Di dalam cermin, Damar hanya bisa menatap dengan ketakutan, terperangkap dalam dimensi yang tidak akan pernah bisa dia tinggalkan.
Hari-hari berlalu, tetapi Damar tidak kehilangan harapan. Dia mengamati cermin setiap waktu, mencari cara untuk keluar. Namun, tidak ada yang berubah. Refleksi itu tetap membungkamnya, menampilkan bayangan kehidupan yang dulu dia miliki.
Suatu malam, saat entitas itu kembali ke apartemen, Damar memperhatikan sesuatu yang aneh. Sosok itu berdiri di depan cermin, menatapnya dengan seringai yang mulai pudar. Ada ketidaknyamanan di wajahnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Damar, meskipun dia tahu suaranya tidak akan terdengar.
Entitas itu mengerutkan dahi. "Aku..." Dia berhenti sejenak lalu mendekat. Matanya menatap tajam ke dalam cermin. "Aku tidak merasa nyaman di tubuh ini."
Sebuah ide muncul di kepala Damar. Jika makhluk itu bisa keluar dari cermin dan mengambil tubuhnya, mungkin dia juga bisa merebutnya kembali.
"Kau tidak seharusnya ada di sana," lanjut Damar, suaranya kini lebih mantap. "Kau hanya pantulan. Bayangan tanpa tempat."
Entitas itu tampak ragu. Dia menyentuh dadanya sendiri, seolah merasakan sesuatu yang salah.
"Tidak... aku... aku nyata."
"Tidak," Damar mendesak. "Kau hanya ilusi yang ingin menjadi nyata. Tapi kau tidak bisa. Kau tidak bisa memiliki kehidupanku."
Raut wajah makhluk itu berubah. Keraguan memenuhi matanya. Refleksi Damar di dalam cermin mulai bergetar. Cermin itu beriak seolah menjadi air dan seketika rasa berat menyelimuti tubuh entitas tersebut.
"Tidak! Aku tidak akan kembali!" Makhluk itu berteriak dan berusaha menjauh dari cermin, tetapi semakin dia melawan, semakin tubuhnya terseret ke dalam pantulan.
Dengan satu serangan terakhir, Damar menekan telapak tangannya ke permukaan kaca, membalikkan posisi mereka seperti yang terjadi sebelumnya.
Dia tersentak.
Udara dingin menyambutnya. Dia berada di luar cermin.
Di dalamnya, makhluk itu menatapnya dengan wajah penuh kemarahan dan ketakutan. Dia menghantam permukaan kaca, tetapi tidak bisa keluar. Refleksi itu kini adalah sosok yang terperangkap.
Damar tersenyum, merasakan tubuhnya kembali. Dia mendekat ke cermin dan berbisik, "Terima kasih telah menjaga tubuhku. Tapi ini milikku, sejak awal."
Dia mengambil selimut di dekatnya dan melemparkannya ke cermin, menutupi pantulan yang kini menjerit tanpa suara. Tanpa membuang waktu, dia mengambil palu dari laci. Dengan satu ayunan keras, cermin itu pecah berkeping-keping.
Kini, dia benar-benar bebas.