Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Makan Bergizi Gratis."
Program baru dari pemerintah ini mulai diberlakukan di sekolah tempatku mengajar. Terlepas dari pro kontra yang ada, aku merasa sedikit iri pada murid-muridku. Zaman aku sekolah dulu, aku harus puasa karena ibuku tidak memberikan bekal ataupun uang jajan. Kami terlalu miskin saat itu.
Namun, aku punya hubungan cukup erat dengan makanan gratis, mulai dari berkat dari acara syukuran yang biasa dibawa pulang oleh Ayah, nasi kotak gratis dari Masjid tiap hari Jumat, hidangan prasmanan di acara kawinan tetangga, bingkisan acara ulang tahun temanku yang orang kaya, hadiah kue lebaran dari majikan ibu sebagai THR, sampai makanan yang diberikan tetangga sebagai belansungkawa saat Ayah meninggal.
Aku sekolah dan kuliah selalu dengan beasiswa. Lulus kuliah pendidikan aku melamar menjadi guru. Sejak kecil aku ingin jadi guru karena aku ingin membantu anak-anak miskin sepertiku untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Saat aku diputuskan untuk menjadi guru honorer, aku tidak terlalu masalah dengan gajinya karena aku sudah terbiasa miskin. Ibu sudah tidak bekerja sebagai asisten rumah tangga. Setelah ayah meninggal dan mewariskan rumah kecil kami dan tabungan yang tidak seberapa, Ibu buka usaha nasi uduk. Hasilnya tidak banyak, tapi cukup untuk hidup.
Aku juga hidup biasa saja, tidak ada keinginan untuk kerja kantoran dan menjadi orang kaya. Itu pikirku setidaknya sampai aku bertemu dengan Hani. Dia adalah guru baru yang mengajar anak kelas 3. Dia cantik, pintar, dan baik hati. Tiga kriteria yang aku dambakan untuk seorang pendamping hidup. Maka, aku pun mendekatinya. Semua berjalan lancar karena kami punya banyak kesamaan dalam memandang banyak hal, mulai dari alasan menjadi guru, cara mengajar yang baik, kepala sekolah yang tidak kompeten, guru olahraga yang terlihat tidak sering berolahraga, bahkan sampai pentingnya program Makan Bergizi Gratis.
Namun, Hani menyayangkan bahwa program itu telah membuat ibu nasi uduk di kantin jadi tidak jualan lagi karena tidak ada lagi murid yang membeli. Bicara soal nasi uduk, aku pun bercerita soal ibu padanya. Hani ingin bertemu dengan ibuku, mungkin lebih tepatnya bertemu dengan nasi uduk buatan ibuku.
Hani banyak diam saat tiba di depan rumahku. Awalnya aku kira itu karena dia canggung bertemu dengan ibuku, tetapi setelah mengantarnya pulang, aku jadi mengerti bahwa dia terkejut melihat rumahku yang kumuh dan kecil, berbeda jauh dengan rumahnya. Di situ lah kami akhirnya mengetahui perbedaan kami. Hani adalah guru berstatus PNS, begitu pula dengan kedua orang tuanya yang juga bekerja sebagai PNS. Saat berbicara dengan mereka soal hubungan aku dan Hani, aku semakin sadar bahwa antara aku dan Hani ternyata ada pembatas bernama garis kemiskinan.
Setelah beberapa lama bersama, aku menyadari Hani mulai menjauh dariku. Lantaran sudah tidak tahan lagi, akhirnya aku beranikan Hani untuk bicara serius. Aku ingin menikahinya. Namun, Hani hanya menghela napas. Dia menutup kotak cincin yang aku sodorkan padanya dan menyuruhku untuk menjualnya kembali. Hani lalu menyampaikan dengan baik-baik tentang realita jika kami menikah, terutama soal gajiku yang kecil. Hani bilang dengan gaji sekecil itu, bagaimana kami akan bisa hidup, apalagi jika nanti punya anak. Anak kami nanti mau aku beri makan apa.
Aku terdiam. Hani pergi meninggalkanku sementara di kepalaku terngiang satu jawaban yang tidak mungkin aku utarakan.
"Makan Bergizi Gratis."