Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tetanggaku kuliah tinggi, tapi belakangan aku lihat ia tak lagi peduli dengan ijazahnya.
“Enakan di rumah,” katanya waktu aku tegur saat minggu lalu mau ke car free day.
Sepulang dari CFD dia ngajak ngobrol lagi. “Wah ternyata enak jualan,” katanya kemudian.
“Lha, ijazahmu itu nanti gimana,”
“Ya untuk bungkus gorengan kalau perlu biar viral seperti kemarin,” jawabnya asal ngomong.
Orang ribut ijazah, sampai ada yang ngak kuliah ngaku kuliah. Ada yang mau kuliah sampai jungkir balik kerja. Eh dia malah berharap ijazah Magisternya bisa untuk bungkus gorengan.
Beberapa hari ini aku lihat ia sibuk, ngotak-atik dapurnya dan menyulap jadi kitchen- maksudnya dapur elite.
“Aku mau masak, mau jadi chef aja,” ujarnya pagi-pagi melapor tanpa diminta.
“Lho kok aneh, sekarang malah mau jadi chef. Kalau memang mau jadi chef kenapa harus ngambil magister pendidikan kesehatan segala. Buang-buang duit tau!’ protesku.
“Terserah aku, kan aku yang kuliah, aku yang buang duit. Memangnya kamu pernah nyumbang?’ tanyanya entah sewot entah cuek.
“Ya, belum pernah sih, tapi untuk apa aku sumbang kamu kan orkay. Cuma aneh aja ada orang kuliah tinggi terus buang ijazah.”
“Minimal sekarang aku jadi tau,” katanya lagi.
“Tau apa?” aku dibuat penasaran.
“Bahwa sekolah tinggi itu kadang-kadang ngak relate sama dompet tebal.”
“Kamu aneh, maksudnya?”
“Kemarin di CFD aku ngobrol sama penjual tahu walik,” ujarnya. “Coba tebak berapa duitnya sehari?” dia menunggu aku menjawab. Karena lama akhirnya ia jawab sendiri pertanyaannnya. “Dua juta sehari, netto! fantastik!!” Itu baru dari satu cabang, bayangkan kalau sepuluh," katanya sambil geleng-geleng kepala.
Lalu mikir-mungkin kalkulator di kepalanya sedang berhitung 2 juta x 10 cabang =20 juta x 30 hari = 600 juta sebulan, karena tiba-tiba dia berteriak, "Gila!! Fantastik!!"
"Padahal dia cuma mahasiswa drop out," sambungnya.
"Drop out darimana?"
"Dari Harvard, katanya nggak cocok kuliahnya disana," Ra menjawabnya seolah sedang ngomong sesuatu yang ngak penting dan ngak prestisius--Harvard!!.
"Gila!, Harvard!!?" Aku menggeleng-geleng tak percaya, eh dia malah cuek seolah bilang, memangnya sepenting apa sih Harvard itu?.
Ampun deh!, kalau dia ngak imut sudah aku tampol pipinya.
Seandainya saja dia tau, biaya kuliah tahunannya aja sebesar 56.550 dolar alias 905,4 juta rupiah per tahun, itu hampir 9 digit!!.
Aku pikir ia sedang mimpi di siang bolong, rupanya sedang mikir.
***
Seminggu setelahnya aku mencium wangi dari ventilasi dapurnya. Wangi manis gula bercampur aroma coklat, dan lembut tepung. Penasaran aku ketuk rumahnya. “Ngapain Ra?”
“Mewujudkan mimpi,” jawabnya santai.
“Mimpi apa?”
“Mimpi jadi jutawan kaya yang punya tahu walik,” jawabnya masih santai. Lalu ia menyodorkan satu potong kue bolen coklat. “Gimana menurutmu, enak?”
Aku hanya mengangguk-angguk karena sedang menikmati rasanya.
“Gimana, enak ngak?, ngak jelas jawabannya cuma mengangguk,” protesnya.
“Ya makanya ini sedang dinilai, sedang mengangguk-angguk tandanya sedang menikmati,’ jawabku.
Ternyata ia sedang menunggu sambil menatap wajahku. “Gimana, enak ngak?”
“Ada yang kurang,” jawabku kemudian. Dan ternyata itu membuatnya setengah panik.
“Kurang banyak kasih sampelnya. Sumpah ini enak banget Ra, minta lagi boleh?” tanpa basa-basi ia menyerahkan sekotak kue bolen buatannya.
Sixth month later
Gila...,! entah ide darimana, sejak main di sosmed, sekarang membuatnya jadi chef dan pebisnis betulan. Punya branding lagi. Rumahnya jadi ramai. Sebentar-sebentar malah ada yang nyasar ke rumahku, ngetuk pintu. “Kak, mau ambil orderan bolen,” kata si pengetuk pintu.
Aku langsung meneleponnya, [“ Ra pasang spanduk atau apa kek!-mana tau yang mana rumahmu kalau kamu cuma masangnya banner di sosmed. Nih ada orang nyasar lagi,”] ujarku. Tak lama ia muncul sambil tersenyum manis.
“Maaf sayang ya,” katanya sambil menyerahkan pesanan, dan juga menyisakan satu kotak spesial untukku.
O Iya, sejak ia mulai buat bolen, dan aku bilang aku penggemar favoritnya—eh dia bilang dia juga suka sama aku. Ya sudah sejak itu kami jadian. Jadi soulmate-si bolen!.