Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Setelah melewati dua blok, Sofia sampai di square dengan payung air mancur yang paling disukainya. Dua patung malaikat kecil berdiri disisi kanan kirinya menaunginya, membuatnya ingin tersenyum tapi disimpannya di dalam galau hatinya.
Melompati genangan bekas hujan semalam, Sofia melangkah cepat, menembus keramaian kawasan antarbangsa yang elite di jalanan rindang Sudirman yang dipenuhi mobil-mobil menderu di tengah hiruk-pikuk kehidupan metropolitan yang sibuk.
Hatinya kosong, seperti gedung-gedung tinggi di sekitarnya yang megah, tapi terasa dingin tanpa jiwa.
Perasaan yang aneh itu masih terus menghantuinya—pengkhianatan cinta yang tak pernah ia sangka justru datang dari orang yang paling ia percayai. Tempat ia mempercayakan hati untuk terus dicintai, ia menitipkan separuh jiwa disana, selama tahun-tahun penuh suka cita dan cinta.
Pada akhirnya Rafsanjani, lelaki yang dulu ia pikir adalah awal dan akhir perjalanan cintanya, justru memilih menikah dengan Rinjani sebagai pelabuhan tempat bersandarnya. Kenapa harus dia, perempuan yang juga pernah dikenalnya. Rasanya itu sangat menyakitkan.
Sofia menyaksikan dari jauh, pura-pura tegar ketika ia tahu bahwa Rafsanjani memilih untuk “berbakti pada pilihan orang tua,” meski dalam hati ia tahu alasan itu hanya topeng palsu dari ketidakcocokan yang tak pernah diutarakan Rafsanjani, dan akhirnya disadari Sofia sebagai ketidakjujuran laki-laki yang disangka sangat mencintainya. Semua ini meninggalkan luka, membuat Sofia seperti kehilangan arah.
Kini, ia berusaha menjauh dari semuanya, menyibukkan diri bekerja sebagai seorang arsitek di perusahaan ekspatriat ternama.
Meski keberhasilannya banyak dipuji, tapi ia tetap merasa ada bagian dirinya yang hilang. Trauma masa lalu membuat Sofia ragu untuk membuka hati lagi.
Baginya, semua lelaki sama—mudah berpaling dan tak pernah benar-benar memahami apa itu cinta yang sesungguhnya seperti yang selalu dirindukannya. Semua menjadi luka yang sulit disembuhkan.
***
Waktu akhirnya mempertemukannya dengan Aziz Noor, kolega barunya di proyek ambisius yang sedang dikerjakannya. Aziz tipe pria yang tidak mencolok—tenang, perhatian, dan penuh pengertian. Tidak seperti Rafsanjani yang sering mendominasi pembicaraan, Aziz lebih banyak mendengarkan.
Namun anehnya kebaikan laki-laki itu justru membuat Sofia merasa terganggu. Ada sesuatu dalam tatapan Aziz yang seolah-olah bisa melihat retakan kecil dalam tembok kokoh yang selalu Sofia sembunyikan dan itu membuatnya kuatir.
“Kamu sibuk sekali belakangan ini,” Aziz membuka percakapan, usai rapat dengan kolega di kafe kecil di pinggir Jakarta. “Tapi jangan lupa, kerja keras itu bagus, tapi hati juga butuh istirahat.”
Sofia menanggapinya dengan tersenyum acuh. Ia tidak ingin terlalu banyak bicara, apalagi soal pribadi. Tapi, Aziz seolah tak mau menyerah. Ia tahu Sofia menyimpan sesuatu yang berat, sesuatu yang membuatnya tampak kokoh di luar, tapi rapuh di dalam.
Aziz mulai hadir dalam momen-momen kecil di hidupnya.
Saat Sofia lupa makan siang karena tenggelam dalam pekerjaan, Aziz akan mengantarkan makanan ringan ke mejanya. Ketika Sofia larut dalam rapat yang melelahkan, Aziz dengan santai menawarkan secangkir kopi hangat. Semua dilakukan tanpa banyak bicara, tanpa memaksa Sofia untuk membalas perhatian itu.
“Kenapa sih kamu selalu repot-repot?” tanya Sofia suatu malam, seolah merasa jengah usai mereka lembur bersama. Mata Sofia menatap Aziz dengan tajam, mencoba menyelami hati laki-laki itu, mencoba mencari maksud di balik semua perhatian kecilnya.
Aziz juga menanggapinya dengan santai hanya dengan tersenyum tapi samar, nyaris cuek. Ia sangat menyadari Sofia sedang mencoba menyelam jauh ke dalam hatinya.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Mungkin sesederhana itu. Jangan dianggap jika kamu tak berkenan. Menurutku, kadang perhatian kecil itu lebih baik daripada aku harus banyak berkata-kata, tapi nanti kamu pikir aku tidak tulus.”
Aneh, kata-kata itu bisa membuat Sofia terdiam. Menurut Sofia, ada sesuatu dalam cara Aziz berbicara yang mengingatkannya bahwa tidak semua laki-laki itu sama.
Tapi luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh. Prasangka masih sering membisikkan bahwa Aziz tidak lebih dari laki-laki biasa lainnya, bahkan mungkin hanya menunggu waktu untuk melukainya juga.
Tapi, anehnya hari-hari bersama Aziz perlahan justru membuat Sofia merasa hangat. Ia mulai terbiasa dengan kehadiran Aziz yang tenang.
Bahkan ketika Sofia merasa kesal karena kesalahan klien, Aziz bahkan menemaninya sekedar duduk di taman dekat kantor, menawarinya segelas kopi hangat dan duduk berlama-lama hanya untuk mendengarkan keluh kesahnya tanpa banyak berkata-kata kecuali diinginkan Sofia.
Ketika Sofia merasa kehilangan semangat, Aziz pernah mengajaknya sekedar melihat pemandangan kota dari rooftop gedung kantor mereka.
“Lihat, Sofia,” kata Aziz suatu malam di sana. “Dari sini, semua kekacauan di bawah terlihat begitu kecil. Begitu juga dengan rasa sakit yang kita rasakan. Kadang, kita hanya perlu melihat dari sudut pandang yang berbeda.”
Sekali lagi getaran aneh menjalar hangat dihati Sofia. Entah kenapa kata-kata itu bisa menyentuh hatinya. Mungkin saja suasana, sunyi, tenang, langit penuh bintang yang disukainya membuatnya makin terbalut rasa yang sulit diungkapkannya karena Sofia nyaris lupa dengan rasa apa yang sekarang sedang menggelayut dihatinya.
“Luka, rasa sakit kadang itu memang menyakitkan dan sulit sembuh,” ujar Sofia nyaris seperti meluncur tak disadarinya.
Azis menangkap sinyal itu. Ia memilih diam, mendengarkan daripada menuruti hatinya yang memintanya bertanya karena dihinggapi rasa penasaran. “Luka” apa?”
Sampai akhirnya Aziz memilih memberanikan diri mengatakan dengan lembut karena takut dianggap mencampuri urusan hatinya, “Kamu berhak untuk bahagia lagi, Sofia. Dan kebahagiaan itu tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan waktu yang menyembuhkan.”
***
Waktu pada akhirnya memang berpihak pada hati Sofia yang ingin sembuh—atau keinginan hatinya untuk menyembuhkan diri, ketika ia kemudian menyadari bahwa kehadiran Aziz mungkin sebuah pengecualian. Ia tidak pernah memaksa, tidak pernah menuntut. Aziz hanya ada di sana, memberi ruang bagi Sofia untuk kembali percaya pada cinta.
Firasatnya mengatakan bahwa pada akhirnya cinta tidak selalu datang dengan gemuruh atau janji-janji besar. Kadang, cinta itu hadir dalam sesuatu yang kecil, remeh, sederhana, tapi indah—secangkir kopi, senyuman, atau kehadiran seseorang yang selalu diinginkannya.
Ketika sinyal pesan itu sampai di relung hatinya, Sofia membiarkan hati itu perlahan menemukan jalannya sendiri. Ia bisa merasakan langit yang lebih biru warnanya di atas sini, di rooftop hatinya.