Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Flash
Drama
Bisikan Daun
3
Suka
198
Dibaca
Flash Fiction ini masih diperiksa oleh kurator

Hampir saja!!!!!

Hampir saja aku menabraknya. Hampir saja aku menabrak seseorang yang muncul tiba-tiba dari mulut gang.

Aku merasakan nyeri di pergelangan tanganku yang menahan keseimbangan lewat stang motor. Untung saja, kuda besi ini baru ‘berobat” di bengkel sehingga remnya terasa pakem.

Tak dapat kutahan beberapa kalimat makian keluar dari mulutku. Sialnya, orang itu hanya memandang ke arahku sebentar. Lalu, ia berpaling dan meneruskan berjalan dengan menempelkan sesuatu di telinganya.

“Huhhh... Minta maaf kek, atau apalah... Malah kuping ditutupin mendengar aku mengoceh,” kutukku dalam hati.

Ketika hendak kukejar, seorang perempuan paruh baya yang sedang menyapu berseru; “Sabar, Mbak! Sabar! Orang itu gini....” telunjuk jarinya ditempel miring di wajahnya. Aku tertegun. “Oh, pantas...” gumamku dalam hati. Aku pun balas mengangguk padanya dan memamerkan senyum kecut.

Aku pun kembali memacu kuda besiku. Jarum jam sudah menunjukkan tanda; aku bisa terlambat ikut perkuliahan hari ini.

Sorenya, Kakek hanya tertawa ketika kuceritakan kejadian ini. Di akhir tawanya, beliau mengingatkan agar aku hati-hati berkendara di jalanan kampung. “Nduk, jangan samakan jalan di kampung dengan di kota!” Aku nyengir (seperti) kuda mendengarnya. “Salah kamu sendiri, kenapa gak mau ikut Papa-Mamamu ke Swedia. Coba kamu ikut, kamu bisa naik motor sesukamu di sana.”

“Kek, di luar negeri itu berkendara malah diatur lebih ketat,”

“Ketat, seperti pakai apa itu namanya?” Wajah Kakek seperti berusaha keras mengingat-ingat sesuatu. “Legging......”

Aku tertawa mendengar candaan Kakek, “Itu aturan, Kek! Bukan pakaian!”

Kakek yang suka bercanda inilah salah satu alasan mengapa aku memilih tinggal di kampung tanah tumpah darah Papa ini ketimbang ikut mereka ke Swedia dan atau ditinggalkan sendirian di Surabaya. Ketika Mama diterima kerja di sebuah perusahaan di Stockholm, Papa yang bucin banget sama Mama pun memilih resign dari kampusnya demi bisa tetap bersama. Lala, adikku, tentu saja ikut pindah. Ia juga seperti Papa, gak bisa jauh dari Mama. Aku yang pada dasarnya agak susah beradaptasi di lingkungan baru memilih tetap di Indonesia.

Menurutku lebih susah beradaptasi dengan lingkungan luar negeri ketimbang dengan lingkungan kampung di bawah gunung seperti ini. Toh, hari ini tidak banyak perbedaan orang kota dengan orang kampung. Dengan dukungan teknologi digital terkini, orang kampung juga bisa bergaya ala orang kota. Sementara, harus diakui banyak juga orang kota yang mindset-nya kampungan. Hihihi....

“Kek, orang itu jadi sinting gitu? Kenapa?” aku ingat tanda telunjuk miring dari perempuan paruh baya pagi tadi.

“Panjang ceritanya, Nduk. Namanya Widodo. Ia masih kerabat kita juga. Kakeknya Widodo itu Pakdhe-nya Kakek. Papamu kalau manggil Widodo itu ‘Mas’, meski usia Papamu lebih tua.” Aku manggut-manggut sok paham. “Kasihan sebenarnya Widodo itu, ia dulu suka dengan Asri, Asri Wigati. Itu lho yang punya toko kelontong yang kamu sering ambil transferan dari Papamu itu.”

Kakek lantas menuangkan kopi di tatakan, meniupnya tiga kali kemudian disruputnya dengan penuh kenikmatan. Tak berselang asap bakaran tembakau berhembus dari sela bibir tuanya yang berjelaga. Inilah pemandangan paling eksotik yang kulihat dari laki-laki. Tanpa pandang usia, lelaki tampak lengkap kesejatiannya saat menikmati kopi dan rokok kesayangannya. Mungkin, ini juga yang dilihat Nenek dari Kakek.

Daktutugne, orang tuanya Asri tidak mau punya menantu Widodo. Menurut mereka, keluarga Widodo kurang kaya. Memang, Mas Pangat, ayahnya Widodo hanya seorang pegawai pengairan. Sementara, Syamsul itu anaknya Haji Bakir yang sawah tebunya sekecamatan ini, Nduk. Ya, Syamsul yang sekarang jadi bapak anak-anaknya Asri. Widodo depresi, kuliahnya pun ndak lanjut. Sekarang hanya berjalan nglalar dalan. Kasihan, tapi....”

“Tapi apa, Kek?”

“Laki-laki kok mentalnya tempe begitu! Perempuan di dunia ini kan tidak hanya Asri, iya kan, Nduk?! Pikirannya dirusak sendiri! Masa depannya dibuat gelap sendiri! Jodoh, rejeki, pati itu khan rahasia Illahi. Seharusnya, Widodo bisa nrimo kalau Asri bukanlah jodohnya. Harta yang menjadi musabab pupusnya harapan Widodo untuk menyunting Asri itu kan hanya jalaran dalam cerita perjodohan yang ditulis Tuhan. Iya kan, Nduk?” aku mengangguk. “Tak habis-habisnya keluarganya menasehati. Aku dan Nenekmu juga. Tetangga lain juga. Kami juga minta bantuan orang pintar, Kyai, dan banyak lagi. Kami semua sudah berikhtiar semampu kami, tapi Widodo seperti tidak mau mendengar nasehat apapun dari kami.”

Ada selembar sembilu yang terasa tajam menyayat ulu hati ketika Kakek menyebut harta sebagai biang ketidaksampaian cinta. Pedih. Perih.

Mengapa bisa serupa dengan karang yang menghalangi tali percintaanku dengan Willie? Keluarganya yang notabene chinesse dan merupakan satu dari beberapa crazy rich Surabaya tidak menerimaku sebagai menantunya. Ia akan dijodohkan dengan anak seorang taipan dari Singapura. Dan, sebagai anak yang berbakti, kepatuhan pada orang tualah yang dipilih Willie. Dia, kekasihku, William Chandrawijaya, memutuskan mengakhiri kisah cinta kami.

Aku limbung. Papa dan Mama bingung. Kuliahku di Surabaya pun terhenti. Ketika ada kesempatan kerja keluar dari Surabaya, Mama pun menerimanya. Harapannya, keluarga memboyongku pergi dari kota itu juga. Tapi entah, aku masih belum bisa menerima, aku memilih tinggal bersama Kakek di kota kecil ini dengan harapan suatu saat nanti Willie akan menghubungi, datang, dan tali percintaan suci kami terajut kembali.

Tapi, sudah lewat setahun ini, harapan itu masih menjelma mimpi.

“Kemana ia berjalan, ia selalu memungut daun dan menempelkannya di telinga.” Kakek melanjutkan ceritanya, entah beliau melihat perubahan di raut wajahku atau tidak. “Bagi Widodo, hanya daun yang bisikannya patut didengar. Tidak lainnya.”

Cerita Kakek terasa menjewer telingaku. Aku tercenung. Apa jika aku terus berharap dan hanya mau menuruti kata hatiku sendiri, aku akan sepertinya. Hanya berjalan tanpa tujuan dan mendengarkan bisikan dedaunan?

----- oo0oo ----

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Terima kasih apresiasinya Mas @Hans Ws.. Karya anda juga top-top semua lho...
wuih, top markotop..selalu keren ceritanya ;),
Terima kasih telah mampir baca dan kasih koment, Mas @DMRamadhan
Daun yang berbisik, atau kertas yang menggemerisik, atau cuap-cuap influenser yang merentet brisik. 😁 pesan yang mantap, kak!
Rekomendasi dari Drama
Novel
Sirius
Mya Veronica
Novel
selamat ulang tahun sekali lagi
deru senja
Flash
Bisikan Daun
Anjrah Lelono Broto
Skrip Film
BERTAUT MIMPI
Fatimah Azzahra Sekar
Flash
Diculik Jodoh
Binar Bestari
Novel
Its you • Ohs
Wahyu Dwi Putri Sang Pajar
Novel
L O V A L E S H A
maretha ramadani
Novel
Bronze
Jangan Lekas Pulih, Ingatan-Ingatan Itu
Achmad Afifuddin
Skrip Film
Selembar Harapan
Windi Liesandrianni
Skrip Film
Arigatou Kyoto
Mahessa Gandhi
Cerpen
Bronze
SEBUAH HARAPAN YANG TERSESAT
Meliana
Novel
Dari Aku Untuk Aku
Syeren medyanto
Novel
Gold
PBC Best Teacher Ever
Mizan Publishing
Novel
FROM EL TO L
Racelis Iskandar
Novel
Unfair Marriage
Shinta Puspita Sari
Rekomendasi
Flash
Bisikan Daun
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
N E E L A M
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Rasa Didua
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Di Tepi Kawah Saweri
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Perihal Kematian
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Bukan Malam Jahanam
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Maafkan Saya, Yu Nah
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Apa Aku Memang Selalu Begitu?
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Ungku Idris dan Kisah Barunya
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Lidah Mertua
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
IMAJINASI
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Amore Pazzo
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
Bidadari dan Puspawangi
Anjrah Lelono Broto
Flash
Bronze
MALAM BERSAMA MALING
Anjrah Lelono Broto
Flash
PERJAMUAN PENAGIH HUTANG
Anjrah Lelono Broto