Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pagi hari, pukul 08:03, Karina sibuk mengutak-atik laptop miliknya. Dia sedang menulis sebuah novel. Saat ini, Karina masih berada di bab kelima.
Kesibukan Karina dipecahkan oleh sebuah ketukan di pintu. Tanpa berlama-lama, gadis 15 tahun itu membukakan pintu. Terlihat ada lima orang anak sebaya dengannya. Mereka adalah teman-teman Karina.
“Halo, Bro!” sapa salah satu di antaranya, Laras.
Karina tersenyum kecut. “Sialan, deh, lu semua,” katanya. “Lagi sibuk-sibuk begini, malah diganggu. Mau apa, sih?”
“Hahaha, nggak ada apa-apa. Cuma mau menyapa doang,” kata teman Karina yang lain, Lita. Dia menatap kamar Karina dengan penuh minat. “Lagi ngapain, tuh? Boleh masuk, nggak?”
Karina menghela napas. Sambil mengangguk, dibukanya pintu lebar-lebar. Teman-temannya langsung menyerbu masuk.
“Aku lagi menulis novel, jadi jangan berisik, ya,” pesan Karina sambil mengunci pintu.
“Wiiih… punya laptop, nih, Bos? Merek apaan?” tanya Andre sambil melirik ke arah laptop Karina.
“Asus Vivobook.”
“Yaah… bukan merek terkenal. Sayang banget, sih.”
Tanpa ragu-ragu, Karina langsung meninju lengan Andre. Andre mengeluh kesakitan.
“Enak aja ngomong! Ini laptop termurah yang bisa aku beli. Untuk itu, aku perlu menabung lima tahun penuh!” kata Karina setengah tertawa.
“Terus kita ngapain di sini? Bantu menulis novel?” tanya Gita.
Karina mendesah. Dia duduk di hadapan laptop.
“Oke, oke. Kalian boleh bantu aku menulis novel. Tapi ingat, jangan kasih usul yang aneh-aneh, loh, ya!”
“Yes!” semua anak berteriak. Kemudian, mereka berkerumun di dekat Karina.
“Itu novel genrenya apa? Horor? Romantis?” tanya Jeremy.
“Misteri,” ucap Karina.
“Aduh, genre begitu, mah, terlalu simpel. Remaja zaman sekarang, kan, lebih tertariknya sama novel-novel bergenre romantis atau horor!” kata Jeremy lagi.
“Salah besar, Bos!” sahut Karina. “Novel-novel bergenre misteri juga dikagumi banyak orang, tahu. Lihat saja buku karangan Enid Blyton. Sukses besar, kan? Banyak yang baca, kan?”
“Enid Blyton? Siapa, tuh?” tanya Andre.
“Makanya, banyak baca, dong! Tuh, kalau mau baca, bukunya ada di rak sana,” tunjuk Karina.
“Udah, udah!” kata Lita. “Kita langsung ke ceritanya Karina aja. Rin, boleh, tidak, kami baca dulu dari awal sampai sini? Tujuannya biar kami memahami seluruh isi ceritanya dan bisa memberi masukan yang sesuai!”
Karina membiarkan teman-temannya membaca ceritanya dari bab pertama. Dengan saksama, anak-anak itu membaca. Tak lama kemudian, barulah mereka berkomentar.
“Oke, jadi tokoh utamanya namanya Lara, ya. Kok, jadi seperti namaku,” gumam Laras.
“Terserah Karina, dong, Ras! Oke, oke, terus Lara ini mengalami kesedihan karena ditinggal kedua orangtuanya. Dia tinggal sendirian di gubuk dekat hutan,” kata Gita menyimpulkan. “Tiba-tiba saja, ada monster kelabang yang merajai hutan itu. Lara bersama teman-temannya berusaha untuk membasmi kelabang itu. Begitukah kesimpulannya, Rin?”
“Ya, kamu benar, Gita. Lalu sekarang, apa yang bisa ditambahkan supaya cerita ini lebih unik dan memiliki banyak halangan?”
Semua anak berpikir. Kemudian, terlihat Jeremy mengacungkan tangan.
“Aku tahu. Bagaimana kalau ditambahkan karakter jahat lagi yang membuat cerita ini makin seru? Karakter jahatnya itu bisa manusia, atau… siapa sajalah yang cocok. Kemudian, karakter jahat ini dijadikan bersekongkol dengan monster kelabang ini. Setuju?”
“Aha, usulmu bagus sekali, Jer,” komentar Karina. “Bagaimana dengan yang lain? Ada usulan atau pertimbangan yang mau disampaikan?”
“Aku tahu, aku tahu! Begini saja. Salah satu teman Lara dibuat mati oleh si kelabang ini. Dengan begitu, mereka jadi terdesak. Apalagi, si monster berusaha mengkoyak-koyak desa tempat Lara tinggal. Setuju?” ujar Laras.
“Aduh, jangan dibuat terlalu sedih, dong, Laras! Awal ceritanya sudah sedih, masa ditambahi kesedihan lagi di tengah-tengahnya?” gugat Jeremy.
“Nggak apa-apa! Kan, biar alurnya makin seru. Kamu keberatan?” kata Laras.
“Kenapa nggak digabungkan aja kedua-duanya?” tiba-tiba Andre berkata.
“Nah, ini baru benar!” Karina tersenyum senang. “Kita tambahkan tokoh jahat lagi yang bersekongkol dengan monster kelabang, lalu mereka berdua sama-sama menghancurkan salah satu teman Lara. Nah, pertanyaannya, siapakah nama tokoh antagonis teman si kelabang?”
“Ogre,” usul Gita.
“Tidak, tidak. Nama Vernon saja, bagaimana?” usul Lita.
“Kok, kamu meniru tokoh jahat yang ada di buku pertama Harry Potter, Lit?” tukas Gita.
“Hush, hush, semua, kan, boleh menyampaikan pendapat. Aku mau usul nama… Jerry saja,” kata Jeremy.
“Nama yang terlalu umum sekali. Juga mirip nama tikus musuhnya Tom. Aku mengusulkan nama Bruckle saja!” kata Laras.
“Nama Bruckle itu jelek sekali, Ras! Bagaimana kalau nama Stockley?” ujar Andre.
Karina diam saja, membiarkan teman-temannya bertengkar mengenai nama tokoh baru yang cocok. Dengan jari telunjuk yang ditempelkan ke lubang telinganya, Karina menatap laptopnya yang masih terus menyala.
Beberapa menit kemudian, pertengkaran berhenti ketika Jeremy berkata bahwa dia harus segera pulang. Teman-teman yang lain akhirnya memutuskan untuk pulang. Dengan senang hati, Karina mengantar mereka sampai ke pagar rumahnya. Sebelum teman-temannya menjauh, Karina sempat berteriak.
“Gara-gara kalian, novelku jadi tidak selesai!”