Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Dia terkulai lemas, diatas kasur puskesmas, tubuhnya seakan tidak ada daya lagi untuk bergerak, lunglai, lesu dan teramat lelah untuk digerakkan. Bagaimana tidak, dia telah menghabiskan satu botol wipol, dengan satu kali tegukan, di kamar mandi kantor, tempat dia bekerja. Untung saja ada pegawai lain yang melihat. Kalau tidak nyawanya pasti sudah terbang melayang. Dia adalah Mardi, seorang cleaning service kantor dinas, yang terjerat utang karena pinjaman online. Kebiasaan flexing, di media sosial, agar terlihat sebagai lelaki sukses, membuat dirinya menempuh jalan pintas. Kini dunianya terasa berputar karena ulahnya sendiri. Dia merasa telah gagal dalam menjalani hidup, makanya nekat melakukan bunuh diri. Tapi nyatanya dia gagal juga untuk mati.
Mardi memandangi orang-orang disekeliling ranjang puskesmas itu, baru saja dia siuman dari semaputnya. Lidahnya masih terasa getir, segetir kegagalannya. Aroma dan rasa wipol masih menyatu di tenggorokan. Tangannya masih tertusuk jarum infus yang membuat geraknya tidak nyaman. Dokter yang menangani, mengatakan bahwa, keadaan Mardi masih lemah, dan harus dirawat inapkan paling tidak dua hari di puskesmas ini, supaya kondisinya cepat pulih.
Mereka yang menemani Mardi selama pengobatannya, adalah teman-teman Mardi, ada yang satu kantor, satu angkatan CS, dan satu kampung. Mereka berkumpul bukan hanya melayani Mardi, tapi juga menjadikan kejadian ini sebagai acara pertemuan, untuk mengolok-olok sebagai bahan untuk bercanda. Bedebah memang. Diantara mereka, ada yang nyeletuk, dan ngebanyol, tak peduli hancurnya, orang yang sudah hampir mati di hadapannya itu. Menyampaikan kata-kata seolah menunjukan perhatian.
“Mardi! Alhamdulillah sudah sadar, coba senyum” orang tak berperasaan itu meminta hal sangat sulit baginya, bahkan rasanya tak mungkin untuk dilakukan
“Ayolah mardi senyumlah” desaknya.
“Ya, ayok dicoba, ayok, ayok” memperlakukan mardi seperti bayi yang baru berumur satu bulan, yang perlu diajarkan tersenyum.
Mardi berusaha kuat menggerakan kedua ujung bibirnya ke atas, agar bisa tersenyum. Tapi saat ini, dia pasti tidak mampu, bukan karena otot wajahnya lumpuh, tapi karena beratnya beban pikiran yang dipikulnya. Tapi tetap di cobanya.
“Nah, gitu, kan ganteng” kata bapak yang keras kepala tadi, disambut dengan tawa riang teman lainnya.
Lagi, satu kali lagi, ayo, ayoooooo, dengan tidak berperasaan, dia mengeluarkan perintah itu lagi.
“Mardi, ingatkan siapa saya? Kata yang lain.
Mardi hanya mengangguk pelan.
“Kalau masih ingat siapa coba namanya” pinta yang lain lagi.
Bahkan mereka memaksa Mardi untuk mengabsen nama mereka satu persatu. Dengan terbata-bata, Mardi melafalkannya.
Mardi telah menjadi bulan-bulanan bagi kawan-kawannya. Mungkin bagi mereka, ini adalah cara terbaik untuk menghibur Mardi yang dilanda gundah-gulana. Tapi, itu bukan cara yang tepat, Mardi yang terkulai dalam keadaan lemah pun tidak bisa melawan dan membantah. Yang dirasakannya hanya satu, yaitu malu. Dia malu dengan kegagalannya, sudah beberapa kali dia gagal, tidak terhitung jumlahnya. Gagal menjalani hidup, gagal juga menuju kematian. Lengkaplah sudah kemalangan yang ditimpanya. Bedebahnya teman-teman itu, menjadi tertawa terbahak-bahak, melihat kondisi Mardi, dan semakin bersemangat untuk menggoda. Benar- benar teman laknat semuanya. Tapi itulah circle pertemanannya, mau diapakan lagi, mereka sudah seperti saudara, karena berteman dari kecil.
Dari dulu, mereka saling mendukung satu sama lainnya, motto mereka satu untuk semua, semua untuk satu. Terlebih kalau ada mangga Pak haji yang berbuah, ayam buk Siti yang sudah bujang. Mereka paling paham bagaimana mengatur strategi, agar barang ciptaan Allah itu berpindah tempat, dari pohon atau kandang ke piring-piring mereka, pada tengah malam, sebagai teman minum kopi pada saat bermain kartu.
Mardi yang bertubuh tinggi besar, cocok jadi seorang tentara, dan itu yang dicita-citakannya, tapi gagal setelah tes terakhir. Tidak menyurutkan langkahnya, ikut serta dalam tes kepolisian pun dia gagal. Menikahi gadis pujaan hatinya, jangan di bilang gagal, Mardi hanya baper saja, baru saja bergerak melancarkan aksinya, wanita itu sudah tidak sudi didekati oleh laki-laki seperti dirinya. Jadilah dia laki-laki bujang lapuk penunggu kampung. Untung kantor Pemda dekat rumahnya, dibangun ditanah milik ulayatnya, makanya dia bisa bekerja, dan sebentar lagi akan diangkat menjadi PPPK. Betapa bangganya Mardi. Sebentar lagi akan punya NIP dan berpakaian seragam hitam putih.
Bagaimana ceritanya dia sampai menenggak wipol kamar mandi kantor sampai habis? Dia hanya ingin tenang dari teror penagih hutang, yang sudah sebulan ini, bergentayangan menghantuinya. Bahkan sudah berani mengancam. Makanya mardi kalap. Dia tidak ingin di tangkap, Nmaxnya disita, atau tangan dan kakinya dipatahkan. Tapi apakah tidak ada usahanya, untuk sekedar mencicil hutang yang sudah hampir menggunung itu? Dalam kamus Mardi, uang kalau sudah masuk kantong halal, tapi haram untuk keluar.
Mardi bukanlah berasal dari keluarga miskin, dialah keluarga yang paling kaya di kampung, kebon kelapa yang luas, sawah yang menghasilkan berkarung-karung padi setiap kali panen, rumahnya adalah rumah yang paling megah di kampung itu. Dia pun bukan anak yang bodoh di sekolah. Dia hanya malas, terlalu banyak bermain, dan sangat dimanja oleh kedua orangtuanya. Mardi sangat perhatian, dan terlalu mendengarkan, perkataan orang-orang sekampung.
“Mardi, tak belajar pun, tak sekolah, tak bekerja akan tetap makan juga, harta keluarga tak akan habis tujuh turunan.”
“Kamu sungguh anak yang beruntung, kakak-kakakmu sukses, warisan banyak, sawah ladang luas, buat apa belajar, dan bekerja.”
Mardi termakan ocehan mereka. Dia benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa, selain mempertahankan tanah pusaka dan rumah peninggalan dari saudara-saudaranya.
Perihal mengakhiri hidup pun, bukan satu kali ini saja dilakukan, ini yang kedua kalinya. Kakak-kakaknya pun angkat tangan, tidak mau mengurus Mardi, makanya Mardi tinggal sendiri di rumah besarnya itu, dia ditinggal merantau, karena tidak ingin terlibat konflik perkara harta pusaka. Dulu sewaktu ayah dan ibunya masih hidup, mereka sering pulang kampung, atau sekedar mengirimkan uang buat orang tua dan adik bungsunya. Tapi karena ulah Mardi yang makin menjadi-jadi, mereka menyerah.
Termasuk menyerahkan semua peninggalan keluarga, biarlah mardi yang mengurusnya, bahkan memasukkan mardi menjadi cleaning service pun, itu berkat abang yang paling tua yang bekerja di Kementerian di Jakarta. Lihatlah rumah itu, sedikitpun tampak tak terawat, pekarangan yang luas kiri kanan, depan belakang, seharusnya bisa ditanami aneka buah dan sayur, hanya ditumbuhi semak belukar, dan hanya jalan setapak menuju teras rumah. Dia hanya tahu kapan jadwal panen kelapa, berapa yang bisa dijual, kapan padi masak, dan berapa duit hasilnya, semua orang lain yang melakukan, padahal kalau dilakukan sendiri olehnya bisa menghasilkan lebih banyak. Tapi itulah Mardi dia hanya ingin senang saja, tanpa mau bersusah payah sedikitpun.