Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Suami Terba(l)ik
4
Suka
373
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

"Mas, sampai kapan kita mau hidup begini?" suara Lena serak, matanya memerah menahan tangis yang sudah sejak tadi mau pecah.

Dani cuma duduk di sofa ruang tamu dengan wajah datar, kedua tangannya terus sibuk menggulir layar ponsel. "Aku kan sudah bilang, tunggu saja. Investasiku pasti akan balik modal, sabar" masih terdengar tenang seperti tanpa rasa bersalah.

Lena tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya."Tunggu? Berapa lama lagi aku harus menunggu? Rumah ini hampir disita, Mas! Anak-anak butuh uang sekolah! Kamu kira semua itu bisa diselesaikan dengan kata 'tunggu'?"

"Kamu kenapa sih? Aku juga pusing, Len. Kamu pikir cuma kamu yang susah. Sebagai laki-laki aku lebih memikirkan semua itu daripada kamu. Kalau kamu terus nyalahin aku, masalah nggak bakal selesai!"

"Mas pusing? Coba pikir, siapa yang setiap hari kerja banting tulang? Gaji ASN-ku habis buat bayar cicilan rumah ini. Sisanya buat bayar sekolah anak-anak. Apa kamu pikir itu cukup? Aku pusing Mas."

"Oke, aku paham itu. Aku tau kamu sudah banyak berkorban untuk itu. Tapi aku kan juga usaha, Len! Kamu kira aku nggak ngapa-ngapain? Modal investasi itu besar, tinggal nunggu hasilnya."

"Hasil? Sampai sekarang apa yang kamu dapat? Janji-janji doang? Mas, coba buka mata kamu! Hutang kita makin numpuk! Kalau rumah ini sampai disita, kita mau tinggal di mana. Kamu ngak pikir anak-anak kita? Mau tinggal dimana nanti, di jalan?" Lena berdiri, raut wajahnya mengeras menatap ke arah Dani.

"Jangan bawa-bawa anak-anak kalau ngomong, Len. Aku ini suami kamu. Aku tahu tanggung jawabku."

"Tahu tanggung jawab? Kalau tahu, kenapa kamu nggak serius kerja? Kenapa masih tinggal di rumah ngak ada usaha lain. Malah ngelamun soal investasi nggak jelas!" Lena kali ini berteriak, air matanya mulai mengalir.

Dani menghempaskan ponselnya ke meja. "Kamu selalu meremehkan aku! Apa kamu nggak lihat aku berusaha? Bukannya aku nggak mau kerja, aku mau kita punya penghasilan lebih besar. Kalau aku cuma kerja serabutan, kita nggak bakal maju-maju!" Aku juga mau semua masalah ini beres!"

"Kalau kayak gini terus, kita bukannya maju, Mas. Kita mundur! Rumah hampir disita, anak-anak mau dikeluarin dari sekolah kalau nggak bayar tunggakan! Ini hasilnya kalau kamu cuma berharap sama sesuatu yang nggak pasti," kali ini Lena membalasnya dengan keras sambil menyeka air matanya.

"Kalau kamu anggap aku nggak berguna, bilang saja, Len. Nanti kalau semua masalah ini selesai, aku bakal pergi. Kamu bisa hidup sendiri dengan anak-anak, kalau menurutmu itu yang kamu mau."

Lena terdiam sejenak, lalu tertawa sinis. "Pergi? Kamu ini aneh Mas, logikamu itu aneh sekali. Kalau semua ini selesai, seharusnya kamu di rumah, bersama kami, lebih menyayangi aku istrimu dan anak-anakmu, bukan malah pergi! Apa kamu nggak pikirkan perasaan anak-anak? Apa kamu nggak sayang sama kami?" Jadi begitu jalan pikiran Mas. Aku ngak nyangka akan seperti itu jalan pikiran Mas sama kami, atau Mas punya rencana lain?"

"Maksudmu apa?, Aku sayang kamu, Len, tapi aku capek. Kamu nggak pernah hargai usahaku."

"Hargai apa? Hasilnya saja nggak ada! Kamu cuma janji-janji, sementara aku harus kerja keras sendirian. Ini bukan soal hargai atau nggak, Mas, ini soal tanggung jawab!"

"Ya sudah, kalau kamu nggak percaya aku, aku juga nggak mau terus-terusan disalahkan. Aku nggak butuh ceramah kamu tiap hari!"

"Ceramah? Kamu pikir aku bicara ini buat apa? Aku mau kita tetap punya rumah! Aku mau anak-anak tetap sekolah! Kamu pikir aku senang tiap hari pulang kerja lalu bertengkar sama kamu?" Lena membalas dengan napas memburu.

"Ya sudah, terserah kamu mau bilang apa. Aku tetap percaya investasi ini akan berhasil. Kalau kamu nggak sabar, ya sudah, lakukan saja apa yang kamu mau," Dani melangkah keluar rumah, membanting pintu keras-keras.

Lena terduduk lemas di sofa. Isak tangisnya pecah, menggema di ruang tamu yang sepi. Sementara di luar, Dani duduk di teras, menatap langit malam dengan pandangan kosong. Hatinya penuh amarah, tapi batinnya juga diremas rasa bersalah yang mendalam.

***

Keesokan paginya, Dani masih terlihat enggan bicara. Lena mencoba bersikap biasa saja, tapi suasana rumah tetap tegang. Anak-anak mereka, Ardi dan Naya, memperhatikan dengan wajah bingung.

"Bunda, kenapa Ayah nggak sarapan bareng kita?" tanya Naya pelan.

"Ayah lagi capek, Sayang. Nanti kalau Ayah sudah siap, kita makan bareng lagi, ya."

Setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Lena kembali ke rumah. Ia menemukan Dani masih di ruang tamu, sibuk dengan ponselnya. Tanpa bisa menahan diri, Lena membuka pembicaraan lagi.

"Mas, kita harus bicara," ujarnya dengan nada tegas.

Dani mendongak. "Bicara apa lagi? Bukannya kemarin sudah cukup?"

"Mas, aku nggak bisa diam saja. Rumah ini tinggal hitungan bulan sebelum disita. Kita harus cari jalan keluar. Kalau kamu nggak mau kerja, aku yang cari cara," Lena mencoba menahan emosinya.

"Aku kerja, Len! Aku sudah bilang, tunggu investasiku balik modal!" Dani langsung menjawab dengan nada tinggi.

"Dan kalau nggak balik? Apa kita harus hidup di jalan? Anak-anak nggak sekolah? Apa itu rencanamu?" Lena membalas dengan nada keras.

Dani terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa argumennya benar-benar lemah. Namun, egonya masih terlalu besar untuk mengakui itu.

"Aku tahu aku salah, Len. Tapi aku juga nggak mau disalahkan terus-terusan. Aku sedang berusaha," kata Dani akhirnya, suaranya melemah.

"Mas, aku nggak butuh janji. Aku butuh tindakan. Kalau kamu mau memperbaiki semuanya, buktikan. Jangan cuma ngomong. Aku capek, Mas."

Dani mengangguk pelan. "Aku akan coba cari kerja lagi. Tapi tolong, Len, sabar sedikit lagi. Aku janji, aku nggak akan biarkan rumah ini disita."

"Aku akan sabar, Mas, asal kamu benar-benar berubah. Jangan buat aku berjuang sendirian. Kita ini keluarga. Harusnya kita jalan bareng, bukan saling menyalahkan."

Dani hanya bisa mengangguk. Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mereka duduk berdampingan tanpa saling menyalahkan.

Namun, Lena tahu, ia hanya bisa menunggu dan melihat apakah Dani benar-benar menepati janjinya kali ini.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Suatu Ketika di Mulhouse
Adella
Novel
I Want To Die, But I Want To Write About You
Tngkbll
Flash
Suami Terba(l)ik
Hans Wysiwyg
Novel
Gold
Bukan Salah Waktu
Bentang Pustaka
Novel
Rain (The End; Painful)
Rain
Komik
Bronze
MELANĀ©HOLIC
sleepy neko
Skrip Film
Lelah yang Lillah
Aizawa
Cerpen
Bronze
Penggemar Ernest Hemingway
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
GEMINIAN
Maulina Prita
Novel
Bronze
Saraswati
El Cavega Terasu
Novel
CERITAKU BERCERITA
Dimas yudhistira
Novel
Langit Di Negeri Sakura
Harmony Adi
Novel
Bronze
Siapa Namamu?
Hesti Ary Windiastuti
Komik
Prabhasvara
Billy Yapananda Samudra
Novel
Bronze
Dalam Kidung Zona Merah
ERZIN EL
Rekomendasi
Flash
Suami Terba(l)ik
Hans Wysiwyg
Flash
Remember Us This Way
Hans Wysiwyg
Flash
Cerita Baper Paling Absurd!
Hans Wysiwyg
Cerpen
FAKE PSIKOPAT
Hans Wysiwyg
Flash
Laut Itu Luka
Hans Wysiwyg
Flash
DIA BUKAN MAVERICK
Hans Wysiwyg
Flash
CINTA MATI
Hans Wysiwyg
Novel
DI BAWAH LANGIT YANG TERLUKA Beneath The Wounded Sky
Hans Wysiwyg
Flash
Mestakkung
Hans Wysiwyg
Flash
DUNIA JUNGKIR BALIK
Hans Wysiwyg
Flash
Sebuah Pohon Sebuah Hidup
Hans Wysiwyg
Flash
Kafe Diatas Langit
Hans Wysiwyg
Novel
DEKUT MERPATI PEMURUNG--The Mourning Dove Calling
Hans Wysiwyg
Cerpen
Damar Senja
Hans Wysiwyg
Flash
SEMANGKUK NASI UNTUK AYAH
Hans Wysiwyg