Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku benar-benar tak mengerti kenapa bayangan kejadian di depan swalayan itu selalu berulang-ulang di dalam otak. Sudah kucoba menghentikan, mengalihkan pikiran pada senyum gadis penjaga swalayan, tetapi tetap saja kejadian itu yang terus membayang.
Begini, pada suatu sore, sepulang dari melamar pekerjaan, aku menyempatkan diri duduk di depan swalayan sambil meminum kopi kemasan botol dan menyalakan sebatang rokok. Aku memang sudah lama merencanakan situasi ini sekadar ingin menjajal kebenaran konten-konten viral tentang kinerja kursi merenung yang disediakan di depan swalayan itu. Siapa tahu ada konten kreator yang diam-diam merekam muka lelahku, lalu mereka bisa memanen respon netizen dan mendulang pundi-pundi kekayaan.
Belum sebatang kuhabiskan, dua lelaki bertubuh besar tiba-tiba datang menghampiriku dengan mata mendelik.
"Duit, duit!" Kata lelaki yang rambutnya ikal itu.
Aku yang sempat tercengang secara reflek mengatupkan telapak tangan sambil menjawab 'tidak punya'. Mendengar jawabanku, tangan kanan lelaki itu tiba-tiba menggebrak meja, sementara tangan kirinya meraih kerah bajuku. Nada bicaranya makin pelan dengan tatapan mengancam, "Kalau kau gak ngasih duit, biar aku yang ngasih bogem di pipimu itu. Mau kau kustempel?" Katanya sambil meninju manja pipiku.
"Sepanjang hari ini empat lamaran kerjaku ditolak, bang," kataku berhati-hati agar dua orang aneh ini tahu posisiku, "dan satu-satunya calon tempat kerja yang bilang nilai ijazahku bagus juga menolakku karena aku berpikiran kiri."
Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal seperti sangat puas mendengar ceritaku.
"Mampus, kau!" Kata lelaki satunya lagi, yang sejak tadi cuma jadi bagian mengangguk setiap kali temannya memberikan ancaman. Ada banyak tindikan di telinganya yang membuat ia tetap terlihat sangar sekalipun hanya jadi tukang angguk.
"Makanya aku gak ada duit, bang. Tolonglah, bang." Kataku agak memelas sambil menatap mata lelaki itu.
Merasa di atas angin, lelaki yang sejak tadi mencengkeram kerah bajuku itu langsung mengayunkan bogem ke arah pipiku. Kesabarannya benar-benar setipis tisu.
Kalian tahu, dalam posisi ini, aku selalu ingat kata-kata Kang Niman untuk senantiasa menjaga keseimbangan mental. Saat mental seimbang, kalian bisa dengan mudah menghindar dari segala bentuk kekerasan yang dialamatkan pada tubuhmu. Dua atau tiga kali tinju yang dialamatkan bertubi-tubi bisa dengan mudah kalian hindari. Kalian tinggal mengikuti ritmenya, seperti Muhammad Ali menghindari serangan lawannya di atas ring.
Dan itu yang aku lakukan. Oleh sebab kata-kata itu, aku berhasil menyelamatkan pipiku dari tinjunya.
Sejurus kemudian lelaki satunya juga berusaha mendaratkan tinju. Dengan tenang dan cekatan tanganku menepis tinjunya. Keributan kecil itu akhirnya terjadi di depan swalayan. Kali ini aku yang berhasil mendaratkan bogem mentah di pipi mereka berdua. Kuberi tiga tinju masing-masing pipi dan kuinjak pergelangan tangan mereka.
Sebelum kembali duduk di kursi merenung itu, kubisikkan kalimat pematah keangkuhan mereka, "Kalian boleh datang atau menungguku kapan saja. Ajak siapapun yang kalian mau. Namaku Kosdan. Tinggal di gang sebelah Masjid Al-Huda. Ada kos-kosan dengan warna cat paling beda. Kalian tanya orang-orang dan sebutkan namaku."
Aku melangkah kembali ke kursi merenung, meminum kopi, lalu menghisap lagi rokok yang tersisa separuh itu. Agar semakin dramatis, kumatikan rokok itu sebelum benar-benar habis.
Kali ini aku sangat berharap ada seorang konten kreator merekam aksiku atau paling tidak petugas swalayan buru-buru memeriksa rekaman CCTV dan mengunggahnya ke media. Benar-benar puas rasanya...
"Permisi, bang. Boleh gantian gak? Aku mau bikin konten, nih."
Aku terkejut. Dua orang lelaki senja sedang berdiri tepat di depanku. Satunya memegang kamera. Satunya lagi mengatupkan kedua telapak tangannya.