Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun dengan deras di pinggiran jalan yang sepi. Sebuah kedai menjadi satu-satunya pilihan tempat berlindung dari derasnya hujan.
Laki-laki itu memutuskan masuk meskipun bajunya sedikit kuyup. Tak berselang lama, seorang perempuan juga masuk dengan baju basah kuyup. Tersenyum sungkan, sebelum masuk.
Mereka duduk berseberangan, sama-sama kedinginan dan basah kuyup. Mereka tidak saling mengenal dan memilih diam, hanya ditemani suara rintik hujan yang memecah kesunyian.
Agar tidak terlihat hanya numpang berteduh, keduanya akhirnya memesan makanan.
"Nasgor, Bu," kata laki-laki dan perempuan itu nyaris bersamaan. Keduanya tersenyum tersipu.
"Teh hangat, Bu," kali ini lagi-lagi perempuan dan laki-laki itu menyebut pesanannya bersamaan.
Bu Marni pemilik warung tidak bisa menahan tertawanya. "Kalian berdua berjodoh," ujarnya, yang disambut malu-malu oleh kedua pelanggan yang mampir di warungnya itu.
Bu Marni dengan sigap menyajikan pesanan mereka. Laki-laki itu sibuk mengunyah makanannya, sedangkan perempuan itu meniup-niup teh hangat di tangannya sebelum akhirnya menyeruputnya.
"Masnya baru pulang kerja?" ujar Bu Marni membuka obrolan.
Laki-laki itu mengangguk sambil masih mengunyah. Setelah meneguk teh, ia menjawab, "Iya, Bu. Lembur hari ini, banyak kerjaan."
"Masnya nggak ada yang nunggu di rumah kalau pulang sampai malam begini?" Bu Marni bertanya lagi, matanya penuh rasa ingin tahu.
Laki-laki itu tersenyum pahit. "Nggak, Bu. Istri saya sudah lama pergi. Mungkin karena saya sibuk kerja sampai malam. Dia kesepian, akhirnya pergi sama laki-laki lain. Teman sekolahnya dulu, katanya. Sekarang dia sudah kaya, dulu juga katanya cinta pertamanya."
Bu Marni terkejut. "Astaga, kayak cerita film saja."
Perempuan di seberang meja yang sejak tadi diam akhirnya menoleh. Rasa penasaran mengalahkan dingin yang ia rasakan.
"Jadi, Masnya sekarang sendirian? Nggak ada keluarga, anak-anak kemana?" tanyanya.
Laki-laki itu menggeleng. "Mungkin karena itu juga istri saya pergi. Lima tahun menunggu, nggak datang-datang jabang bayinya."
Bu Marni menatap perempuan itu. "Kalau Mbaknya ini sendiri gimana?"
Perempuan itu tersenyum tipis. "Saya juga sama, Bu. Lembur hari ini."
Bu Marni mengernyit. "Lah, ini perempuan kok lembur? Biasanya kan laki-laki."
"Ngapain juga pulang cepat, Bu? Mending kerja, dapat uang," jawab perempuan itu.
Bu Marni tampak heran. "Tapi sampeyan kan perempuan."
Perempuan itu menghela napas. "Suami saya kabur, Bu. Sama perempuan lain. Ya, kayak cerita Mas ini. Katanya, dia mantannya di SMA dulu. Saya nggak peduli. Kalau dipikir terus, yang ada rontok rambut saya."
Laki-laki itu menimpali. "Salah saya juga mungkin mbak, nggak becus kerja cari uang. Tapi sekarang giliran saya sudah punya uang banyak dan kerjaan tetap, eh malah nggak ada siapa-siapa di rumah."
Perempuan itu tertawa hambar. "Lah, saya Mas. Kerja mau 24 jam sehari, tetap saja duitnya nggak buat siapa-siapa. Ya, buat nyenengin diri sendiri. Keluarga juga sudah nggak punya. Apa-apa dinikmati sendiri."
Bu Marni menatap mereka bergantian. "Nggak ada putra ya mbak?"
Perempuan itu menghela napas. "Itu juga, mungkin ya. Saya nggak tahu, yang mandul itu saya atau dia."
Hening sejenak. Dalam hati, laki-laki itu merasa aneh. Kok bisa, ya, nasib mereka senasib begitu? Dan Tuhan mempertemukan mereka di tempat seperti ini.
"Kalian berdua kok sebelas dua belas, ya," ujar Bu Marni, tertawa kecil. "Sekarang mungkin jadi sebelas dua belas dan tiga belas sama saya. Bedanya, suami saya meskipun jauh masih kirim kabar. Entah, mungkin dia di sana sudah punya yang lain, makanya betah."
Mereka bertiga tertawa kecil, meski tawa itu terdengar getir. Setelah itu, suasana kembali sunyi. Hujan masih turun deras.
"Mas, Mbak, nggak apa-apa ngobrol dulu, saya tinggal sebentar ke belakang."
Perempuan itu tersenyum canggung. "Ya bu, nggak apa-apa."
"Saya Maya, nama Mas siapa? ujar perempuan itu kemudian memperkenalkan diri. Apa boleh kita bertukar nomor, siapa tahu perusahaan mas butuh layanan jasa dari perusahaan saya," ujar perempuan itu akhirnya memberanikan diri setelah lama berbasa-basi.
"Danil," jawab laki-laki itu.
Perempuan itu tertegun. "Danil? Kayaknya saya nggak asing. Kok bisa seperti nama mantan suami cewek yang kabur sama suami saya."
Laki-laki itu menatapnya heran. "Memang nama mantan suamimu siapa?"
"Jorgi," jawab perempuan itu pelan.
Laki-laki itu terperangah. "Hah? Kok ya bisa sama persis seperti nama laki-laki yang bawa kabur istri saya?"
Bu Marni yang ternyata sudah kembali dari belakang, ikut nimbrung. Mereka bertiga saling berpandangan, suasana berubah menjadi tegang. Bu Marni, yang sejak tadi mendengarkan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
"Jangan-jangan…," bisik perempuan itu.
Laki-laki itu menggelengkan kepala, seolah tak percaya. "Astaga. Jangan-jangan istri saya kabur sama suami Mbak."
"Dan suami saya kabur sama istri Mas?" perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.
"Ya ampun, kalian beneran sebelas dua belas," ujar Bu Marni sambil tertawa.
Ternyata takdir yang rumit bisa ditautkan hujan dan serba kebetulan tak terduga.