Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku tahu kau sedang melihatku. Melihat entah dari mana. Mungkin dari tempat yang sangat menyenangkan. Mungkin juga dari tempat yang lebih menyedihkan daripada ini.
Kepergianmu begitu cepat dan terlalu menyiksa. Namun, siksaan itu bukan pada dirimu. Melainkan padaku yang kau tinggal sendirian di sini. Bukankah kita sudah berjanji? Kau dan aku, bergandengan tangan, berjalan pelan dengan wajah tersenyum setelah aku mengucap janji suci itu. Kemudian, kita akan pergi ke tempat yang paling indah di dunia. Tempat favorit kita. Tempat yang dipenuhi pasir-pasir putih dan berhiaskan lautan biru yang terbentang luas sampai ke ujung tak terlihat.
Namun, akhirnya, aku hanya tercenung di sini. Di tempat menyesakkan ini. Sambil mendengarkan satu-satunya peninggalanmu. Sebuah lagu patah hati yang sangat cocok menggambarkan kondisiku kini.
Aku tak bisa lagi menahan air mataku. Payah, ya, aku ini. Kau, gadisku, selalu bilang kalau laki-laki itu tak boleh menangis. Tetapi kau tak pernah bilang kalau kehilangan itu rasanya sesakit ini. Asal kau tahu, kepergianmu itu meninggalkan luka yang keterlaluan rasa sakitnya. Jadi, biarkan aku menangis sekarang.
Seharusnya tak pernah ada rahasia di antara kita. Namun kau selalu menyembunyikan sesuatu itu dariku. Bahkan di saat-saat terakhir pun, kau tetap tak mau berkata sebenarnya padaku. Memangnya kau anggap apa aku ini?
Tak terasa, sudah kesembilan puluh sembilan kalinya suara merdumu berputar. Berusaha menyingkirkan kesunyian di tengah malam ini. Usaha yang takkan pernah berhasil tanpa kehadiranmu. Tetes demi tetes air pun jatuh dari langit, menyambut kali keseratus lagumu. Namun, entah kenapa, sekujur badanku terasa begitu panas sekarang. Pun bergetar bukan main seluruhnya.
Aku menengadah. Tersentak. Berteriak sambil kedua tangan meremas rambut sekuatnya. Rasa sakit pada relung hatiku sudah menjalar hingga ke otak. Kepalaku seperti siap meledak kapan saja.
Sementara lagumu tiba di bagian terbaiknya, tetes-tetes air di luar sana semakin deras bercucuran. Guntur pun menyambar tak mau kalah, menyerukan suara menggelegar. Pun suara merdumu yang berubah parau, seakan memarahiku yang masih meringis sendu.
Hentikan.
Aku tahu kau sedang melihatku. Melihat dari lagu terakhirmu. Kuyakin kalau sekarang kau berada di tempat yang jauh lebih menyedihkan daripada ini. Aku tertawa getir, berusaha menikmati rasa sakitnya.
Memori-memori indah tentangmu menyeruak dari relung hati terdalamku. Satu per satu menghantam pikiranku, mengikuti irama lagumu. Tidak ada yang salah dengan itu, aku menyukainya. Namun tidak dengan caramu kini menatapku.
Di tengah kesendirian ini, sengaja aku mematikan semua terang. Menyisakan cahaya bulan yang menyusup enggan lewat jendela. Biar begitu, kedua mata ini tak dapat berbohong. Kebencian bergelora dari tatapanmu.
Hentikan.
Lagumu yang keseratus tiga terlalu bergema, hingga menusuk kedua gendang telinga. Aku menutupnya. Namun terlalu tajam suara itu hingga menembus telapak tanganku. Meraunglah aku. Bukan main rasa sakitnya.
Kuyakin kalau lantunan lagumu bukanlah seperti ini. Ini terlalu menyiksa. Bahkan lebih menyiksa daripada kehilanganmu. Ini terlalu tajam. Bahkan lebih tajam dari bilah pisau yang tepat menusuk jantungmu.
Oh, mengingat tajamnya pisau itu membuatku tubuhku kian bergetar. Aku meraung lagi. Teringat kembali saat cairan merah itu menembus piyama putihmu. Lalu gema jantungku bergemuruh. Begitu cepat. Begitu keras. Begitu panas.
Hentikan!
Memori-memori indah tentangmu perlahan lenyap entah ke mana, berganti satu tragedi berdarah itu. Tangisku pecah lagi. Berkali-kali aku menampar pipi ini hingga mengenai hidung. Lalu tetesan darah mengalir dari sana. Tak ingin aku mengingat lagi tragedi itu, tapi lagu terakhirmu seakan memaksaku. Lagu yang bahkan tak terdengar oleh orang lain selain aku. Lagu yang hanya ada di dalam pikiranku.
Aku tak bisa menghentikannya. Walau acapkali kedua tanganku yang mengepal juga memukul-mukul kepala ini. Pun dengan tragedi berdarah yang berputar semakin cepat dan berulang-ulang di otakku.
Kubilang hentikan!
Kepergianmu begitu cepat. Secepat kau memulai semua itu. Akhirnya aku mengingat apa yang telah kau perbuat. Yang membuatku harus rela kehilanganmu. Alasan tragedi berdarah itu terjadi. Alasanku melakukan … oh, singkirkan tatapan itu!
Ini semua salahmu. Akan kubuat dia bertemu lagi denganmu. BERTEMU DI NERAKA![]