Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Eli, ada sesuatu di gigimu,” kata Davi, menahan tawa yang hampir pecah.
Eli mengernyit, mencoba menjilat gigi depannya. “Mana?”
“Bukan di situ,” Davi menunjuk, kini tanpa menahan diri. Tawanya menggelegar, memenuhi kafe kecil tempat mereka biasa bertemu.
Eli mendengus, mengambil cermin kecil dari tasnya. Butiran gula dari donat coklat—favoritnya—terlihat jelas menempel di sela giginya. “Kamu nggak bisa ngomong dari tadi, ya?” katanya, pura-pura kesal.
Davi mengangkat bahu, senyumnya masih lebar. “Aku cuma menikmati momen. Lagi pula, kamu terlihat lucu.”
Eli mendelik. Tapi saat ia menatap Davi lebih lama, ia tahu ia tidak benar-benar marah. Ada sesuatu di tawa Davi yang selalu berhasil membuat dunia terasa lebih ringan.
Donat di piring mereka tinggal satu. Tanpa banyak basa-basi, Davi memotong kue itu menjadi dua dan menyodorkan bagiannya kepada Eli.
“Kenapa aku dapat yang lebih kecil?” protes Eli sambil tersenyum kecil.
“Karena kamu tadi sudah makan tiga,” jawab Davi sambil tertawa.
Mereka saling berpandangan dalam diam yang nyaman, diiringi rintik hujan di luar jendela. Untuk Eli, hidup mungkin akan selalu memiliki serpihan yang tersangkut di sela-sela, tapi dengan seseorang seperti Davi, ia tahu ia tidak keberatan untuk terus tertawa karenanya.
--Tamat--