Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Satu … Dua … Tiga … Empat kali.
“Cuma nggoreng sebutir telur dan kamu nyuci tangan sampai empat kali?”
Gadis yang kupanggil “Ra” itu menoleh lalu nyengir. Segaris gummy smile membingkai bibirnya. “Hihi … Refleks!”
“Cuci sekali lagi, biar aku kasih gelas cantik,” balasku.
Ra lalu berjalan membelakangi wastafel sambil mengeringkan jari tangan dengan sehelai tisu. Kuperhatikan gadis itu mondar-mandir sembari melihat tusuk konde berbentuk sakura yang bertengger di bulatan rambutnya.
“Jadi, kapan kamu mau bilang ke orang tuamu soal hubungan kita?” tanya Ra tanpa aba-aba. Matanya menatapku lurus.
Aku diam, kaget akan pengalihan pertanyaan yang terlalu mendadak itu.
“Hmm … Masih belum pas waktunya. Aku lagi … nyari suasana yang enak.”
“Dah kuduga. Nggak ada kreasi jawaban lain, Rif?” cibir Ra.
“Kita, kan, bisa jalani dulu. Selama ini begitu, kan? Toh, aku enggak ke mana-mana. Kamu juga enggak ke mana-mana.”
Setelah melempar tisu ke dalam tong sampah di bawah meja kompor, Ra berjalan mendekatiku. Mata gadis membulat, memandangku lekat-lekat.
“Mau dijalani sampai kapan? Sampai DM-ku penuh sama semua chat dari para selingkuhanmu?”
Alamak! Apa lagi ini?
Tenggorokanku mendadak kering. Kupaksakan menelan liur meski sulit lantaran tatapan Ra sepenuhnya mengarah kepadaku.
“DM apa? Aku enggak kenal sama mereka, loh, Ra. Percaya, deh. Mereka itu cuma fans fanatik.”
“Miriki iti cimi fins finitik,” balas Ra sambil memonyongkan bibir.
Segera aku bangkit dari kursi makan lalu kudekati Ra. Kuraih telapak tangannya yang beraroma cairan pencuci piring itu.
“Please! Aku cuma cinta sama kamu, Ra!”
Secepat kilat, Ra menepis tanganku. Dia lalu berjalan sambil menarik kantung kemejaku, membawaku ke bibir pintu rumah.
“Dengar! Terserah gimana menurutmu, tapi buatku, keseriusan dalam hubungan itu ditandai dengan komitmen dan perencanaan masa depan yang jelas. Dan bukti dari komitmen itu salah satunya bertemu dengan orang tuamu. Setahun kutunggu, tapi kamu enggak bisa kasih kepastian. Sekarang, pergi!”
Dengan sekali dorong, kedua tangan Ra membuatku terjengkang keluar. Gadis itu kuat juga rupanya. Seketika aku langsung terduduk di rerumputan. Namun, bukannya prihatin, Ra langsung menutup pintu rumahnya.
Aku terhenyak. Rencana menghampiri Ra ke rumah demi menemaninya makan siang buyar sudah.
Tenang!
Aku hanya perlu menunggu sampai seminggu lagi. Akan kurangkai sebuah puisi lalu kunyanyikan gadis itu sebuah lagu diiringi gitar di depan rumahnya. Dia pasti memaafkanku lagi. Dia pasti akan klepek-klepek lagi.[*]