Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
(Cerita ini terinspirasi dari kisah nyata. Nama tokoh disamarkan)
Kamis, 23 Januari 2025
Kami melaksanakan perayaan Isra’ Mi’raj di sekolahku. Untuk perayaan ini, kelas 1 sampai kelas 3 mengikuti lomba mewarnai, sedangkan kelas 4 sampai kelas 6 mengikuti lomba cerdas cermat antarkelas. Bagi yang beragama selain Islam, berada di ruangan lain bersama guru agama mereka.
Untuk lomba cerdas cermat, dipilih tiga anak yang paling pintar dalam hal agama Islam dan mewakili kelasnya. Bu Tari dan teman-teman sekelasku memilih aku, Difa, dan Zidan untuk mewakili kelas 6C. Pada hari Kamis, kami memakai baju muslim dan membawa baju ganti Pramuka. Aku, Difa, dan Zidan sudah belajar sungguh-sungguh mengenai materi kelas 6, tentang Isra’ Mi’raj, dan tentang tajwid.
Bersama-sama, kami menaiki tangga menuju aula. Kami duduk di bangku-bangku yang disediakan. Aku duduk di sebelah Difa. Kami sama-sama grogi dan tegang. Bagaimana tidak, walaupun kami kelas 6 dan sangat dihormati adik kelas, kami juga malu kalau ada jawaban yang salah dan adik kelas menertawakan kami. Aku berpikir bahwa kelompok kami pasti kalah. Bisa mencoreng nama baik kelas kami, kan?
Acara dimulai dengan sambutan kepala sekolah. Lalu dilanjut dengan sedikit ceramah dari Pak Kadi. Setelah itu, barulah dimulai lombanya. Pertama-tama, kelas 4A melawan kelas 4B dan 4C. Sambil menunggu, aku menghafal materi pelajaran yang kemarin sudah kubaca. Aku berusaha konsentrasi, tetapi gagal.
Kelas 4A keluar sebagai perwakilan dari semua anak kelas 4. Kemudian, kelas 5A melawan kelas 5B. Ternyata, kelas 5A-lah yang keluar sebagai perwakilan. Kini, giliran kelas 6 yang tanding.
Kami mendekat ke depan aula. Kami duduk dengan meja panjang di hadapan kami. Difa mencengkeram tanganku, dan kurasakan kulitnya dingin. Kami bertiga berdoa supaya keluar sebagai juara. Kami ingin kelas kami yang terkenal sebagai kelas paling heboh menjadi juara 1.
Sesi pertama sesama kelas 6 adalah sesi tanya jawab. Salah satu anak dari tiap kelompok harus mengambil kertas undian untuk menentukan paket pertanyaan yang akan diajukan. Zidan maju dan mengambil kertas undian. Ternyata, kami mendapat nomor 2. Pak Roni selaku ketua panitia lomba ini menjelaskan bahwa bila pertanyaan tak dijawab kelompok yang ditanyai, maka pertanyaan akan dilempar ke kelompok lain. Kelompok yang dapat menjawabnya akan memperoleh poin tambahan sebanyak 50.
Beruntungnya, kelompok kami dapat menjawab semua pertanyaan tanpa harus dilempar. Kemudian, tibalah sesi rebutan. Di depan tiap kelompok, sudah ada alat musik kecil untuk memukulnya setiap kali mau menjawab. Di depan kami bertiga, ada kentongan dan alat pemukulnya. Zidan kami tugasi untuk memukul kentongan itu. Aku dan Difa bertugas untuk menjawab.
Pak Gibran sebagai pembaca soal, membuka kertas pertanyaan lebar-lebar. Zidan siap-siap memukul.
Kami selalu merebut jawaban pada sesi rebutan ini. Itu karena Zidan yang memukul kentongannya cepat-cepat dan berulang kali. Tenaganya sangat kuat. Guru-guru sampai tertawa karena emosi Zidan. Barangkali saja dia sudah terlatih bermain alat musik sehingga dapat memukul dengan cepat.
Akhirnya, beberapa soal dapat kami jawab. Bahkan, soal kali ini.
“Mushaf Usmani dibuat pada masa pemerintahan khalifah siapa?” Pak Gibran membacakan soalnya.
Semua kelompok terdiam. Zidan pun terdiam. Aku langsung mendapat jawabannya. Kusuruh Zidan memukul kentongan itu. Ketika guru pengawas menunjuk kelompok kami, Pak Gibran menyerahkan mikrofon ke arahku. Aku menjawab yakin walaupun tanganku gemetar.
“Utsman bin Affan!”
“Betul!” Pak Gibran berteriak.
Sorak-sorai dari kelas kami terdengar. Bahkan, Bu Tari ikut bahagia. Beliau memvideo di ponselnya. Pak Kadi menambahkan poin 100 pada tulisan kelompok 6C.
Sesi rebutan berakhir dengan menggembirakan. Kali ini, waktunya kami tanding dengan kelas 4A dan 5A. Semua temanku bersorak menyemangati kami. Aku berdoa supaya kelas kami jadi juara.
Kali ini, aku merasa gugup. Bagaimana kalau kami kalah? Walaupun poin kami banyak, namun tandingan kami tak boleh dianggap remeh. Aku mengembuskan napas penuh kekhawatiran. Aku pun teringat semboyan man jadda wa jadda yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Sudah banyak orang yang membuktikan semboyan ini dan akhirnya berhasil. Aku pun harus bisa membuktikannya.
***
Sesi tanya jawab dan sesi rebutan dapat kami selesaikan. Kami memperoleh poin 950. Semua pendukung kami senang sekali. Bahkan, mereka berteriak-teriak tak terkendali.
Babak terakhir, yaitu babak tentang pertanyaan hafalan dan tajwid, pun dimulai. Aku tak terlalu baik dalam hal tajwid. Aku hanya bisa berharap cemas.
Zidan telah melakukan kesalahan. Sebelum soal selesai dibacakan, dia sudah menjawab. Dan jawabannya pun salah. Poin kami dikurangi, menjadi 900.
Difa tertunduk lemas. Aku membesarkan hatinya. Tapi, kami berhasil menebus kesalahan Zidan. Walaupun dalam babak ini kami tak dapat menjawab sepenuhnya, namun poin kami tetap lebih banyak daripada kelompok lain.
Jeritan kebahagian mengisi dinding-dinding aula. Bu Tari sangat bangga mendapati aku, Difa, dan Zidan mendapat juara 1. Kami saling berpelukan, berfoto, dan mengucapkan selamat. Betapa senangnya.
Begitulah, setiap hari Kamis, aku akan selalu teringat peristiwa itu: pukulan kentongan oleh Zidan, jawaban-jawaban tangkas dari Difa, dan detik-detik kemenangan kami. Walaupun ini bukan lomba di luar sekolah, namun aku sangat senang dapat menorehkan sejarah terbaik dalam kelas 6C yang berbulan-bulan dianggap kelas paling heboh.