Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Siapa sangka agenda harian yang telah kususun harus berubah karena rencana dadakan. Niatku untuk tidur-tiduran selepas pulang kerja, buyar sudah. Satu jam sebelum senja menutup hari, Ami mengirimi pesan beserta lokasi. Dia memintaku agar menemuinya di sebuah tempat, tak jauh dari rumahku.
Dengan laju motor berkecepatan rata-rata, maps membawaku ke pelataran sebuah masjid bermenara tinggi. Masjid berwarna putih cerah itu berdiri tegak menjadi pusat sorotan di sepanjang jalanan yang padat. Kuedarkan pandangan ke seluruh area hijau bersih berselimut rumput yang tak pernah kudatangi seumur hidup itu. Tadinya, kukira Ami mengajak bertemu di kafe, atau setidaknya warung kopi.
“Hei, Dhe!” sapa Ami, tak jauh dariku.
Segera kumatikan mesin motor dan bergegas mendatanginya. “Sudah lama nunggu?” tanyaku kepada gadis berhijab cokelat tua itu.
“Dari tadi, sejak Ashar,” jawab Ami, “Jilbabmu bagus, Dhe. Warna pink gitu cocok sama wajahmu.”
Mendengar pujiannya itu, aku tersenyum tipis. Tak menunggu lama, dia lalu mengajakku duduk di atas hijaunya rumput jepang. Rumput selembut karpet bulu itu jadi saksi bisu perbincanganku dengan Ami.
“Nih, minum!” pinta Ami sembari menyodorkan sebotol air berwarna pink ke hadapanku.
Tanpa aba-aba, segera kuraih botol itu, lalu meminumnya dengan tangan kiri.
“Eh, pakai tangan kanan, dong! Sunnah Rasul,” celetuk Ami.
Aku segera tersenyum kikuk menanggapi teguran itu.
Memangnya kenapa, sih, tangan kanan dan tangan kiri kan sama-sama tangan. Kenapa pula harus dibeda-bedakan. Aturan yang aneh.
Obrolan demi obrolan akhirnya membawa kami ke penghujung hari. Tanpa terasa, senja tiba tak lama lagi. Aku pun buru-buru berpamitan. Kutinggalkan Ami di area parkiran sembari menyaksikan gadis itu menuju motornya sendiri.
Sambil berkendara, kulihat langit mulai memerah. Aku pun bergegas, menambah kecepatan agar tak terlambat tiba di rumah.
Saat sedang fokus melaju di jalanan tiba-tiba tangan kiriku terasa kebas. Mula-mula hanya seperti kesemutan di satu titik. Hingga lama-kelamaan, rasa itu menyebar ke sepanjang lenganku. Dalam waktu sekian menit, rasa sakitnya bertambah-tambah. Tak sekadar mati rasa, tapi juga diiringi dengan denyutan di bagian siku. Saking kebasnya, kurasa tak sanggup lagi mengendalikan laju motor.
Aku lalu mengerem, menepikan kendaraan di trotoar. Kupijit seluruh bagian lengan yang terserang kebas itu. Siapa tahu jadi membaik. Namun ternyata tidak. Aku pun tak hendak menunggu lagi. Kupaksa melanjutkan perjalananku agar lekas sampai di rumah.
Setibanya di garasi dan memarkir motor, langsung kucari krim pijat yang paling panas demi meredakan rasa sakitnya. Biasanya krim berbotol merah itu selalu ampuh mengatasi semua permasalahan otot dan pegal-pegal.
Sementara tangan kananku sibuk memijat tangan kiri yang kebas, aku tiba-tiba teringat akan reaksiku atas teguran Ami.
Apa kebas ini gara-gara itu tadi, ya?
[*]