Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi itu, Bu Surti, wali kelas 4A, memberitahu jika beliau akan datang terlambat ke sekolah. Dan sebagai gantinya, Bu Kepsek mengisi 'kekosongan kekuasaan' kelas kami. Bu Kepsek terlihat sangat buas dan menakutkan sekali, seperti ingin memakan sesuatu tetapi tidak ada sesuatu yang bisa dimakan.
Bu Kepsek lalu menulis soal Matematika tentang volume balok di papan tulis dan menyuruh Danang maju ke depan untuk mengerjakan soal itu. Sepertinya Bu Kepsek ingin menguji seberapa jauh kemampuan kami memahami apa yang Bu Surti ajarkan selama ini.
"Soal mudah saja tidak bisa mengerjakan. Kamu setengah berlutut di samping papan tulis sambil menekuk lutut sampai ada yang bisa mengerjakan soal ini." Ekspresi Bu Kepsek seperti Mak Lampir ketika memarahi Danang. "Tunggu," kata Bu Kepsek ketika Danang hendak mematuhi perintahnya. "Tunjuk salah satu temanmu untuk mengerjakan soal ini."
"Menthol, Bu," ucap Danang.
"Menthol?" Bu Kepsek kebingungan. "Nama yang aneh. Apa yang ada dalam kepala orang tuanya?"
Semua murid tertawa.
"Itu nama julukan, Bu," jelas Danang.
Bu kepsek menggelengkan kepala. "Saya rasa itu nama geng. Semua anggota geng punya nama julukan. Ateng, Jabrik, Menthol."
"Dia ketua geng di kelas ini, Bu," kataku sekeras mungkin.
Semua murid tertawa lagi.
Bu Kepsek menyuruh semua murid untuk tenang, lalu memanggil Menthol.
Dengan ekspresi cengengas-cengenges, Menthol pun maju ke depan. Sama seperti cecunguknya tadi, Menthol juga tidak bisa mengerjakan soal dari Bu Kepsek. Dia menunjuk murid lain lalu berdiri di samping Danang sambil menekuk lututnya.
Selama seperempat jam lebih, belum ada satu pun murid yang bisa mengerjakan soal yang ditulis Bu Kepsek. Di samping papan tulis sudah ada delapan 'korban' keganasan Bu Kepsek. Tak lama kemudian giliran Riyu maju ke depan.
Sambil menunggu Riyu mengerjakan soal di papan tulis, aku membaca-baca panduan soal latihan di halaman depan LKS untuk berjaga-jaga kalau tiba giliranku. Ternyata setelah kupahami dengan baik, Dewi, teman sebangku-ku, pernah menerangkan soal semacam ini padaku. Tiba-tiba lampu di otakku berpijar.
Setelah Si Bloon Riyu tidak bisa mengerjakan dan hendak menunjuk korban selanjutnya, dengan penuh percaya diri aku pun mengangkat tangan.
"Luca, Bu," tunjuk Riyu.
Aku lantas maju ke depan.
Lima menit kemudian, soal sudah kujawab, lengkap dengan proses penyelesaiannya.
"Sudah selesai, Bu Kepsek," ucapku sambil membusungkan dada.
"Ya, benar. Silahkan duduk kembali." Bu Kepsek menilai hasil jawabanku.
Ketika aku kembali ke tempat duduk, Dewi menyambutku dengan senyuman hangat. "Cie.... cie, pintar ya sekarang."
"Dari dulu aku ini memang genius seperti Conan Edogawa." Aku menyentuh hidungku dengan ibu jari.
"Hahaha." Dia tertawa lepas padaku.
Sementara itu, di mimbar kelas, Bu Kepsek memarahi para murid yang tidak bisa mengerjakan soal tadi. "Makanya rajin belajar. Ada pepatah mengatakan, 'ojo cedhak kebo gupak'. Tahu artinya, kan?"
"Tahu, Bu." Mereka semua menjawab serempak.
"Apa?" Ekspresi Bu Kepsek seperti siluman Kerbau saja.
Hening.
"Katanya tahu, kok malah diam saja?" Bu kepsek semakin emosi, lalu menunjuk Riyu. "Eh, kamu yang rambutnya seperti habis kesetrum listrik. Apa artinya?"
Riyu mendongak lalu berkata, "Anu, Bu... jangan dekat-dekat kerbau yang ada di sawah, nanti bajunya bisa kotor. Kasihan ibu di rumah yang nyuciin baju kita."
#¥€£$%&₩!!!