Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit …,
Itu adalah kalimat pemantik semangat untuk dirinya terus hidup dan tetap erat menggenggam suluh itu hingga ajal menjemput.
Kalimat itu bersemayam dan menetap dalam ingatan Ryu Anu. Ketika kalimat itu pertama kali keluar bersama buih-buih semangat sang Ayah kala mengatakannya, Anu sedang duduk bersila mendongak takjub memandangi lelaki yang berdiri bersemangat di beranda rumah, berkata sambil mengangkat mengepalkan tangan kanannya sekejap lalu meluruskan telunjuknya. Sekali saja Anu mengusap wajah mendongaknya tanpa hilang takjub. Buih-buih penuh semangat sang Ayah hinggap di muka “takjub Ryu Anu”.
Langit yang ditunjuk sang Ayah bergeming setelah kata 'bintang di'.
Setelah kata 'bintang di' terdengar di telinga Anu bersama satu buih semangat terakhir juga kembali hinggap di wajahnya, Anu bergeming pula. Ryu masih mendongak takjub.
Si Kecil Anu mengangguk-angguk kendati takmengerti. Wajah takjubnya berubah saat sang Ayah tersenyum bangga melihat anggukan kepala anaknya.
Dramatis! Peristiwa komunikasi dua arah yang dramatis. Satu orang seakan-akan melaju ke kutub utara, sedangkan satu orang lagi seperti merangkak tiarap menuju kutub selatan. Tragis!
Bagaimana tidak dramatis juga tragis?
Langit yang ditunjuk ketika sang Ayah berkata, adalah langit bermatahari. Terik pula.
"Anu! Apa cita-citamu?"
"Pilot!" Anu mangkus menjawab tersebab oleh kenangannya terbang take off melintasi pikiran saat bermain di bangkai pesawat dekat rumah sang nenek.
Rumah sang nenek memang rutin dikunjungi Anu kala dia liburan semasa di sekolah dasar. Berantara beberapa petak sawah di samping rumah nenek, di situlah bangkai pesawat itu menggeletak terbujur kaku hanya terjarak 200-an meter dari rumah sang nenek. Bangkai pesawat di satu area bandara ber-ram kawat sebagai pembatas, lubangnya yang seukuran diameter pinggang orang dewasa diterabas oleh Ryu bersama kawan sepermainan. Anu suka sekali duduk di ruang kokpitnya. Seakan-akan dia sedang melintasi pulau bahkan benua ketika bermain di ruang kokpit pesawat 'terbujur kaku'. Apa yang terlihat dari moncong "bangkai" berkaca kusam di hadapannya adalah langit biru berawan putih berarak.
Pita suara Ryu Anu bergetar riang. "Ngeng, ngeeeng, ngeeeeeeng," begitu, terdengar berulang-ulang keluar dari mulut mungilnya.
Pilun pula tak mau kalah. Dia sigap lalu duduk di samping Ryu dan ikut-ikutan menggetarkan pita suaranya dengan riang gembira.
"Ngeeeng, ngeng-ngeeeeng, ngeeeng."
Ah ..., masa kanak-kanak yang indah.
Selagi dua anak kecil itu berimajinasi, Ana berlaku bak pramugari cantik dengan ulas senyum bercampur ingus agak mengering di bawah cuping hidung, berkata menawari sang co-pilot, "Hoyong bajigur, Pak Pil [mau bajigur, Pak Pil]?"
Pilun yang dipanggil "Pak Pil" oleh sang pramugari pun menoleh sambil mengupil, menjawab, "Boleh …."
Anu ikut menoleh serta-merta mendengus memandangi Ana. Segera dia berkata sambil menunjuk dada, "Wing nu pilot [saya sang pilot]."
Ana 'sang pramugari' jadi cemberut bersama ingusnya turut surut—diseka, lantaran teguran Ryu Anu.
Pilun pun hanya terpana.
Lanjut sang pilot berkata, "Pilun nu ngabantuan wing nyepeung setir, Na [Pilun yang membantu saya pegangi setir, Na]."
Walau bagaimanapun, kapten pilot punya kuasa. Keselamatan para penumpang (termasuk bajigur) berada di tangannya.
—Kokpit—
Ryu Anu perlahan-lahan mempercepat laju di landas pacu dari ruang kokpit bajaj BBG. Namun biar bagaimanapun, bajaj yang tak bersayap juga terjebak macet boro-boro bisa mengangkasa.
…, tapi setelah kaugantungkan cita-citamu, berusahalah untuk mewujudkannya.
Itu adalah kalimat pemantik semangat untuk dirinya terus hidup dan tetap erat menggenggam suluh itu hingga ajal menjemput.
Terngiang-ngiang ucapan sang Ayah beradu suara-suara khas situasi yang macet. Gerah, banjir peluh, banjir umpatan ditambah berisik klakson yang membikin kuping berdenging pening.
Ya. Anu terus berusaha dan masih terus berusaha mewujudkan cita-citanya menjadi pilot yang nyatanya juga keluar terucap dari mulut si sulung, anaknya.
Namun, Anu mengambil iktibar dari kejadiannya dulu bersama sang Ayah. Sesudah pulang dan selesai memarkirkan bajaj BBG-nya dekat beranda rumah, di depan si sulung, dia berdiri berbuih-buih semangat (persis seperti apa yang dulu pernah dilakukan ayahnya) berkata kala langit berbintang, bukan kala langit bermatahari.
—Usai—