Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Telepon genggam Adam bergetar di atas meja, mengeluarkan suara dengungan kecil yang memecah keheningan malam. Sebuah email masuk dengan subjek yang langsung membuat darahnya membeku, "Jangan Percaya Siapa Pun."
Pengirimnya: Raka Wirawan.
Adam mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. Tidak mungkin. Raka, sahabat sekaligus rekannya sesama jurnalis investigasi, telah ditemukan tewas seminggu yang lalu. Polisi menyatakan itu kecelakaan. Mobilnya masuk ke jurang dan tubuhnya terbakar hingga tidak bisa dikenali. Namun, jika Raka sudah mati, bagaimana bisa Adam menerima email ini?
Dengan napas memburu, dia mengklik pesan itu.
"Adam, jika kau membaca ini, berarti aku sudah mati. Mereka datang mencariku dan aku yakin kau akan jadi target berikutnya. Pergilah ke tempat biasa. Di sana ada sesuatu yang harus kau lihat. Jangan percaya siapa pun."
Adam menatap layar dengan mata melebar, jantungnya berpacu. Tempat biasa. Itu pasti mengacu pada kafe tua tempat mereka sering bertemu untuk membahas kasus investigasi.
Dia meraih jaketnya dan bergegas keluar dari apartemen. Hujan rintik mulai turun, membuat suasana malam semakin kelam dan mencekam. Di dalam taksi, pikirannya terus berputar. Jika Raka benar-benar dibunuh, berarti kasus yang mereka selidiki jauh lebih besar dan lebih berbahaya dari yang dia bayangkan.
Setibanya di kafe, Adam langsung berjalan ke sudut ruangan, tempat favorit mereka. Dia duduk, berpura-pura memesan kopi, sementara tangannya meraba-raba di bawah meja. Jari-jarinya menyentuh sesuatu. Sebuah flash drive, diselotip ke bagian bawah meja.
Tanpa membuang waktu, dia kembali ke apartemen dan segera mencolokkan flash drive itu ke laptopnya. Folder utama bernama Project Abyss.
Di dalamnya, ada satu berkas video. Dengan tangan gemetar, Adam menekan tombol play.
Layar menampilkan rekaman yang diambil dari sudut gelap. Beberapa pria mengenakan setelan jas berdiri mengelilingi seseorang yang terikat di kursi. Wajah pria itu penuh luka dan darah, tetapi Adam langsung mengenalinya—Raka.
"Kau tahu terlalu banyak," salah satu pria berbicara dengan nada dingin dan tanpa emosi. "Kami memberimu kesempatan untuk diam, tapi kau memilih mati."
Raka mendongak dengan sisa tenaganya, darah mengalir dari pelipisnya. "Kebenaran akan keluar. Adam akan menemukannya."
Pria itu tertawa kecil, langkahnya mendekati kamera. "Adam?" Dia menoleh ke samping, seolah menatap langsung ke arah Adam melalui layar. "Dia akan segera menyusulmu."
Rekaman berhenti.
Dunia Adam seakan runtuh. Ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah eksekusi.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar di pintu apartemennya.
Matanya membelalak. Dia meraih ponsel dan melihat layar. Tidak ada panggilan, tidak ada pesan. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dan berirama.
Adam bangkit perlahan. Tangannya meraih laci meja, menarik keluar pisau kecil yang selalu dia simpan untuk berjaga-jaga. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati pintu dan mengintip melalui lubang pengintai.
Di luar, seorang pria berdiri diam, mengenakan jas hitam. Wajahnya samar di bawah cahaya lorong yang redup.
Ketukan terakhir terdengar. Kali ini, diikuti oleh suara tenang yang membuat bulu kuduk Adam meremang.
"Kami tahu kau di dalam, Adam. Sudah terlambat untuk lari."
Sekejap kemudian, lampu di apartemennya tiba-tiba padam.